Khazanah
Beranda » Berita » Dengan Mereka, Kita Harus Malu: Sebuah Renungan tentang Keimanan, Kesungguhan, dan Keteladanan

Dengan Mereka, Kita Harus Malu: Sebuah Renungan tentang Keimanan, Kesungguhan, dan Keteladanan

Dengan Mereka, Kita Harus Malu” Sebuah Renungan tentang Keimanan, Kesungguhan, dan Keteladanan

“Dengan Mereka, Kita Harus Malu”
Sebuah Renungan tentang Keimanan, Kesungguhan, dan Keteladanan

 

Di antara kita ada orang-orang yang bisa tertidur pulas meski belum sempat shalat malam. Ada yang bisa tertawa terbahak-bahak meski belum membuka Al-Qur’an selama seminggu. Ada yang bangga dengan dunia, padahal shalatnya masih bolong-bolong. Lalu kita membaca kisah orang-orang shaleh sebelum kita.

Mereka bangun di tengah malam dalam keadaan tubuh letih karena jihad di siang hari. Tapi mereka tetap memaksa diri berdiri di hadapan Allah. Air mata mereka lebih sering jatuh di atas sajadah daripada saat tertawa dengan manusia. Al-Qur’an bukan hanya mereka hafal, tapi menjadi nafas dalam hidup.

Mereka bukan malaikat. Mereka manusia — seperti kita. Tapi semangat dan rasa takut mereka kepada Allah membuat mereka jadi luar biasa.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dan dengan mereka, kita harus malu.

Mereka yang Tertawa Terakhir di Hari Kiamat

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah berkata:

> “Jika engkau tidak mampu bangun malam, maka ketahuilah bahwa dosa-dosamu telah membelenggumu.”

Sedihnya, kita seringkali tidak merasa terbelenggu. Kita merasa biasa saja dengan kemalasan. Padahal, generasi terbaik terdahulu menjadikan satu malam tanpa tahajud sebagai musibah besar dalam hidup mereka.

Kita bilang: “Saya ingin masuk surga.”
Tapi mereka menangis takut neraka, padahal amalan mereka jauh lebih banyak dari kita.
Kita bilang: “Saya sudah cukup baik.”
Tapi mereka tak pernah merasa aman dari murka Allah, walau mereka ulama dan pejuang.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dengan mereka, kita harus malu.

Mereka dan Al-Qur’an

Ada seorang ulama bernama Al-Aswad bin Yazid, ia menghatamkan Al-Qur’an dalam waktu dua malam. Pada bulan Ramadhan, beliau menghatamkan setiap dua hari sekali. Dan kita?

Satu juz pun terasa berat. Seringkali mushaf hanya jadi hiasan. Bahkan aplikasi Al-Qur’an di ponsel lebih jarang dibuka daripada media sosial.

Dengan mereka, kita harus malu.

Mereka dan Jihad

Sahabat Nabi ﷺ rela meninggalkan rumah, keluarga, dan nyawa demi tegaknya Islam. Mereka menghadiri setiap medan pertempuran bukan karena mereka haus darah, tapi karena mereka haus pahala.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Kita? Kadang malas ikut kajian karena hujan rintik. Atau menolak ajakan dakwah karena “sibuk.” Padahal medan dakwah hari ini bukan perang fisik, tapi perang ide, informasi, dan akhlak.

Dengan mereka, kita harus malu.

Mereka dan Doa

Imam Ahmad bin Hanbal pernah bermunajat di malam hari sambil menangis hingga janggutnya basah. Beliau berkata:

> “Aku takut jika esok, aku berdiri di hadapan Allah, namun amalku ditolak.”

Kita? Kita sering merasa amal kita cukup. Padahal shalat saja masih sering terburu-buru. Doa pun hanya sekilas, tanpa hati yang hadir.

Dengan mereka, kita harus malu.

Apa yang Membuat Mereka Istimewa?

1. Keikhlasan yang dalam
Mereka tidak mencari pujian. Mereka hanya ingin ridha Allah.
2. Kedisiplinan ibadah
Tidak ada alasan untuk meninggalkan qiyamullail atau membaca Al-Qur’an.
3. Ketakutan terhadap akhirat
Mereka sadar bahwa dunia hanyalah persinggahan. Akhirat adalah tujuan.
4. Semangat menuntut ilmu
Perjalanan berhari-hari mereka tempuh demi satu hadits. Kita? Seringkali enggan membuka satu buku.

Saatnya Bercermin: Dimana Posisi Kita?

Bukan untuk menghakimi diri, tapi untuk memperbaiki.
Jika kita terlalu jauh dari jalan mereka, maka kita harus mengakui: kita telah tertinggal.
Dan pengakuan itu adalah awal dari perubahan.

Imam Ibnul Qayyim berkata:

> “Jalan menuju Allah itu berat. Tidak bisa dilalui kecuali oleh orang yang jujur.”

Mari jujur. Mari malu. Lalu mari bangkit.
Bukan untuk menyamai mereka — karena mungkin itu terlalu jauh — tapi untuk berusaha menyusul, meski pelan, meski tertatih.

Penutup: Malu yang Menyelamatkan

Malu adalah bagian dari iman. Tapi bukan sekadar malu kepada manusia, melainkan malu kepada Allah dan malu kepada orang-orang saleh yang telah menempuh jalan panjang untuk meraih rida-Nya.

> Jika mereka mampu menangis karena takut kepada Allah,
mengapa kita masih bisa tertawa dalam kelalaian?

> Jika mereka rela kehilangan dunia demi akhirat,
mengapa kita justru menjual akhirat demi dunia?

Dengan mereka, kita harus malu… lalu menunduk… lalu berubah. (Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement