SURAU.CO – Mengenang jejak yang telah kita tapaki sejak 13 Juli 2007, hati ini bergetar. Sebuah optimisme tak terucap menyelimuti, “Insya Allah, mimpi besar umat perlahan akan menjadi nyata.” 18 Tahun BWI menandai kelahiran sebuah lembaga yang telah lama dinanti. Lembaga ini mengemban amanah besar: menjaga setiap jengkal tanah, menghimpun setiap rupiah, meredam setiap amarah, dan menyatukan setiap niat tulus. Semua ini bertujuan untuk memperkuat marwah, bahwa umat ini memiliki kontribusi dan harga diri, sebagaimana telah teruji dalam jejak sejarah.
Di awal, kita merangkak, menapaki regulasi yang terseok, menegosiasi batas kewenangan, sambil menumbuhkan kepercayaan umat yang masih rapuh. Namun sedikit demi sedikit, nafas kolektif itu mulia terhirup; harapan dan kepercayaan mulai diberikan, orang baik berdatangan, pemangku kepentingan mengajak bergandengan tangan.
Transformasi Pemahaman dan Inovasi Sepanjang 18 Tahun BWI
Dalam perjalanan itu, kita menyadari bahwa wakaf bukan hanya urusan seremonial. Alih-alih menjadi sekadar titipan pasif, ia harus bergerak, berdenyut, memproduksi manfaat nyata. Dari tanah tidur adi pelosok desa hingga gedung perkantoran produktif di kota, setiap aset harus diabdikan untuk kesejahteraan bersama.
Kita hadirkan instrumen inovatif dan kerja kolaboratif, supaya amanah yang kita pegang, tidak hanya aman, tapi juga produktif. Kesadaran ini kian berkembang saat gelombang digital merayap ke seluruh sendi kehidupan: platform wakaf online, aplikasi pelaporan real time, dan integrasi data antar lembaga melahirkan gelombang partisipasi generasi muda yang haus kemudahan. Semua ini menandai babak baru Optimalisasi Wakaf Indonesia selama 18 Tahun BWI berkarya.
Tantangan Besar: Kesenjangan Potensi dan Sertifikasi Aset
Namun, di balik semarak angka dan capaian, ada desah kegelisahan. Dari potensi wakaf uang yang tercatat hingga ratusan triliun rupiah per tahun, realisasinya masih berkutat di kisaran tiga triliunan. Artefak besarnya menggoda rasa bangga, namun menyisakan tanya: mengapa “raksasa tidur” itu belum sepenuhnya terbangun?
Di sanubari ini bergema panggilan lirih: literasi wakaf harus terus kita kobarkan. Kita tidak hanya melaksanakannya lewat media cetak dan seminar. Justru, kita perlu menyampaikannya lewat cerita inspiratif yang menyentuh setiap lapis hati.
Diantara luka sunyi yang terus membebani pundak hingga kini adalah _sertifikasi aset wakaf_. Hampir setengahnya belum tercatat dengan resmi, berpotensi lenyap atau terseret sengketa ambisi. Dalam hening malam, terbayang orang-orang yang menanti manfaat wakafnya, bayangan itu membangunkan kesadaran bahwa tugas kita belum tuntas. Kita memerlukan tambahan barisan nazhir profesional, bukan relawan setengah hati. Pelatihan, sertifikasi, dan akreditasi mesti dibentang seluas mungkin—supaya setiap aset yg terjaga benar-benar mampu menjawab kebutuhan laik hidup masyarakat.
Merajut Harapan: Sinergi dan Budaya Wakaf sebagai Gaya Hidup
Di hadapan masa depan, kita harus merajut harapan. Fondasi regulasi wakaf harus mampu memeluk spirit modernitas tanpa meninggalkan nilai tradisi. Regulasi wakaf harus mampu membongkar dinding penghalang dan penghambat perwakafan.
Koordinasi, sinergi, dan kolaborasi antar lembaga wajib kita perkuat. Tujuannya adalah agar alur gerak dan langkah tidak terhambat birokrasi. Dan lebih dari itu, kita perlu aksi nyata untuk menanamkan budaya wakaf sebagai gaya hidup. Ini bukan sekadar ritual sesaat, melainkan napas harian.
Berbagai komunitas kreatif yang menggalang crowdfunding wakaf untuk mendukung berbagai proyek inklusif bagi kesejahteraan umum harus kita tumbuhkan. Karena di sanalah letak kekuatan kolektif yang akan menuntun Indonesia menuju kharisma perwakafan global.
Menapaki usia delapan belas tahun, Badan Wakaf Indonesia (BWI) harus memastikan bahwa setiap rupiah uang wakaf harus menjadi denyut nadi peradaban. Setiap jengkal tanah wakaf harus menjadi pijakan bangunan kesejahteraan. Dan setiap instrumen inovatif wakaf harus menjadi jembatan penghubung antara tradisi dan masa depan.
Delapan belas tahun bukan semata-mata angka. Ia merupakan cerita dedikasi, pergulatan, dan panggilan untuk terus membangun “jejak”. Karena sejatinya hidup bukanlah sekadar aktivitas perjalanan mengukur “jarak”—jarak tempuh perjalanan atau usia kehidupan. Sejatinya hidup adalah aktivitas mengukir “jejak”, jejak kemanfaatan bagi sesama dan jejak menyenangkan dengan siapapun yang pernah berjumpa dan bekerja sama.
Selamat Ulang Tahun Badan Wakaf Indonesia!
🙏
BURSA, Turkiye,
menjelang Subuh,
14 Juli 2025
Oleh: Dr. KH. Tatang Astarudin, M.Si, Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
