Sejarah
Beranda » Berita » Dilarang Menikah? Mitos Kualat antara Lampung–Banten Terungkap

Dilarang Menikah? Mitos Kualat antara Lampung–Banten Terungkap

Prasasti Dalung Kuripan (Versi Perak Duplikat)
Prasasti Dalung Kuripan (Versi Perak Duplikat)

Penulis Artikel : Hendri Hasyim

SURAU.CO-Benarkah orang Lampung tidak boleh memperistri perempuan Banten karena takut terkena kualat atau upat-upat? Pertanyaan ini mengundang rasa penasaran banyak orang. Isu mitos kualat antara Lampung–Banten muncul dari perjanjian sakral antara dua kerajaan besar di Nusantara: Kesultanan Banten dan Kerajaan Lampung.

Cerita rakyat dan naskah kuno menyebutkan adanya larangan tidak tertulis bagi lelaki Lampung yang memaksa perempuan Banten, atau sebaliknya. Jika hal ini terjadi, masyarakat percaya bahwa pelakunya akan terkena upat-upat, semacam kualat atau kesialan dalam hidup.

Prasasti Kuripan dan Kualat Leluhur

Sumber utama kepercayaan ini berasal dari Prasasti Dalung Kuripan, lempengan logam perunggu yang berisi ikrar antara Sultan Maulana Hasanuddin dari Banten dan Ratu Darah Putih dari Lampung. Salah satu bagian prasasti berbunyi:

“Perempuan Banten kalau dipaksa orang Lampung, belum suka, maka yang bersangkutan dari Lampung kena upat-upat. Perempuan Lampung kalau dipaksa orang Banten, belum suka, orang Banten terkena upat-upat.”

Mustafa Kemal Ataturk: Modernisasi dan Perkembangan Islam Modern

Kalimat itu menegaskan bahwa kedua belah pihak harus saling menghormati. Leluhur dua kerajaan melarang pemaksaan terhadap perempuan. Sayangnya, sebagian orang kemudian mengartikan perjanjian itu sebagai larangan menikah lintas etnik.

Makna Budaya di Balik Upat-upat

Dalam budaya Nusantara, upat-upat berfungsi sebagai alat sosial untuk menjaga etika dan keseimbangan. Aturan ini membantu mencegah konflik, menjaga harmoni, dan menegaskan batas-batas moral dalam masyarakat.

Di masa lalu, aturan ini juga melindungi aliansi politik dan identitas budaya masing-masing. Hubungan pernikahan yang tidak disetujui bisa memicu ketegangan. Maka, masyarakat menjaga tatanan ini lewat hukum adat dan keyakinan spiritual.

Cinta Terlarang atau Salah Tafsir?

Banyak orang bertanya, apakah benar semua pernikahan antara orang Lampung dan Banten dilarang? Kenyataannya, banyak pasangan Lampung dan Banten yang hidup harmonis tanpa gangguan apa pun.

Kunci utama dari isi prasasti tersebut adalah larangan terhadap pemaksaan. Leluhur menekankan pentingnya persetujuan dalam pernikahan. Jika cinta tumbuh secara sukarela, maka tidak ada alasan untuk takut terkena kualat.

Peran Pemikiran Al-Farabi; Pencerahan Filsafat Yunani dan Barat

Kampung Orang Lampung di Cikoneng Banten

Kampung Orang Lampung di Cikoneng Banten

Jejak Sejarah di Kehidupan Nyata

Kisah ini bukan hanya dongeng. Di Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Serang, komunitas keturunan Lampung telah tinggal sejak ratusan tahun lalu. Mereka dikenal sebagai Lampung Pak Pekon, sebutan untuk warga Lampung yang hidup di empat kampung: Cikoneng, Bojong, Tegal, dan Salatuhur.

Masyarakat masih berbicara dalam bahasa Lampung. Adat istiadat tetap mereka jaga. Simbol budaya seperti siger juga terlihat di banyak rumah warga. Semua ini menunjukkan bahwa persahabatan Lampung–Banten tidak terputus oleh mitos.

Menafsirkan Kembali Warisan Leluhur

Masyarakat modern perlu membaca ulang warisan budaya dengan pemahaman baru. Mitos upat-upat bukan penghalang cinta, melainkan pengingat pentingnya penghormatan dalam hubungan.

Perjanjian leluhur menekankan etika dan keikhlasan, bukan diskriminasi etnis. Jika kita bisa memahami maksudnya secara benar, nilai-nilai luhur itu tetap hidup dan relevan sampai hari ini.

Mitos kualat antara Lampung–Banten sesungguhnya mencerminkan warisan kearifan lokal yang mengajarkan etika dan tanggung jawab dalam hubungan sosial. Larangan menikah bukan inti dari perjanjian itu, melainkan penghormatan terhadap kehendak dan martabat perempuan. Orang Lampung dan perempuan Banten dapat membangun rumah tangga asalkan dilakukan tanpa paksaan dan dengan persetujuan tulus kedua pihak.

Kitab Taisirul Kholaq: Terobosan Pembelajaran Akhlak Metode Salafiyah

Masyarakat modern sebaiknya memahami pesan leluhur ini sebagai simbol penghormatan, bukan pembatas. Dengan begitu, mitos kualat antara Lampung–Banten tak lagi menjadi tembok, melainkan jembatan untuk saling mengenal dan menjaga nilai-nilai budaya luhur.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement