SURAU. CO. Ancaman kekerasan masih menjadi isu serius bagi pesantren belakangan ini. Isu ini membutuhkan perhatian dari semua pihak. Aalah satunya Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta . Belum lama ini PPIM merilis penelitian penting menghasilkan temuan signifikan terkait kekerasan di pesantren. Pada temuannya menyebut sebagian kecil pesantren di Indonesia yang rentan terhadap kekerasan seksual. Angkanya menduduki peringkat sangat rendah, yaitu 1,06% dari total 43.000 pesantren.
Hasil temuan tersebut merupakan bagian dari dua buku baru berjudul Menuju Pesantren Ramah Anak dan Menjaga Marwah Pesantren. PPIM meluncurkan buku kedua itu di Hotel Ashley, Jakarta Pusat. Direktur Riset PPIM UIN Jakarta, Iim Halimatusa’diyah, memberikan penjelasan bahwa penelitian ini adalah bentuk kontribusi lembaganya untuk memperbaiki pesantren.
“Pesantren memiliki jasa besar dalam pendidikan anak-anak Indonesia serta memberi warna keislaman yang moderat. Buku ini adalah bagian dari upaya kita bersama untuk memastikan pesantren terus menjadi lembaga luhur yang menjamin menjamin hak dan perlindungan anak, sejalan dengan kebijakan Pesantren Ramah Anak yang diinisiasi pemerintah.”
Kontribusi dari Dalam untuk Perbaikan
lebih lanjut, Iim menegaskan bahwa penelitian ini adalah kontribusi dari dalam. Para peneliti ingin memperbaiki lembaga dari tempat mereka berasal. Mereka bukanlah pihak luar yang hanya mengkritik. “Kami hampir semuanya adalah alumni pesantren. Ini bentuk khidmah, kontribusi dari dalam, bukan kritik dari luar, jadi bukan hanya orang luar tapi insider sebagai alumni,” ujarnya.
Sementara itu salah satu penulis, Windy Triana, Ph.D., menjelaskan bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Prosesnya sendiri berjalan selama 2023–2024 dengan melibatkan 514 pesantren dan 1.800 responden dari 34 provinsi.
Tim peneliti menangani data dengan sangat hati-hati. Isu kekerasan seksual dianggap sangat sensitif di lingkungan pesantren. “Kami sampaikan ini di lebih dari 10 forum tertutup sebelum akhirnya mengundang media, karena kami sangat berhati-hati. Isu ini sensitif, dan pendekatan kami bukan menuding, tapi membangun,” kata Windy.
Fakta Mengejutkan: Santri Laki-Laki Lebih Rentan
Salah satu temuan yang paling menonjol dari penelitian ini adalah profil korban. Peneliti Haula Noor, Ph.D., mengungkapkan fakta yang mengejutkan. Ternyata, santri laki-laki lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual. Angkanya mencapai 1,90%. Sementara itu, kerentanan pada santri perempuan hanya 0,20%.
Haula menjelaskan beberapa faktor penyebab fenomena ini. Minimnya proteksi menjadi salah satu alasan utama. “Faktor utamanya ada empat yaitu sosial budaya, kesehatan mental, literasi kesehatan reproduksi, dan lingkungan fisik. selain itu juga tentang proteksi yang lebih dominan pada perempuan, termasuk toxic maskulinitas,” jelas Haula.
Sistem perlindungan di pesantren sering kali lebih fokus pada santri perempuan. Kamar tidur hingga kamar mandi mereka lebih tertutup. Mereka juga mendapat pengawasan yang lebih ketat. Sebaliknya, banyak pihak yang menganggap santri laki-laki tidak mampu menjaga diri. Anggapan ini justru menciptakan celah kerentanan. Perundungan seksual terhadap santri laki-laki sering kali dianggap sebagai candaan biasa.
Otoritas Tunggal dan Pentingnya Keterbukaan
Menanggapi temuan ini, Dr. M. Falikul Isbah dari Universitas Gadjah Mada memberikannya penilaiannya. Menurutntya perlu menekankan pentingnya melihat pesantren sebagai ekosistem yang utuh. “Pesantren itu bukan hanya ruang belajar, tapi ruang hidup 24 jam. Pendidikan di pesantren melibatkan pengasuhan dan tidak ditayangkan di sekolah umum,” ujarnya.
Falikul menyoroti masalah otoritas tunggal di pesantren. Menurutnya, kekuasaan yang didasari pada satu figur membuat sistem menjadi rapuh. Oleh karena itu, pesantren memerlukan mekanisme pengawasan internal yang sehat. “Perlu ada check and balance, seperti trias politik dalam sistem kepengasuhan,” tegasnya. Ia menambahkan, salah satu ciri pesantren rawan adalah komunikasi santri yang terputus total dari orang tua. Budaya ketaatan mutlak kepada figur kiai memperparah kondisi ini.
Sementara itu, Widi Laras Sari dari Puskapa UI mengapresiasi penelitian ini. Ia menyoroti minimnya literasi seksual di pesantren. Pendidikan kesehatan reproduksi juga masih kurang. Padahal, melindungi santri dari kekerasan adalah amanah yang besar.
Gambaran Lebih Besar
Meskipun penelitian PPIM menunjukkan angka kerentanan yang rendah, data lain melengkapi gambarannya. Data dari lembaga negara menunjukkan perlawanan yang lebih besar. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan secara konsisten menempatkan lembaga pendidikan, termasuk pesantren, dalam tiga besar lokasi rawan kekerasan seksual. Pelakunya sering kali adalah figur otoritas seperti guru atau pendidik.
Sementara itu Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperkuat hal ini. KPAI menerima banyak pengaduan kekerasan dari sekolah berasrama. Kasusnya beragam, mulai dari perundungan hingga kekerasan seksual. KPAI menyebut kasus yang dilaporkan hanyalah fenomena “gunung es”. Jumlah kejadian sebenarnya diyakini jauh lebih besar.
Untuk itu PPIM ini mendorong implementasi kebijakan Pesantren Ramah Anak bukan untuk menghakimi, melainkan untuk membangun. Keterbukaan pesantren dan kolaborasi dengan lembaga eksternal menjadi kunci utama untuk memulihkan kepercayaan masyarakat dan melindungi generasi penerus.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
