Kalam
Beranda » Berita » Kiai Bisri Membincang Fenomena Thariqah

Kiai Bisri Membincang Fenomena Thariqah

KH Bisri Syansuri
Ilustrasi Gambar KH Bisri Syansuri

Assalamualaikum Warahmatullahi wa Barakatuh

Alhamdulilllahi Rabbil ‘Alamin washalatu was salamu ‘ala Asyrafil Anbiya’ wal Mursalin Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in wat tabi’ina wathabiihim bi ihsanin ila yawmid din.

Amma ba’du

Saudara-saudara sekalian yang terhormat.

Di dalam agama kita ini terdapat tiga pokok yang satu sama lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan yaitu Iman, Islam dan Ihsan.

Musik Haram, Bagaimana Dengan Ringtone HP ?

Islam dan Ihsan saja tanpa Iman hanya sia-sia, karena Iman merupakan syarat mutlak untuk sahnya amal. Iman dan Ihsan saja tanpa Islam tidak berguna, alias kafir. Iman dan Islam saja tanpa menjalankan Ihsan juga tidak berguna, atau “mardudatun la tuqbalu”, karena Ihsan merupakan syarat mutlak untuk diterimanya amal. Ketiga-tiganya merupakan suatu fundamen yang saling menguatkan.

Alhamdulillah, sejak beberapa tahun yang lalu sampai sekarang, dan mudah-mudahan sampai akhir zaman, di negara kita Indonesia ini, atas usaha saudara-saudara sekalian bisa terbentuk dan berdiri suatu Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabaroh yang sangat memperhatikan satu dari tiga pokok agama kita, yaitu Ihsan, di samping menjalankan kedua pokok yang lain, yakni Iman dan Islam.

Dan dengan perkenan Allah Subhanahu wa Ta’ala sekarang ini sedang menyelenggarakan kongresnya yang keempat. Semogalah dalam kongres ini dapat menghasilkan putusan-putusan yang dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, dan mendapat keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amin amin amin Ya Rabbal Alamin.

Sebagaimana kita sama mengetahui bahwa Jam’iyyah ini lebih banyak menitikberatkan kepada tujuan-tujuan ubudiyah yang menjurus kepada ukhrawiyyah, dan memberikan jalan kepada mereka-mereka yang mengingini untuk diajak bersama-sama mengamalkan thariqah yang benar, yang sesuai dengan peraturan agama Islam, bukannya thariqah-thariqah yang sesat yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama yang berkenaan dengan ilmu Al-Ihsan sehingga menyerupai ilmu klenik, kejawen dan sebagainya yang justru menjadi tugas kita sekalian memberantasnya.

Dengan tugas kita memberantas dan sedapat mungkin mengikis habis thariqah-thariqah yang sesat itu, kita pun sudah semestinya menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada kesesatan itu sendiri. Jangan sampai kita setelah memasuki suatu thariqah yang benar lantas menjadi sesat karena cara-cara mengamalkannya kurang sesuai dengan peraturan-peraturan agama, yang mana hal itu bukannya tidak mungkin, lebih-lebih bagi mereka yang kurang pengertiannya dalam ilmu agama, yang karena kurangnya bimbingan lantas terjerumus kepada kefanatikan (ta’ashub) yang menyimpang dari ketentuan thariqah yang benar.

Mengenal Mohammed Arkoun: Sang Pemikir Muslim Kontemporer

Sering kita jumpai dalam kalangan orang-orang yang sudah masuk thariqah, karena kurang pengertiannya, lantas timbul fanatiknya sampai-sampai seakan-akan mengesampingkan syariat. Juga tidak jarang kita jumpai murid-murid yang karena fanatiknya lantas menganggap ringan atau memandang rendah kepada orang-orang Islam lainnya yang tidak atau belum memasuki thariqah. Hal ini terang tidak benar, akibat kurangnya pengertian murid itu.

Qala Allah Ta’ala fi Kitabihi al-Aziz: Ya Ayyuhalladzina Amanu la yaskhar qoumun min qaumin ‘asa an yakunu khairan minhum….al-ayat. (Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang diolok-olokkan itu lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok…Al-Hujurat: 11)

Ada sementara guru yang kurang memperhatikan kepada murid-muridnya, di mana para muridnya setelah dibai’at terus dibiarkan saja, tidak diurusi dan tidak diopeni, yang kalau hal ini dibiarkan saja sangat berbahaya sekali bagi murid-murid yang kurang pengetahuan agamanya, dan bisa kemungkinan bisa menjadi sebab-sebab yang merugikan dan kadang-kadang sampai menyesatkan.

Untuk itu para guru harus menekan kepada para muridnya yang kurang pengetahuan itu supaya tetap belajar ilmu fikih, ilmu tauhid, dan ilmu tasawuf.

Dalam membai’at hendaknya guru-guru tetap menjaga sebaik-baiknya dalam menetapi syarat-syaratnya membai’at murid. Antara lain, para murid yang akan dibai’at itu harus memiliki ilmu fikih, ilmu al-Aqaid, dan ilmu al-Ihsan, sekalipun tidak sampai pada tingkat mutabahhir, di samping itu “amilun bi ulumihi.”

Diam: Seni Menemukan Problem Solving

Setelah guru mengetahui tentang ilmu murid yang akan dibai’at itu, barulah ba’iat dilakukan. Dengan demikian sudah tidak mengkhawatirkan lagi masa depan murid tersebut.

Sebagai ancer-ancer ilmu yang harus dimiliki murid itu, dalam syariat mengerti tentang ilmu fikih yang menjadi sahnya ibadah, di dalam ilmu ‘aqaid yang menjadi sahnya iman paling sedikit mengerti ‘Aqaid Lima Puluh’ sekalipun dengan dalil ijmaly, dan di dalam ilmu tasawuf harus mengerti ilmu al-Ihsan atau mengerti apa itu sifat-sifat mahmudah dan apa sifat-sifat madzmumah dan sebagainya.

Itulah serendah-rendahnya ilmu-ilmu yang dimiliki oleh para murid yang boleh dibai’at. Dan ilmu-ilmu itu tentu saja ilmu yang diamalkan oleh murid yang akan dibai’at itu.

Kalau keadaan memaksa, umpamanya kalau murid yang bodoh tidak dibai’at mengkhawatirkan bertambah jauh dari agama Islam, bolehlah murid itu dibai’at, sekalipun tiga ilmu yang diperlukan hanya sedikit sekali yang dimiliki. Hanya saja, para guru harus menekan atau membimbing murid tersebut untuk mempelajari ilmu-ilmu tadi.

Pokoknya, yang penting adalah bagaimana kita harus secepatnya menghilangkan segala kekurangan pengertian tentang thariqah itu kepada para murid-murid, sehingga terhindarlah mereka dari paham-paham yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama. Agar tujuan yang sejak semula baik itu bisa terus baik dalam pelaksanaannya, dan kita jangan melupakan tanggungjawab kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kelak pasti meminta pertanggunganjawab itu dari kita sekalian terutama para guru-guru dan pemimpin-pemimpin sebagai sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, “Kullukum Ra’in…wa mas’ulun ‘an raiyyatihi…” (Setiap kalian adalah pemimpin…dan dimintai tanggungjawab atas kepemimpinanya…).

Sudah menjadi kemestian bahwa para guru harus menepati kemestiannya guru, yaitu harus cukup ilmu syariatnya, ilmu aqaidnya, dan ilmu tasawufnya. Artinya ketiga ilmu itu harus benar-benar telah dimiliki oleh setiap guru dan cukup mendalam pengertiannya dan ‘amilun bi ulumihi.’ Dengan begitu sekalipun tidak sampai pada tingkat guru yang Mursyid Haqiqy, setidaknya Mursyid Nisby.

Karenanya, para guru yang merasa ketiga ilmu tersebut belum cukup, atau belum ‘amil’, hendaknya cepat-cepat mengatur diri agar benar-benar ‘amilun bi ulumihi’ dan tidak segan-segan berusaha menambah “ulumnya”. Seorang yang ‘amil bi ulumihi’ tidak akan malu mengakui kekurangan ‘ulumnya’ dan berusaha menambahnya.

Sungguh besar bahayanya bila ada guru yang sampai melakukan suatu tindakan pelanggaran agama karena kurang pengertiannya. Sebab hal itu bila sampai diketahui oleh orang awam atau para murid yang kurang sekali pengertiannya, mungkin disangka bahwa perbuatan guru itu benar dan patut ditiru. Dan mereka benar-benar meniru umpamanya, maka hal ini tentu berakibat menjalarnya kerusakan. Inilah yang benar-benar harus dijaga, dan untuk menjaga kemungkinan semacam itu pula, guru-guru harus mawas diri.

Di sini juga saya peringatkan, janganlah hendaknya para guru ingin dianggap keramat, ingin disanjung-sanjung dan dihormati dan dianggap WaliyuLlah oleh para murid dan masyarakat.

Usaha-usaha yang mengarah ke situ itu bukannya akan menjunjung tinggi martabat diri guru tersebut, bahkan sebaliknya yaitu akan dipandang rendah oleh orang yang mengerti, karena termasuk menipu masyarakat dan menunjukkan bahwa guru tersebut masih kotor hatinya.

Dan kalau masih terjadi yang demikian, bukannya membai’at murid dan masuk thariqah itu akan menuju kepada ubudiyyah yang menjurus kepada ukhrawiyyah, malah sebaliknya dengan menggunakan kedok ubudiyah untuk mencari duniawiyah.

Sebagai guru justru seharusnyalah menjaga dirinya benar-benar dari segala kekotoran batin yang malah lebih berbahaya bila dibiarkan sampai berlarut-larut.

Jangan sampai lupa kepada tujuan thariqah karena ingin dianggap keramat dan dianggap wali oleh masyarakat. Dan kalau masih ada guru-guru yang semacam itu, maka perlu secepatnya ditertibkan dan diatasi dengan secepat-cepatnya, agar tujuan dari Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabaroh ini dapat terlaksana.

Kadang-kadang ada orang yang bercerita tentang Nabiyullah Musa dan Nabiyullah Khidir, di mana Nabi Musa sampai tiga kali menegur Nabi Khidir yang melanggar syariatnya Nabi Musa. Dan ternyata bahwa tindakan Nabi Khidir tersebut atas perintah dan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maksudnya bercerita itu, agar bila ada guru yang bertindak salah dan melanggar syariat, orang-orang dan para murid tidak gampang-gampang dan terburu-buru menyalahkan, atau jelasnya dengan cerita tersebut akan ditutupi kesalahan guru-guru yang melanggar syariat.

Yang terang dalam kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa itu menunjukkan bahwa walaupun bagaimana harus diperingatkan siapa pun yang melanggar syariat, dan Nabi Musa waktu itu memang wajib menegur Nabi Khidir berdasar peraturan-peraturan di dalam kitab Taurat yang diterimanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan bagi kita umat Muhammad yang dituruni ayat-ayat tersebut malah seharusnya lebih giat melakukan Amar Ma’ruf Nahyi Munkar. Bukannya karena dalam Al-Qur’an ada kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir lantas kalau ada guru yang salah dibiarkan saja. Padahal ayat-ayat tersebut diturunkan tidak bermaksud demikian. Marilah kita bukai kitab Tafsir Al-Qur’an untuk lebih mengenal dan mengerti tentang kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir itu.

Saudara-saudara sekalian yang terhormat

Pada masa akhir-akhir ini di beberapa daerah ada orang yang mengaku wali dengan maksud mencari uang. Caranya orang tersebut bertamu ke rumah seseorang dengan berpakaian yang pantas dan bercerita itu ini dan sebagainya. Setelah yang punya rumah percaya atau setengah percaya barulah tamu tadi mengeluarkan maksudnya yang biasanya minta uang.

Di beberapa daerah juga ada orang-orang yang kalau tahu ada orang yang model sedikit lantas disangka atau dianggap Waliyullah.

Di sini dapatlah saya berikan ancer-ancer: Setiap waliyullah harus sudah terkumpul di dalam dirinya, sedikit-dikitnya tiga pengetahuan. (1) ilmu fikih yang menjadi sahnya ibadah, (2) ilmu aqaid yang menjadi sahnya iman, dan ketiga ilmu al-Ihsan untuk bisa membedakan apa sifat-sifat mahmudah dan apa sifat-sifat madzmumah. Dan ketiga ilmu tersebut benar-benar telah diamalkan: Ma Ja’alaLLahu Waliyyan min Jahilin. Imam Syafi’i bersabda: Lawla al-Ulama al-Amiluna Awliya’uLlahu falaysa lillahi waliyyun.

Tentang Rabithah baiklah saya menukil keterangan dalam kitab “Bahjatus Sanniyyah”, shahifah:…yang singkatnya:

Syaikhul Akbar at Thariqah an-Naqsyabandiyyah As Syaikh Dhiyauddin Qaddasa sirrahu melarang para khalifahnya menggunakan diri khalifah itu sebagai rabithah. Bahkan dalam suratnya kepada khalifah-khalifahnya yang menggunakan diri khalifah itu sebagai rabithah, beliau sangat keras sekali menentangnya. Sampai-sampai beliau mengancam bila para khalifah itu tidak mau menghentikan perbuatannya menjadikan diri mereka sebagai rabithah itu, segala ilmu-ilmu dan ijazah-ijazah dari beliau kepada khalifah-khalifah itu dicabut semuanya; yakni tidak diridhai, dan As Syaikh Dhiyauddin Qaddasa sirrahu hanya memperkenankan diri beliau saja yang digunakan untuk rabithah.

As Syaikh Dhiyauddin Qaddasa sirrahu melarang para khalifahnya menjadikan diri khalifah itu sebagai rabithah adalah karena beliau memandang bahwa para khalifah itu belum patut menjadikan diri khalifah-khalifah itu sebagai rabithah. Hal ini jelas ketika beliau ditanya tentang diri Syaikh Ismail Qaddasa sirrahu yaitu khalifah beliau yang pertama, beliau menjawab bahwa Syaikh Ismail Qaddasa sirrahu itu masih nishfu murid. Dapatlah kita kira-kirakan bagaimana tentang diri kita ini?

Dari keterangan tersebut teranglah bahwa rabithah itu hendaknya langsung menggunakan diri As Syaikh Dhiyauddin Qaddasa sirrahu saja, tidak lainnya. Lebih-lebih pada masa sekarang ini sangat sulit sekali dan kalau toh ada ya jarang guru yang benar-benar mursyid, sebagai yang dimaksud al-Mursyid al-Kamil.

Dan saya minta tentang rabithah itu dibahas sedalam-dalamnya dan sematang-matangnya di dalam seksi masa’il nanti.

Marilah dalam kongres ini kita gunakan sebaik-baiknya untuk kebaikan kita umat Islam umumnya dan Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabaroh khususnya, sehingga keputusan-keputusan itu nantinya dapat benar-benar bisa menjadi obat penambah kesehatan dan kebaikan pada tubuh Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabaroh ini, Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.

Dan marilah kita mulai sekarang berteguh hati dalam menyelesaikan tugas-tugas kita mengemban amanah agama, Kama Qala Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: “Yus’alu al-Ulamau’ an qawmihim kama yus’alu al-Anbiya’u ‘an ummatihim…”al-hadits.

Akhirnya di sini saya ikut mengucapkan selamat dan semoga berhasil dengan gemilang kongres ini serta diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وفقنا الله لما فيه رضاه امين
اخر الكلام: والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Pidato Pengarahan KH. Bisri Syansuri pada Pembukaan Kongres Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabaroh keempat di Semarang pada 1968. Naskah pidato asalnya dalam Arab Pegon, merupakan arsip dokumen Ndalem Kasepuhan Pesantren Denanyar.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement