SURAU.CO-Peristiwa heroik Surabaya 10 November 1945 tak bisa dilepaskan dari sosok Bung Tomo, yang dikenal sebagai orator jihad dari Surabaya. Suaranya membakar semangat rakyat, mempersatukan umat, dan menyulut keberanian atas dasar semangat keimanan dalam Perang 10 November. Bukan hanya seruan nasionalisme, tetapi juga takbir dan nilai-nilai Islam yang ia gaungkan menjadikan perjuangan ini bukan semata konflik fisik, melainkan spiritual dan ideologis.
Keberanian Bung Tomo bukan sekadar perlawanan terhadap penjajahan, tapi manifestasi dari semangat keimanan dalam Perang 10 November. Ia menyuarakan jihad melawan ketidakadilan dan mengajak umat Islam meneladani keberanian sahabat Nabi dalam membela kebenaran.
Jihad Retorika: Bung Tomo dan Keberanian Dakwah
Dalam orasi-orasinya, orator jihad dari Surabaya ini tak hanya bicara strategi militer, tapi menyisipkan nilai dakwah. Ia menyampaikan bahwa perjuangan bukan hanya urusan duniawi, tetapi juga memiliki dimensi ukhrawi. Takbir “Allahu Akbar” yang menggema dari mulutnya adalah simbol penyerahan total kepada Allah dan pengingat bahwa kemenangan hakiki ada di sisi-Nya.
Bung Tomo memahami bahwa keberanian umat tak bisa hanya digerakkan dengan senjata, tetapi juga dengan keyakinan. Orasinya adalah bentuk retorika jihad — bukan untuk membunuh, tetapi untuk menghidupkan keberanian dan harga diri.
Semangat Keimanan dalam Orasi: Ketika Takbir Mengalahkan Meriam
Semangat keimanan dalam Perang 10 November tergambar jelas saat rakyat biasa, bahkan santri dan anak-anak muda, rela maju ke medan tempur meski hanya bersenjata bambu runcing. Bung Tomo menjadikan ayat-ayat keimanan sebagai semangat kolektif. Ia mengutip ayat jihad dan hadis-hadis keberanian, meskipun bukan secara literal, namun tersirat dalam kalimat-kalimat membakar.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana kekuatan spiritual bisa menjadi energi sosial-politik. Bung Tomo tak hanya memimpin suara rakyat, tapi juga menjadi imam perjuangan mereka.
Inspirasi dari Sejarah Islam: Sahabat dan Mujahid Sebagai Role Model
Meski tidak eksplisit, Bung Tomo kerap mengangkat narasi perjuangan umat Islam terdahulu. Ia menyebut bahwa rakyat Surabaya harus seperti para sahabat dalam perang Badar — berjuang dalam kondisi minim tapi menang karena iman. Referensi ini bukan sekadar retoris, tetapi mengakar kuat dalam jiwa masyarakat yang kala itu masih sangat religius.
Perang Surabaya dengan semangat takbirnya adalah pengejawantahan sejarah Islam yang hidup kembali. Seperti Khalid bin Walid yang dikenal sebagai “Pedang Allah”, Bung Tomo pun dikenang sebagai “Mikrofon Allah” — alat perjuangan lewat suara yang membangkitkan iman.
Warisan Spiritualitas: Keteladanan Bung Tomo di Era Kini
Di tengah zaman digital dan apatisme generasi muda, warisan orator jihad dari Surabaya ini tetap relevan. Ia bukan hanya ikon nasionalisme, tetapi teladan bagaimana iman dan perjuangan bisa berjalan seiring. Semangat ini patut dihidupkan kembali dalam konteks hari ini — bahwa membela kebenaran, menyuarakan keadilan, dan melawan ketidakadilan adalah bagian dari jihad modern.
Sekolah-sekolah, pesantren, dan komunitas dakwah harus terus mengenalkan kisah ini sebagai inspirasi. Bung Tomo bukan ulama, tapi orasinya membawa ruh dakwah. Ia membuktikan bahwa politik dan Islam bisa bersatu dalam bingkai perjuangan rakyat.
Semangat Bung Tomo sebagai orator jihad dari Surabaya adalah warisan yang tak ternilai bagi bangsa Indonesia. Ia membuktikan bahwa kekuatan iman mampu membakar semangat juang rakyat dalam melawan penjajahan. Orasinya yang menggugah, penuh takbir dan nilai spiritual, menjadikan perjuangan 10 November bukan sekadar pertempuran fisik, tetapi juga jihad moral dan keimanan.
Kisah Bung Tomo bukan hanya catatan sejarah, tetapi cermin semangat keimanan yang hidup dalam perjuangan. Ia menunjukkan bahwa suara yang disuarakan dari hati yang beriman mampu menggugah bangsa. Mari kita terus warisi semangat ini sebagai bentuk cinta tanah air dan bukti iman yang kokoh. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
