Sosok
Beranda » Berita » Matrilineal Minangkabau: Saat Perempuan Tak Perlu Meminta Kesetaraan

Matrilineal Minangkabau: Saat Perempuan Tak Perlu Meminta Kesetaraan

Matrilineal Perempuan Minang

Di tengah riuhnya diskursus kesetaraan gender global, masyarakat Minangkabau telah memiliki jawabannya sejak lama. Budaya mereka tidak hanya menghormati perempuan. Budaya Minang menempatkan perempuan pada posisi sentral yang kokoh. Sistem matrilineal Minangkabau menjadi bukti nyata. Dalam sistem ini, keadilan bagi perempuan bukanlah sebuah tuntutan. Keadilan itu adalah napas dan fondasi adat.

Banyak orang sering salah paham. Mereka menganggap matrilineal sama dengan matriarki atau kekuasaan mutlak perempuan. Padahal, sistem ini lebih menekankan pada alur keturunan. Seorang anak di Minangkabau akan mengambil suku dari ibunya. Bukan dari ayahnya. Garis keturunan ibu menjadi penentu utama identitas keluarga dan komunal. Inilah prinsip dasar yang membedakannya dari sistem patrilineal pada umumnya.

Peran Sentral Perempuan dalam Adat

Dalam adat Minang, perempuan memegang hak-hak istimewa yang dijamin oleh adat. Salah satu pilar utamanya adalah kepemilikan harta pusaka. Harta pusaka tinggi, seperti rumah gadang dan sawah ladang kaum, diwariskan turun-temurun. Warisan ini jatuh ke tangan perempuan dalam kaum tersebut. Laki-laki tidak memiliki hak milik atas pusako tinggi.

Kepemilikan ini memberikan perempuan jaminan ekonomi yang kuat. Mereka tidak bergantung secara finansial kepada suami. Justru, perempuan menjadi tiang utama yang menopang ekonomi keluarga besarnya. Posisi terhormat ini melahirkan sebutan Bundo Kanduang. Secara harfiah, Bundo Kanduang berarti ibu sejati. Ia adalah figur yang dihormati, bijaksana, dan menjadi pusat dalam pengambilan keputusan di lingkup keluarga.

Seorang budayawan Minang pernah menegaskan sebuah pandangan mendasar.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

“Perempuan Minang tidak pernah berteriak meminta kesetaraan. Sebab, adat kami telah lebih dulu memberikan keadilan.”

Kutipan ini merangkum sebuah filosofi mendalam. Konsep “kesetaraan” yang sering diperjuangkan di dunia modern terasa berbeda konteksnya di Minangkabau. Adat Minang tidak berbicara tentang “sama rata sama rasa”. Adat mereka berbicara tentang “keadilan” melalui pembagian peran yang jelas dan saling melengkapi.

Bukan Dominasi, Melainkan Keseimbangan Peran

Sistem matrilineal Minangkabau bukanlah tentang menyingkirkan peran laki-laki. Sebaliknya, sistem ini menciptakan sebuah keseimbangan yang unik. Laki-laki Minang memiliki peran krusial yang berbeda. Seorang laki-laki dewasa memiliki tanggung jawab ganda.

Pertama, sebagai sumando (suami). Ia adalah tamu terhormat di rumah istrinya. Ia wajib memberikan nafkah untuk anak dan istrinya dari hasil jerih payahnya sendiri. Namun, ia tidak memiliki hak campur tangan atas harta pusaka milik istrinya.

Kedua, sebagai mamak (paman dari pihak ibu). Ini adalah peran utamanya dalam adat. Seorang mamak bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan kemenakannya (anak dari saudara perempuannya). Ia menjadi pelindung, pendidik, dan pengelola harta pusaka kaum demi kepentingan para kemenakannya. Di sinilah letak keadilan itu. Laki-laki menjaga harta kaum saudara perempuannya. Sementara perempuan menjadi pemilik sah harta tersebut.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Tantangan di Era Modern

Meskipun sistem ini sangat ideal, bukan berarti tanpa tantangan. Arus globalisasi dan modernisasi membawa nilai-nilai baru. Banyak orang Minang yang merantau dan hidup di tengah masyarakat patrilineal. Hal ini sedikit banyak memengaruhi cara pandang mereka.

Selain itu, konsep kepemilikan pribadi semakin menguat. Laki-laki yang sukses di perantauan tentu memiliki harta pencariannya sendiri. Terkadang, timbul dilema tentang bagaimana membagi warisan pribadi tersebut. Apakah mengikuti hukum adat atau hukum negara dan agama yang cenderung patrilineal.

Meski demikian, inti dari sistem matrilineal Minangkabau tetap bertahan kuat. Ia menjadi pengingat bahwa keadilan gender dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Budaya Minangkabau menunjukkan bahwa memuliakan perempuan tidak harus dengan meniru konsep dari luar. Mereka telah memilikinya sebagai warisan luhur yang mendarah daging, sebuah harmoni sosial yang berjalan efektif selama berabad-abad.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement