Surau.co – Apes. Masyarakat Indonesia kembali kena tipu oleh produsen. Kali ini, penipuan dilakukan oleh sejumlah produsen yang memasarkan dan menjual beras premium di pasaran. Kasus ini, hanya berselang beberapa bulan setelah masyarakat juga menjadi korban pertamax oplosan yang sempai ramai dan viral.
Duduk Perkara Kasus Beras Oplosan
Terungkapnya kasus beras oplosan bermula dari pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang menyebut ada kerugian masyarakat hingga Rp 99 triliun dalam transaksinya. Kerugian itu berasal dari praktik kecurangan terhadap beras premium.
Modusnya, beras dengan kualitas premium tersebut dioplos dengan beras berkualitas rendah, namun dijual dengan harga premium. Selain itu, ada juga indikasi pengurangan takaran dari jumlah yang tertera seberat 5 kilogram.
Satgas Pangan Polri pun langsung turun tangan dengan memeriksa produsen yang terindikasi melakukan pelanggaran mutu. Hasilnya, ada tujuh perusahaan dengan ratusan merek yang diduga melakukan praktik culas tersebut.
Antara lain Wilmar Group atas merek Sania, Sovia, Fortune, dan Siip. Lalu PT Belitang Panen Raya atas merek Raja Platinum, Raja Ultima, hingga PT Sentosa Utama Lestari atau Japfa Group dengan merek Ayana.
Oplosan dalam Pandangan Islam
Perilaku mengoplos bukan hal baru. Bahkan, sudah terjadi di era Nabi Muhammad SAW. Salah satu contoh kasus yang diriwayatkan terjadi dalam kasus oplosan gandum. Suatu ketika saat berkeliling di pasar, Nabi menemukan seorang pedagang yang menjual gandum basah. Dari luar, gandum itu terlihat berkualitas baik. Namun saat Nabi memasukkan tangannya ke dalam tumpukan gandum tersebut, ternyata bagian dalamnya basah.
Nabi lantas menanyakan alasan kenapa basah. Sang pedagang beralasan gandumnya terkena air hujan. Nabi lalu bertanya sekaligus menegurnya. “Mengapa engkau tidak letakkan yang basah di atas agar orang-orang bisa melihatnya?”.
Meski yang menjadi contoh Gandum, praktik ini berlaku untuk semua jenis transaksi. Riwayat ini menunjukkan jika asas transparansi, fair, dan jujur menjadi prinsip utama saat praktik berjual beli dalam islam. Dalam haditsnya, Nabi bahkan menyatakan dengan keras bahwa penjual yang menipu bukan dari golongannya.
“Barang siapa menipu, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim)
Mengurangi Takaran dalam Islam
Islam sangat membenci perilaku menyunat atau mengurangan timbangan/takaran. Hal itu, bahkan Allah tegaskan langsung dalam Al-Quran Surat Al-Muthafifin ayat 1-3.
“Celakalah orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Mereka adalah) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. (Sebaliknya,) apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka kurangi.”
Dalam ayat itu, Allah mengkategorikan pelaku pengurangan takaran sebagai orang yang tercela. Perilaku menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain tidak dibenarkan dalam islam.
Jualan yang dicontohkan Nabi
Nabi Muhammad adalah contoh terbaik dalam berdagang bagi umat islam. Kebetulan, nabi merupakan seorang yang pedagang. Jiwa entrepreneurnya, sudah tumbuh sejak usia 12 tahun. Pamannya Abu Thalib pernah mengajaknya berdagang ke Syam (saat ini Suriah). Sejak saat itu, Nabi menekuni dunia usaha atau dagang. Pada usia 17 tahun, Nabi sudah mendapat kepercayaan sebagai utusan dagang ke berbagai negeri di jazirah arab.
Bahkan pada usia 25 tahun, nabi sudah menjadi pengusaha yang sukses dan kaya. Buktinya, saat menikahi Khadijah, dia memberikan mas kawin berupa 20 ekor unta dan 12,4 ons emas.
Salah satu kunci sukses usahanya adalah jujur. Ketika berdagang, Nabi selalu jujur dalam menjelaskan kondisi barang dagangannya, termasuk kekurangan dan kelemahannya. Cara itu, membuat pembeli senang dan merasa tidak tertipu.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
