SURAU.CO. Tahun 2024 menjadi saksi bisu penderitaan anak yang luar biasa. pada zona konflik di seluruh dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat data yang sangat mengejutkan yaitu 41.370 pelanggaran berat terhadap anak-anak. Data ini merupakan rekor tertinggi yang pernah tercatat. Peningkatannya mencapai 25 persen dari tahun sebelumnya.
Angka tersebut mencatat kasus kekerasan mulai dari Gaza yang membara hingga Kongo. Anak-anak menjadi korban paling rapuh. Mereka menanggung dampak perang yang sangat mengerikan yang lonsekuensinya melampaui sekadar luka fisik. Perang membentuk dan menghancurkan masa depan mereka.
Hilangnya Masa Kanak-Kanak
Laporan Dewan Keamanan PBB pada 17 Juni menyebut sedikitnya 22.495 anak mengalami cacat fisik. Mereka terbunuh, direkrut paksa, atau tak mendapat bantuan kemanusiaan. “Tangisan 22.495 anak tak berdosa yang seharusnya belajar membaca atau bermain bola, tetapi malah dipaksa belajar bertahan hidup dari tembakan dan pemboman, seharusnya membuat kita semua terjaga di malam hari. Ini harus menjadi peringatan. Kita sudah berada di titik yang tidak bisa kembali, Virginia Gamba, perwakilan khusus Sekjen PBB
Melansir laporan dari laman arabnews, data ini yang paling memberatkan sejak tahun 1996. PBB juga mencatat lonjakan pelanggaran yang tumpang tindih. Pada 2024, sekitar 3.137 anak menjadi korban berbagai jenis kekerasan. Ini termasuk penculikan, perekrutan paksa, dan kekerasan seksual. Angka ini naik dari 2.684 pada tahun sebelumnya.
UNICEF bahkan telah memperingatkan krisis ini jauh sebelumnya. Badan PBB untuk anak-anak ini menyebut 2024 sebagai tahun terburuk. “Dari hampir semua aspek, tahun 2024 merupakan salah satu tahun terburuk yang pernah tercatat bagi anak-anak yang berkonflik dalam sejarah UNICEF — baik dari segi jumlah anak yang terdampak maupun tingkat dampaknya terhadap kehidupan mereka,” kata Catherine Russell, direktur eksekutif UNICEF. Anak-anak di zona konflik juga sangat rentan kekurangan gizi. Mereka terpaksa mengungsi dan putus sekolah.
Luka Batin yang Tak Terlihat
Dampak perang tidak hanya berupa luka fisik. Luka psikologis yang ditimbulkan jauh lebih dalam dan bertahan lama. Seringkali, trauma ini berlangsung lebih lama dari konflik itu sendiri. Dr. Jeeda Alhakim, seorang psikolog konseling, memberikan pandangannya. “Laporan PBB baru-baru ini menunjukkan bahwa anak-anak yang terjebak di zona konflik menghadapi tingkat bahaya yang tak terbayangkan,” ujar Dr. Alhakim kepada Arab News.
Paparan kekerasan terus-menerus mengubah persepsi anak tentang keamanan. Hal ini bahkan dapat membentuk ulang biologi mereka. “Ketika tubuh terus-menerus dalam mode bertahan hidup, akan lebih sulit untuk tidur, berkonsentrasi, atau merasa tenang,” jelasnya.
Stres beracun ini mengganggu perkembangan otak. Terutama pada area yang mengatur memori dan emosi. “Trauma tidak hanya menetap di pikiran,” kata Alhakim. “Trauma juga tertanam di sistem saraf.” Ia menambahkan adanya “gangguan dalam sistem pengaturan stres otak,” yang memengaruhi amigdala, hipokampus, dan korteks prefrontal.
Ia menekankan bahwa trauma tidak selalu terlihat jelas. “Beberapa anak tampak baik-baik saja di luar, tetapi sebenarnya sedang berjuang di dalam. Yang lain menunjukkan tanda-tanda kesulitan secara lebih terbuka. Itu tergantung pada pengalaman mereka, dukungan yang mereka miliki, dan apa yang telah mereka hilangkan.”
Fokus pada Gaza dan Wilayah Lainnya
Wilayah Palestina menduduki peringkat tertinggi dalam laporan PBB. Terdapat 8.554 pelanggaran terverifikasi di sana. Lebih dari 4.856 pelanggaran terjadi di Jalur Gaza saja. PBB mengonfirmasi kematian 1.259 anak Palestina di Gaza. Sementara 4.470 laporan kematian anak lainnya masih dalam proses verifikasi.
Sejak operasi militer Israel dimulai, anak-anak Gaza menghadapi teror. Mereka mengalami pemboman, kekurangan pasokan, dan runtuhnya layanan vital. Situasi memburuk pada Maret saat blokade diperketat. Philippe Lazzarini dari UNRWA memberikan pernyataan keras. “Di bawah pengawasan kami, Gaza telah menjadi kuburan bagi anak-anak (dan) orang-orang yang kelaparan,” tulisnya di X. Kekerasan juga melonjak di wilayah lain. PBB mencatat lebih dari 4.000 pelanggaran di Kongo, sekitar 2.500 di Somalia dan Nigeria, serta lebih dari 2.200 di Haiti.
Kekerasan Seksual Sebagai Senjata Perang
Salah satu tren paling mengkhawatirkan adalah lonjakan kekerasan seksual. PBB mencatat peningkatan 35 persen kasus pada tahun lalu. Adapun kekerasan ini digunakan secara sistematis sebagai senjata perang.
“Kekerasan seksual sangat menghancurkan,” kata Alhakim. “Kekerasan ini tidak hanya menyakiti anak-anak secara fisik, tetapi juga secara emosional dan sosial.”
Jumlah kasus yang sebenarnya jauh lebih tinggi. Stigma dan ketakutan membuat banyak korban tidak melapor. Save the Children melaporkan 1.938 anak menjadi korban kekerasan seksual berat pada 2024. Angka ini menandai kenaikan 50 persen sejak 2020. “Menormalkan tingkat kekerasan terhadap anak ini berarti menerima hancurnya kemanusiaan kita bersama,” tegas Helen Pattinson, CEO War Child UK. Untuk itu Helen menekankan agar pemerintah harus segera bertindak untuk membalikkan keadaan duka, trauma, dan kehilangan yang dialami anak-anak. Menurutnya bagi jutaan anak yang hidup dalam tekanan perang, bertahan hidup saja tidak cukup. Mereka membutuhkan rasa aman, keadilan, dan kesempatan untuk kembali bermimpi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
