Sosok
Beranda » Berita » IMAM AZIZ

IMAM AZIZ

Imam Aziz Meninggal Dunia
KH. Imam Aziz, tokoh NU, pendiri LKiS, dan Pengasuh Pesantren Bumi Cendekia.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Imam Azis, seorang santri yg mengabdikan hidupnya untuk kerja2 kemanusiaan, telah berpulang ke rahmarullah. Saya mendapat kabar duka itu melalui pesan singkat dari Faqih, tadi (12 Juni 2025), sekitar jam 03.00, pagi. Sungguh itu berita (sedih) yg mengagetkan , membuat saya terhenyak.

Saya mengenalnya sejak lama, dan berhubungan dgnya dalam berbagai bentuk kerjsama dlm waktu yg cukup lama. Dia adalah tokoh NU yg kritis dan penuh insiatif untuk perubahan, dari sejak usia muda. Dia adalah aktivis PMII (pernah menjadi Ketua PMII cabang Yogyakarta, pada awal 1990-an), pada masa beajarnya di perguruan tinggi) pernah memjadi pemimpin majalah Arena (sebuah media kritis pada masa permerinrah orba yg refresif). Kemudian lepas kuliah mendirikan dan memimpin LPSM NU di Yogyakarta, pd pertengahan 1990-an (meskipun pakai NU tetapi lembaga ini secara struktural tak terkait dg NU); dia ikut mendirikan atau paling tidak bagian dati LKis (sebuah NGO, yg bertujuan mewujudkan tatanan Islam transformatif yg berpihak pada Keadilan); pada masa2 awal reformasi, mendirikan Syarikat (sebuah organisasi yg didirikan untuk membangun rekonsiliasi dg para eks tapol 1965; syarikat berharap korban bisa kembali menjadi warag negara yg utuh). Saya, bersama Kemala Candra, diajak bergabung dlm Syarikat (sebagai anggota majelis musyawarah Syarikat). Dan banyak lagi yg telah dilakukan Imam Azis.

Ada banyak kenangan dg Imam Azis. Sekitar tahun 2004, kami tergabung sebuah gerakan yang disebut Musyawarah Besar Warga NU (yg seringkali diplesetkan Imam Azis sendiri sebagai Musyawarah Besar Sekali Warga NU, disingkat Mubesek Warga NU). Itu adalah sbuah gerakan kritik terhadap aksi tokoh puncak NU yg dinilai berupaya menyeret NU ke dalam politik praktis. Itu juga kritik terhadap penyelengaraan Mubes atau Muktamar NU yg semakin bergantung pada proposal (mengandalkan bantuan dari pihak luar).

Mubes, atau Mubesek Warga NU itu di selenggarakan di Cirebon. Tentu saja, karena diluar agenda dan merupakan kritik, itu dianngap gerakan liar oleh dan tidak mendapat restu dari PBNU. Pada hari-H itu adalah sebuah pertemuan besar yg di hadiri oleh warga dan aktivis NU, dari berbagai daerah di Indonesia; kalau tdk salah, bahkan ada peserta dari Maluku. Aksi drancang dan diselenggarakan sebagaima penyelenggaraan Mubes atau Multamar NU. Sebelum Hari H, ada sejumlah pertemuan merancang arah, tema2 dan proses penyelenggaraan, yg melibatkan baanyak orang yg aktif diberbagai NGO dan Pesantren. Pada hari H, orang2 berkumpul dan berdiskusi dalam kelompok2 yg berbeda sesuai dengan tema2 yg disepakati sebelum; lalu ada pleno besar. Pertemuan itu juga diawali dg istigosah. Yang jelas berbeda adalah semangat, proses, dan arah. Itu bukan diselenggarakan untuk memilih ketua Umum, atau menetapkan anggaran dasar. Tentu saja ada program atau gagasan2 yg operasianal (merespon persoalan). Tetapi itu diserahkan kepada lembaga peserta yg terlibat dalam pertemuan itu. Memang yg hadir, selain warga NU, juga kebanyakan aktivis NU, yg bernaung dlm lembaga2 tertentu. Saya mrndapat tugas menjadi fasiliator pada forum yg membahas persoalan kerusakan lingkungan. Membicarakan modernisasi pertanian (penggunaan pestisida dan penggunaan pupuk kimia), yang telah merusak ekosistem pertanian; penggundulan hutan; industri yg tidak saja mengambil tanah rakyat tetapi juga menyedot air tanah yg (berpotensi) mengakibatkan kelangkaan air bersih di berbagai daerah, dan juga menghasil limbah yg mengotori sungai dan laut; pengrusakan trumbu karang, dsb.

Pertemuan itu juga bisa dikaitkan dg lahirnya buku “Menggagas Fiqh Lingkungan Hidup” karya Kiai Ali Yafie. Saya, setelah pertemuan itu, intesif berdiskusi dg Kiai Ali Yafie. Sebelumnya Kiai Ali Yafie, memang telah menulis tentang kerusakan lingkungan akibat pembangunan, dlm perspektif Fiqhi, dan itu lebih dipertegas lagi dalam pidato pengukuhan Gurur Besarnya. Setelah berdiskusi panjang lebar dg Kiai Ali Yafie, maka pidato Guru Besar Kiai Ali Yafie itu, kemudian dikembangkan dan ditulis kembali dalam bentuk sebuah buku, sebuah tulisan utuh, yg kemudian diberi judul “Mengagas Fiqhi Lingkungan”.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Dari segi penyelenggaraan, petemuan itu juga merupakan sebuah kritik atas penyelenggaraan Mubes atau Muktamar; yg banyak bergantung pada pihak luar. Peserta datang dg biaya sendiri, dan membawa bekal sendiri. Mereka membawa beras, buah2an (seperti, pisang , buah kelapa, dll), sayur-sayuan, ayam; bahkan ada yg membawa kambing, dan seabaginya. Peserta di tempatkan di pemodokan santri di beberapa pesantren di Cirebon, di rumah2 kiai, pengasuh pondok, yg terpusat di Prsahtren keluarga Kiai Yahya. Saya membayangkan mungkin begitu susana Muktamar zsmsn dulu. Sangat mandiri. Ada yg menaksir, keseluruhan bahan yg di bawa peserta itu dan disumbangkan dlm pemyelenggraan Mubes, srkitar Rp. 70.000.000. (Tahun 2004).

Imam Azis, adalah santri yg sangat menghormati gurunya. Dia adalah santri Kiai Sahal; sebelum melanjutkan pendidikan dan menetap di Yogyakarta, dia belajar di PP Mathaliul Falah, Kajen. Maka dalam proses mempersiapkan Mubes warga NU, Imam Azis merasa tidak tenang kalau tidak mengkomunikasikan tentang rencana Mubes itu, kepada Kiai Sahal, yg ketika otu adalah Rois Am PBNU. Maka dia, juga atas dorongan kawan2 yg aktif mempersiapkan Mubes itu, dia berusaha bertemu dg Kiai Sahal. Tetapi situasinya agak rumit, sehingga tidak bisa bertemu. Karena itu dia meminta saya agar membawa bertemu dg Kiai Sahal. Saya pun meminta kepada almarhum Kiai Masykur Masykub (waktu itu direktur Lakpesdam NU; juga santri Kiai Sahal) untuk meminta waktu kepada Kiai Sahal. Sehari sebelum berangkat ke Cirebon, pada waktu yg dijanjikan, kami (saya, Imam Azis, al marhum Kiai Yahya Cirebon; dua tokoh Mubes warga NU), datang ke rumah Kiai Sahal di Jakarta, setelah magrib; sebenar Masykub Masykub juga ikut, tetapi dia tak berani masuk. Suasana pd awalnya kaku. Setelah berbasa-basi, menanyakan kabar ttg Kiai Ali Yafie, suasana menjadi hening sejenak, sampai saya melihat Ibu Nyai Nafisah melintas di ruangan tengah. Saya pun tegerak untuk bertanya ttg Gus Rozin. “Bagaimana kabarnya Rozin, Kiai”. Seketika Kiai Sahal tersenyum. Kiai Sahal menjwab: “dia srkarang ada di Australia, belajar ..”. Setelah diam sejenak, kiai Sahal melanjutkan: ” .. saya sekarang punya cucu Helmy .. itu (sambil menunjuk Ibu Nyai Nafisah yg ada di ruang tengah) .. baru saja pulang dari mengunjungi cucunya”. Sangat menyenangkan melihat Kiai Sahal bersama Ibu Nyai Nafusah tersenyum bahagia. Maka suasana pun menjadi cair.

Setelah kurang lebih 20 menit bercerita ttg Gus Rozin, Kiai Sahal bertanya ttg maksud kedatangan saya dan kawan2 itu. Saya pun mengatakan bahwa saya datang membawa kawan2, para pemimpin yg menginisasi Mubes Warga NU di Curebon, Kiai Yahya dan Imam Azis. Saya mengatakan mereka merasa sanagt bersalah jika tidak bertemu dg dan melaporkan itu Kiai Sahal (sebagai Rois Am). Setalah terdiam sejenak, Kiai Sahal berkata:,”Beginilah anak2 muda ini .. Helmy .. mereka ini tidak faham posisi saya (sebagai Rois Am) .. saya faham apa maksud kalian .. tetapi saya tidak bisa memberi restu secara tebuka kepada kalian .. (karena ini diluar agenda PBNU) .. dan kalian juga faham dg situasi NU sekarang .. apa yg telah diputuskan PB .. (menon-aktifkan Ketua Tanfidziyah, Kiai Hasyim Muzadi, yg maju mencalon diri sebagai wakil Presiden; berpasangan Ibu MegawatI) itu sudah maksimal”. Agak lama kiai Sahal berbicara, tentang situasi PBNU, dan kecerobohan panitian Mubes. Meskipun Kiai Sahal berbicara dg wajah seius, tetapi suasananya tidak lagi kaku; seperti ketika kami mulai satang. Imam Azis dan Kiai Yahya lebih banyak diam, memdengarkan dan mengiakan dg takzim.

Ketika mau pamit, Kiai Yahya dan Imam Azis, meminta Kiai Sahal berdoa. Kami pun pulang. Besoknya beberapa koran menampulkan foto Kiai Sahal berdoa dihadapan kami, dan memberitakan bahwa Rois Am PBNU merestui Mubes Warga NU itu. Saya menunjukkan koran itu kpd Imam Azis, berkata: “apa ini ?”. Sambil nyengir, Imam berkata: “.. itu diluar kontrol mas .. tetapi tenang saja .. kiai Sahal tidak akan marah kpd sampeyan ..”. Kami berdua tertawa.

Saya kira Mubes Warga NU adalah yg salah hasil kerja anak2 muda NU, pada zamanya, yg dimotori oleh Imam Azis, yg patut dikenang. Itu sebuah gerakan spontan yg merupakan kritik mendasar terhadap PBNU, yg dianggap keluar dari jalurnya. Tentu saja, banyak orang yg terlibat dlm proses penyelenggaraan Mubes itu. Tetapi Imam Azis adalah tokoh utama dari gerakan. Saya tidak yakin Mubes Warga NU bisa terselenggara seperti itu tanpa adanya Imam Azis.

Generasi Sandwich dan Birrul Walidain: Mengurai Dilema dengan Solusi Langit

Banyak tokoh muda NU yg menonjol pada masa itu, tetapi mungkin sedikit yg mempunyai daya menggerakkan seperti Imam Azis. Boleh jadi itu didukung oleh situasi. Ada moment yg teoat. Tetapi menurutku Imam Azis itu memang mempunyai tempat khusus di kalangam anak muda NU, pada masanya. Dia itu seperti mempunsi semacam perekat bagi anak muda. Sehingga mampu menyatukan mereka untuk melakukan aksi (kritik atas kemapanan) yg cukup mendasar.

Dia menpunyai karakter kuat yg tampaknya mulai terbentuk sejak dari menempuh pendidikan di pesantren. Pesantren pada masa Imam Azis adalsh sebuah lingkungan pendidikan yg membangun kemandirian, kepekaan dan solidaritas kepada sesama. Pada masa dia di pergiruan tinggi, masa orde baru yg refresif, dia terlibat dalam gerakan mahasiswa (melalui PMII). Masih pada masa orde baru, selepas kuliah, dia bergabung dg gerakan NGO, melalui lembaga2 yg dibuat dan atau yg diikutinya. Itu memperkuat karakternya yg peduli, peka, punya empati besar terhadap masyrakat lapis bawah. Saya kira karakter itu tidak banyak berubah sampai masa akhir hayatnya.

Mungkin pada masa dia aktif, PBNU juga seringkali terpleset dan masuk dlm jebakan kekuasaan. Tetapi seingat saya, Imam Azis tidak pernah secara terbuka mengeluarkan pernyataan yg menyakiti teman2nya yg bergerak di luar. Mungkin juga dia seringkali berada dalam situasi dilematis, tetapi dia bisa menahan diri, dan tidak tampil depensif; seperti pemain belakang kesebelasan sepakbola yg main tebas, krn terus menerus mendapat tekanan dari lawan; tanpa memperhatikan aturan main. Dia tidak grasa-grusu. Paling tidak, ketika kami ngobrol, dia tidak bias melihat persoalan krn posisinya (sebagai PBNU). Dia adalah orang yg tertempa pengalaman. Sehingga, meskipun berada ditempa yg tinggi, dia tetap berpijak di tanah. Saya kira dia adalah tokoh NU yang langka. Imam Azis, bagi anak2 muda yg aktif dunia NGO atau gerakan kulural NU, dia adalah guru, pembimbing dan panutan, terutama dlm aksi2 pemberdayaan masyakat. Itu sebabnya dia sangat dihormati.

Tentu saja, tidak ada yg srmpurna. Dia tetap manusia yg tidak luput dari kekeliriuan, dan mempunyai kelemahan. Dia juga tetap mempunyai rasa sakit, marah, tersinggung, dan sebagainya. Tetapi menurutku, dia yang terbaik.

Dia juga ada seoranga suami dan ayah yang baik. Dia menghormati pasangannya dan menyayangi kekuarganya. Ketika peluncuran buku “Membumikan pesan langit”, pada 100 hari wafatnya kiai Ali Yafie, dia datang dan duduk berbaur dg undangan yg duduk dibagian belakang, bersama Rumadi dan Hamzah Sahal, dg menggendong anaknya yang masih kecil; kalau tidak salah waktu Rindang, isterinya, sedang menunaikan ibadah haji. Terakhir saya bertemu dg nya di acara Gus Durian di Yogya, dia memeluk saya dari belakang, terkekeh sambil berkata: “kangen”.

Hidup Lambat (Slow Living) ala Rasulullah: Menemukan Ketenangan di Kitab Nawawi

Inna lillahi wa inna ilaihi raj’un. Selamat jalan Imam Azis. Semoga mendapatkan se-baik2nya tempat disana.

Jampue,
Helmi Ali


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement