Pernakah anda main layang-layang? Sebagian besar dari kita tentu pernah bermain layang-layang atau layangan. Hampir semua orang mengenal permainan populer ini. Festival dan lomba layang-layang sering diadakan, mulai dari tingkat kampung hingga internasional. Namun, tahukah anda dari mana layang-layang berasal?
Sebelumnya orang mengklaim Tiongkok sebagai asal layang-layang pertama di dunia. Namun klaim itu terbantahkan ketika layang-layang tradisional “Kaghati Kolope” asal Pulau Muna Sulawesi Tenggara memenangkan Festifal Layang-Layang internasional Berck sur Mer di Prancis tahun 1997.
Kaghati Kolope menjadi juara pertama pada lomba layang-layang itu. Berhasil mengalahkan juara sebelumnya Jerman. Pada festival itu, layangan tradisional ini mencuri perhatian berbagai kalangan karena keunikan dan ketangguhannya. Layangan ini berbahan lembaran daun ubi hutan atau Kolope dalam bahasa Muna. Namun demikian, sanggup mengudara tinggi dengan durasi yang lama.
Muasal Kaghati Kolope
Masyarakat Muna sudah mengenal dan memiliki bentuk layang-layang tradisional yang bernama Kaghati Kolope ‘Kaghati’ berarti layang-layang dalam bahasa setempat. Kolope adalah nama ubi hutan.
Layang-layang khas ini memiliki perbedaan dengan layangan biasa. Bahan dasar untuk membuat layangan ini adalah daun Kolope atau ubi hutan (gadung). Secara tradisional orang membuat Kaghati dari bahan-bahan yang berasal dari alam. Daun kolope menjadi bahan utama layarnya, kulit bambu untuk rangka, dan memintal serat nanas hutan menjadi tali layangan.
Pembuat layangan ini mengolah seluruh bahan secara alami hingga menjadi layangan yang tahan air. Mengeringkan dan memotong lembaran daun kolope satu per satu, kemudian merangkainya menggunakan lidi dari bambu sebagai rangka layangan. untuk tali menggunakan serat daun nanas yang dipilin.
Kepercayaan Leluhur
Masyarakat Muna memiliki kepercayaan leluhur tentang makna Kaghati. Mereka memiliki kepercayaan bahwa Kaghati akan menjelma sebagai payung yang meneduhkan pemiliknya dari sinar matahari setelah meninggal dunia. Ketika si pemilik meninggal dunia, dia pergi sambil berpegangan pada tali layangan dan bernaung di bawah layang-layang tersebut.
Selain itu, Kaghati menjadi media hiburan bagi petani Muna pada masa lalu. Mereka biasanya menerbangkan layang-layang saat menjaga kebun. Masyarakat Muna biasanya menerbangkan Kaghati setelah panen raya. Layangan ini ramai mengudara pada bulan Juni hingga September. Sebab, pada bulan-bulan itu angin timur sedang bertiup kencang. Hobi ini telah ada sekitar 400 tahun di Pulau Muna.
Pembuatan Kaghati Kolope
Membuat daun kolope menjadi kertas layang-layang relatif sulit. Saat ini hanya ada beberapa orang di Pulau Muna yang bisa membuat layangan ini.
Secara alamiah, kolope hanya merekahkan daunnya sekitar bulan Mei, saat musim penghujan. Namun saat itu daun masih terlalu muda. Baru pada sekitar bulan Juli daun kolope sudah cukup matang untuk dipetik sebagai bahan layangan.
Untuk kualitas daun Kolope yang baik harus memilih daun yang tua, memanskannya di atas bara api, Kemudian menjemur selama dua hari. Hasilnya daun yang elastis dan kedap air. Satu layang-layang membutuhkan sekitar 100 lembar daun kolope.
Saat ini, para petani di Muna masih memainkan kaghati kolope, terutama setelah masa panen. Saat terbaik untuk menerbangkan kaghati adalah di bulan Juni hingga September. Pada bulan itu angin timur bertiup cukup kencang.
Ukuran Kaghati dengan skala tertentu mampu membuat layang-layang ini terbang tinggi dan sanggup mengudara selama beberapa hari. Ketangguhan layang-layang kaghati membuat masyarakat asing menjadi kagum.
Fakta Ilmiah : Kaghati Kolope Layangan Pertama di Dunia
Ahli layang-layang internasional Wolfgang Bieck yang juga seorang antropolog menyatakan bahwa Kaghati Kolope adalah layang-layang pertama di dunia. Tentu saja pernyataan tersebut berdasarkan penelitian. Bieck mengmukakan temuannya di Goa Sugi Patani Desa Liang Kobori Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara.
Bieck juga adalah salah seorang Counsultant of Kite Aerial Photography Scientific Use of Kite Aerial Photography. Ia meneliti keunikan Kaghati Kolope berawal dari festival layang-layang internasional, Berck sur Mer yang diselenggarakan di Prancis tahun 1997. Kaghati memenangkan juara saat itu.
Dalam penelitian di Goa Sugi Patani, Bieck menemukan lukisan tangan manusia yang menggambarkan seseorang sedang menerbangkan layangan. Lukisan dibuat menggunakan tinta campuran tanah liat dengan getah pohon. Bieck memperkirakan Kaghati telah berumur 4.000 tahun.
Penelitian memperkirakan keberadaan lukisan di gua itu berasal dari masa 9.000 hingga 5.000 sebelum masehi. Artinya, layangan itu lebih tua usianya dibandingkan permainan layang-layang di Tiongkok yang ditemukan pada 2.800 sebelum masehi. Hasil penelitian Wolfgang Bieck ini telah dipublikasikan pada sebuah majalah di Jerman bertajuk The First Kitman pada 2003.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
