Dunia digital telah membuka gerbang interaksi tanpa batas. Namun, ia juga melahirkan tantangan baru bernama cyberbullying atau perundungan siber. Fenomena ini menjadi ancaman serius bagi kesehatan mental banyak orang. Komentar jahat, penyebaran hoaks, dan cemoohan di media sosial bukanlah sekadar ketikan jari. Ia adalah bentuk kezaliman modern. Islam, melalui Al-Quran, menawarkan panduan komprehensif. Kitab suci ini memberikan solusi Qurani untuk cyberbullying yang relevan sepanjang zaman.
Cyberbullying sebagai Bentuk Kezaliman Lisan di Era Digital
Al-Quran tidak menyebut istilah cyberbullying secara langsung. Namun, esensi perbuatannya telah dijelaskan dengan gamblang. Cyberbullying adalah wujud baru dari perilaku tercela seperti ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), dan fitnah (tuduhan keji). Dulu, perbuatan ini terbatas pada lisan. Kini, jejak digital membuatnya menyebar lebih cepat dan lebih luas.
Setiap unggahan, komentar, atau pesan yang merendahkan orang lain tercatat sebagai dosa. Dampaknya pun nyata, menyebabkan korban merasa tertekan, cemas, bahkan depresi. Islam memandang serius perlindungan kehormatan seorang muslim. Karena itu, setiap tindakan yang merusaknya, baik di dunia nyata maupun maya, dilarang keras.
Larangan Tegas Mengolok-olok dan Merendahkan Sesama
Al-Quran memberikan larangan yang sangat jelas terkait inti dari perundungan. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Hujurat ayat 11. Ayat ini menjadi fondasi utama dalam etika berinteraksi.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat [49]: 11).
Ayat ini mengandung tiga larangan utama yang sangat relevan dengan cyberbullying:
-
Jangan mengolok-olok (yaskhar): Ini mencakup pembuatan meme yang menghina, video parodi yang merendahkan, atau komentar cemoohan.
-
Jangan mencela (talmizu): Menyerang pribadi seseorang dengan kata-kata kasar atau menuduh tanpa bukti.
-
Jangan memanggil dengan gelar buruk (tanabazu bil alqab): Menggunakan julukan ofensif atau nama panggilan yang menyakitkan di kolom komentar atau pesan pribadi.
Pelanggaran terhadap prinsip ini menjadikan seseorang termasuk golongan orang-orang zalim.
Pentingnya Tabayyun dalam Mencegah Fitnah Digital
Hoaks dan informasi salah adalah bahan bakar utama cyberbullying. Seseorang bisa menjadi korban perundungan massal hanya karena berita bohong. Untuk itu, Al-Quran memperkenalkan konsep tabayyun atau verifikasi. Kita wajib memeriksa kebenaran setiap informasi sebelum menyebarkannya.
Allah SWT mengingatkan dalam Surat Al-Hujurat ayat 6:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat [49]: 6).
Prinsip tabayyun adalah filter pertama untuk membendung tsunami fitnah di era digital. Sebelum menekan tombol “bagikan” atau “kirim”, seorang muslim harus bertanya: “Apakah berita ini benar? Apakah ada manfaatnya? Apakah ini akan menyakiti seseorang?” Sikap kritis ini adalah perisai efektif melawan cyberbullying.
Menjauhi Prasangka Buruk dan Menggunjing
Akar dari cyberbullying sering kali adalah prasangka buruk (su’uzhan). Kita dengan mudah menghakimi orang lain berdasarkan unggahan media sosialnya yang terbatas. Dari prasangka, lahirlah keinginan untuk mencari-cari kesalahan (tajassus) dan menyebarkannya (ghibah).
Al-Quran menggambarkan betapa hinanya perbuatan ini dalam Surat Al-Hujurat ayat 12:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12).
Analogi memakan bangkai saudara sendiri menunjukkan betapa menjijikkannya ghibah di mata Allah. Di dunia maya, ghibah terjadi saat kita membicarakan keburukan orang lain di grup percakapan atau menyebarkan tangkapan layar (screenshot) untuk mempermalukannya.
Solusi Praktis: Maafkan, Bantu, dan Ingat Pengawasan Allah
Al-Quran tidak hanya memberikan larangan, tetapi juga solusi aktif. Bagi korban, Al-Quran mengajarkan sikap sabar dan memaafkan (tasamuh). Memaafkan bukan berarti lemah, tetapi melepaskan diri dari dendam yang merusak jiwa.
Bagi masyarakat, Islam mendorong prinsip ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan. Jika melihat perundungan, kita tidak boleh diam. Kita bisa melaporkan konten negatif, membela korban, atau memberikan dukungan moral.
Terakhir, solusi Qurani untuk cyberbullying yang paling fundamental adalah muraqabatullah, yaitu kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi. Setiap ketikan, komentar, dan unggahan kita dicatat oleh malaikat Raqib dan Atid. Kesadaran ini akan menjadi rem terbaik yang mencegah jari-jari kita menuliskan kezaliman. Dengan menerapkan nilai-nilai luhur Al-Quran, kita dapat mengubah ruang digital menjadi tempat yang lebih aman, sehat, dan beradab.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
