Kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi salah satu topik sentral dalam berbagai diskusi kebijakan, teknologi, dan kemanusiaan. Hal ini tergambar jelas dalam dua artikel opini yang ditampilkan di harian Jawa Pos edisi 1 Juli 2025: “Masa Depan AI Indonesia” oleh Ahmad Tholabi Kharlie, dan “Menghapus Sisi Gelap Era Digital” oleh Rahmi Sugihartati. Kedua tulisan ini memaparkan optimisme sekaligus kegelisahan terhadap perkembangan pesat teknologi digital, terutama kecerdasan buatan.
Dalam Islam, setiap bentuk kemajuan harus dibingkai dalam nilai-nilai wahyu, bukan hanya berdasarkan logika manusia yang terbatas. Maka, kita perlu bertanya: bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi perkembangan AI dan era digital ini agar tidak tergelincir dalam kemunduran moral, sosial, bahkan akidah?
📌 AI dalam Perspektif Akidah: Ilmu yang Harus Ditundukkan
Islam memandang ilmu pengetahuan sebagai karunia Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah memuji orang-orang yang berilmu (QS. Al-Mujadilah: 11), dan memerintahkan manusia untuk mencari ilmu (QS. Al-Alaq: 1–5). Akan tetapi, Islam tidak mengagungkan ilmu secara mutlak, apalagi jika digunakan untuk membangkang terhadap wahyu. Maka, AI sebagai produk ilmu manusia, tetap berada di bawah kendali syariat.
Bahkan ketika AI mampu meniru cara berpikir manusia, menulis teks yang sangat menyerupai karya manusia, atau bahkan membuat keputusan, kita harus mengingat bahwa AI hanyalah makhluk — buatan manusia, dan manusia itu sendiri adalah makhluk ciptaan Allah. Maka AI tidak boleh dijadikan sandaran nilai atau keadilan, apalagi sebagai rujukan moral.
Syaikh Shalih Al-Fauzan pernah mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendekatkan kita kepada Allah dan menjauhkan dari keburukan. Bila AI digunakan untuk mempercepat kebaikan—misalnya dalam kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial—maka itu adalah aplikasi yang patut didukung. Namun jika AI menjadi alat untuk menyebarkan syubhat, hoaks, kebencian, bahkan mendistorsi akidah dan moral, maka itu adalah fitnah besar.
📌 AI dan Tanggung Jawab Moral: Antara Tangan Orang Jujur dan Tangan yang Culas
Ahmad Tholabi dalam artikelnya menyebutkan bahwa AI bisa menjadi alat untuk menyebarkan kebaikan jika berada di tangan orang yang jujur, dan sebaliknya bisa menjadi alat penyebar keburukan jika digunakan oleh mereka yang malas dan culas. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam bahwa setiap nikmat teknologi adalah ujian.
Allah berfirman:
> “Kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang segala nikmat (yang kamu terima).” (QS. At-Takatsur: 8)
Teknologi, termasuk AI, adalah nikmat sekaligus amanah. Maka, orang yang menguasainya harus memiliki integritas, akhlak mulia, dan rasa takut kepada Allah. Tanpa itu, teknologi yang netral bisa berubah menjadi senjata fitnah.
Misalnya, penggunaan AI dalam propaganda politik, manipulasi opini publik, atau deepfake yang bisa mencemarkan nama orang tanpa kebenaran. Bahkan dalam konteks Islam, kita sudah melihat adanya akun-akun AI yang menyebarkan ajaran sesat, memanipulasi fatwa ulama, atau meniru gaya bahasa tokoh agama demi mengaburkan akidah umat.
📌 Sisi Gelap Era Digital: Ketika Informasi Tidak Lagi Netral
Rahmi Sugihartati mengulas sisi gelap era digital: hoaks, radikalisme, degradasi etika, bahkan pembunuhan karakter lewat dunia maya. Hal ini menuntut kesadaran umat untuk tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi menjadi penyaring (filter) yang berakhlak.
Sayangnya, masyarakat kita hari ini lebih cepat membagikan informasi daripada memverifikasinya. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia menceritakan semua yang ia dengar (tanpa memverifikasinya).” (HR. Muslim)
Digitalisasi telah menciptakan perang narasi, di mana kebenaran dikalahkan oleh popularitas. Bahkan, dalam beberapa kasus, kebenaran diinjak-injak hanya karena kalah suara dari “kebisingan digital.” Maka kita butuh ilmu dan akhlak dalam bermedia sosial, apalagi ketika terlibat dalam isu-isu agama.
📌 Pendidikan Karakter dalam Dunia Digital
Pendidikan tinggi Indonesia telah mulai memperkenalkan kurikulum AI, seperti disebutkan dalam artikel Ahmad Tholabi. Namun, yang perlu ditekankan bukan hanya aspek teknis, melainkan juga pendidikan akhlak dan tauhid. Tanpa pemahaman akidah yang benar, teknologi bisa menjadi berhala baru.
Islam mengajarkan bahwa keilmuan harus menuntun pada ketakwaan. Maka, mahasiswa teknik informatika, AI, dan bidang lainnya harus dibekali juga dengan fiqih kontemporer, adab dalam dunia digital, dan pengetahuan tentang dampak sosial serta etika teknologi. Kampus harus menjadi tempat membentuk insan berilmu yang takut kepada Allah, bukan hanya cerdas secara logika.
📌 Kedaulatan Teknologi: Apakah Indonesia Siap Berdikari?
Kekhawatiran lain yang disorot dalam artikel “Masa Depan AI Indonesia” adalah dominasi teknologi asing. Indonesia sangat bergantung pada teknologi dari negara-negara besar, baik dari segi perangkat keras maupun perangkat lunak. Ketergantungan ini membuat Indonesia rentan menjadi pasar, bukan produsen.
Dalam Islam, kemandirian (istiqlal) adalah bagian dari kemuliaan umat. Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kita harus berusaha menjadi umat yang berdikari, termasuk dalam hal teknologi. Artinya, mendorong lahirnya peneliti Muslim yang mampu mengembangkan AI yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Contoh nyata bisa dilihat dari pengembangan algoritma yang menjunjung tinggi etika syar’i, misalnya pada sistem penyaringan konten yang menolak pornografi, menghormati waktu ibadah, dan menyaring berita yang menyerang ajaran Islam.
📌 AI dan Akhir Zaman: Fitnah Dajjal yang Halus?
Kita juga tidak boleh menutup mata terhadap potensi bahaya AI yang lebih besar di masa depan. Banyak ulama kontemporer telah mengaitkan kemunculan teknologi supercanggih dengan nubuat Rasulullah ﷺ tentang akhir zaman.
AI yang mampu mengendalikan opini publik, menciptakan realitas palsu, dan mengontrol pikiran manusia bisa menjadi cikal bakal fitnah Dajjal. Dajjal, menurut banyak hadits, akan datang membawa “surga” dan “neraka” versi palsu. Ia akan membuat manusia bingung, dan hanya orang yang memiliki iman kuat yang bisa selamat.
Apakah AI akan menjadi alatnya? Wallahu a’lam. Tapi yang pasti, umat Islam harus bersiap. Bukan dengan menolak teknologi, tapi dengan memperkuat akidah dan membentengi diri dari tipu daya informasi yang menyesatkan.
🕌 Penutup: Kembali pada Wahyu, Bukan Hanya Logika
Kita tidak sedang anti-teknologi. Islam justru mendorong umatnya menjadi pelopor peradaban. Namun, semua harus dikembalikan pada satu prinsip utama: teknologi tidak boleh menggantikan peran wahyu sebagai sumber kebenaran.
Muslim yang baik bukan hanya cakap teknologi, tapi juga kokoh dalam akidah. Kecanggihan AI dan era digital tidak boleh membuat kita lalai terhadap tujuan penciptaan manusia: untuk beribadah kepada Allah.
> “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Maka, mari jadikan teknologi sebagai wasilah (sarana), bukan ghayah (tujuan). Jangan sampai kita menjadi umat yang tertipu oleh kemajuan, tetapi miskin iman dan kehilangan arah. (Tengku Iskandar/penyuluh agama Islam dan pengamat sosial)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
