Pendidikan
Beranda » Berita » Makna Welas Asih: Akhlak Mulia yang Terlupakan

Makna Welas Asih: Akhlak Mulia yang Terlupakan

Makna Welas Asih: Akhlak Mulia yang Terlupakan

Makna Welas Asih: Akhlak Mulia yang Terlupakan

 

 

Pendahuluan, Dalam dunia yang serba cepat dan kerap kali individualistik ini, nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki semakin terpinggirkan. Salah satu nilai luhur yang mulai tergerus adalah welas asih, sebuah istilah sederhana namun menyimpan kekuatan luar biasa dalam membentuk peradaban yang beradab dan penuh cinta kasih. Dalam bahasa Indonesia, “welas asih” berarti rasa belas kasih yang mendalam terhadap orang lain, yang mencerminkan empati, kepedulian, dan keinginan untuk membantu meringankan penderitaan sesama.

Namun, lebih dari sekadar makna leksikal, welas asih sejatinya adalah bagian dari akhlak Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, ditanamkan dalam Al-Qur’an, dan dijadikan fondasi dalam hubungan antarmanusia. Maka dari itu, sudah saatnya kita menggali kembali makna welas asih sebagai nilai universal dan nilai Islam yang agung.

Ketika Takdir Menyapa: Refleksi Eling Sangkan Paraning Dumadi di Tengah Musibah

Welas Asih dalam Etimologi dan Budaya

Secara etimologi, istilah welas asih berasal dari bahasa Jawa, yaitu gabungan dari kata “welas” (iba/kasihan) dan “asih” (kasih sayang). Ungkapan ini mengekspresikan suatu perasaan mendalam yang tidak hanya sekadar iba atau kasihan secara pasif, tetapi juga mendorong pada tindakan nyata untuk membantu dan meringankan beban orang lain.

Dalam budaya Nusantara, welas asih bukanlah istilah asing. Ia menjadi ruh dari banyak laku hidup orang tua kita terdahulu: menolong tetangga tanpa pamrih, menyantuni anak yatim, menjamu tamu dengan hormat, hingga gotong royong dalam membangun rumah atau sawah. Nilai-nilai ini sejatinya sangat sejalan dengan ajaran Islam.

Welas Asih dalam Islam

Islam memandang welas asih sebagai bagian dari rahmat yang menjadi salah satu sifat utama Allah ﷻ. Allah memperkenalkan diri-Nya dalam hampir seluruh surat dalam Al-Qur’an dengan kalimat: Bismillahirrahmanirrahim — “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”.

Nabi Muhammad ﷺ sendiri digambarkan oleh Allah ﷻ sebagai:

> “Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)

Semut pun Membenci Dusta: Cermin Bagi Manusia

Ini adalah bentuk paling agung dari welas asih: menjadi rahmat bagi semua makhluk, tak terbatas pada umat manusia saja, tetapi juga binatang, tumbuhan, dan seluruh ciptaan Allah.

Rasulullah ﷺ menunjukkan welas asih kepada semua golongan — anak kecil, orang tua, budak, orang sakit, bahkan musuh sekalipun. Dalam banyak riwayat disebutkan bagaimana Nabi meneteskan air mata saat melihat penderitaan umatnya, menyuapi orang miskin, dan bahkan mengunjungi tetangga Yahudi yang sakit meski sebelumnya sering menyakitinya.

Empati dan Kepedulian: Wujud Praktis dari Welas Asih

Welas asih bukan sekadar perasaan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk empati aktif dan tindakan nyata. Dalam ajaran Islam, empati ini disebut dengan ta’athur — merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Seorang mukmin sejati tidak akan tenang saat saudaranya lapar, menderita, atau mengalami musibah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mengenal Ibnu Sabil: Musafir yang Berhak atas Zakat

Bayangkan jika setiap muslim mengamalkan hadits ini secara konsisten. Maka tak akan ada lagi kemiskinan yang dibiarkan, pengungsi yang terlunta, atau anak-anak yang menangis kelaparan.

Welas Asih Sebagai Solusi Sosial

Krisis sosial yang kita hadapi hari ini — kemiskinan, konflik, kekerasan dalam rumah tangga, pengabaian anak, diskriminasi — semuanya bersumber dari hilangnya welas asih dalam hati manusia. Ketika manusia hanya memikirkan diri sendiri, maka orang lain akan dipandang sebagai alat, musuh, atau beban. Namun bila welas asih ditanamkan, maka orang lain akan dilihat sebagai saudara, amanah, dan peluang untuk berbuat baik.

Dalam Islam, ada banyak ibadah sosial yang menjadi manifestasi welas asih, seperti:

Zakat dan sedekah: untuk membantu kaum fakir.

Menyantuni anak yatim: bentuk empati pada anak yang kehilangan kasih sayang.

Menjenguk orang sakit: bentuk kepedulian dan keinginan untuk meringankan penderitaan.

Menolong orang yang kesusahan: sebagai bentuk nyata cinta kepada sesama.

Welas Asih dalam Keluarga dan Pendidikan

Welas asih juga sangat penting ditanamkan sejak dini, khususnya dalam lingkup keluarga. Seorang ibu yang memeluk anak dengan kasih sayang, seorang ayah yang mengajari anaknya dengan sabar, atau guru yang membimbing muridnya dengan hati penuh cinta — semua itu adalah bentuk pendidikan welas asih yang akan membentuk generasi yang beradab dan penyayang.

Dalam rumah tangga, welas asih adalah perekat hubungan suami istri. Rasulullah ﷺ sangat lembut kepada para istrinya. Dalam hadits disebutkan:

“Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang terbaik terhadap keluargaku.”
(HR. Tirmidzi)

Meneladani Nabi ﷺ sebagai Sosok Penuh Welas Asih

Tidak ada manusia yang lebih welas asih dari Nabi Muhammad ﷺ. Beliau menangis saat putranya Ibrahim meninggal, meski beliau tahu bahwa Ibrahim sudah dijamin surga. Beliau juga memaafkan penduduk Thaif yang melemparinya batu, dengan berkata:

> “Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena mereka tidak tahu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ini adalah puncak welas asih: tidak membalas keburukan dengan kemarahan, tetapi dengan doa dan harapan akan kebaikan bagi pelaku keburukan.

Kesimpulan: Kembalilah kepada Welas Asih

Welas asih adalah nilai yang bersumber dari fitrah manusia dan diperkuat oleh wahyu Ilahi. Dalam dunia yang semakin keras dan penuh luka, welas asih adalah penawar paling mujarab. Ia menghidupkan nurani, menyembuhkan luka sosial, dan menyatukan hati-hati yang tercerai.

Sudah saatnya kita, sebagai individu dan umat, kembali menanamkan welas asih dalam setiap aspek kehidupan: dari rumah tangga hingga masyarakat, dari masjid hingga kantor, dari hati hingga kebijakan publik.

Mari kita renungkan:

Apakah hati kita masih merasakan kesedihan saat melihat penderitaan orang lain?
Apakah tangan kita masih ringan untuk menolong tanpa pamrih?
Apakah lisan kita masih digunakan untuk menyemangati, bukan mencela?

Jika jawabannya “belum”, maka mungkin sudah saatnya kita belajar kembali — bukan dari buku, tapi dari hati yang penuh welas asih. Karena sesungguhnya, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bermanfaat dan penuh kasih terhadap sesama.

Penutup, Mari hidupkan kembali welas asih dalam diri, sebagai jalan menuju ridha Allah dan kejayaan umat. Karena tak ada kemuliaan tanpa kasih, tak ada peradaban tanpa empati, dan tak ada Islam tanpa cinta kepada sesama.

> “Sesungguhnya Allah tidak akan menyayangi orang yang tidak menyayangi sesama manusia.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Wallahu a’lam bish-shawab. (Farhan H. Atturkey/Tengku Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement