Ungkapan banyak anak banyak rezeki begitu melekat di telinga masyarakat Indonesia. Pepatah ini bukan sekadar kalimat usang. Ia menjadi sebuah keyakinan yang dipegang teguh oleh banyak kalangan. Keyakinan ini berakar pada semangat ajaran Islam. Allah SWT telah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya. Dia berfirman:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kamu.”
(QS. Al-Isra: 31)
Ayat ini memberikan ketenangan dan jaminan yang luar biasa. Namun, di tengah realitas sosial saat ini, pertanyaan penting muncul. Apakah ungkapan tersebut masih relevan? Bagaimana kita seharusnya memahami konsep banyak anak banyak rezeki dalam konteks modern?
Anak sebagai Karunia dan Amanah dalam Islam
Islam memandang anak dengan penuh kemuliaan. Anak adalah karunia, amanah, sekaligus perhiasan dunia. Al-Qur’an dengan indah menggambarkan posisi anak dalam kehidupan.
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…”
(QS. Al-Kahfi: 46)
Sebagai “perhiasan,” anak mendatangkan kebahagiaan dan keindahan dalam hidup. Bahkan, para nabi pun berdoa dengan sungguh-sungguh untuk dikaruniai keturunan. Nabi Ibrahim AS memohon:
“Ya Rabb, karuniakanlah aku anak yang termasuk orang-orang saleh.” (QS. Ash-Shaffat: 100)
Doa ini menunjukkan sebuah poin penting. Fokus utama bukanlah pada jumlah anak, melainkan pada kualitas kesalehan mereka. Islam tidak pernah menetapkan standar keberkahan berdasarkan banyaknya keturunan. Agama ini lebih menekankan pada kualitas pendidikan, pembinaan akhlak, dan pemenuhan tanggung jawab orang tua. Anak adalah rezeki, tetapi rezeki itu datang bersama sebuah amanah besar.
Konteks Indonesia: Antara Keyakinan dan Kenyataan
Di Indonesia, slogan banyak anak banyak rezeki berhadapan langsung dengan realitas sosial. Setelah kemerdekaan, Indonesia mengalami ledakan populasi. Pemerintah Orde Baru kemudian menggulirkan program Keluarga Berencana (KB). Slogan “Dua Anak Cukup” digalakkan untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk. Tujuannya adalah untuk meringankan beban ekonomi dan sosial negara.
Sebagian kalangan memandang kebijakan ini bertentangan dengan semangat Islam. Mereka berpegang teguh bahwa memiliki banyak anak adalah cara memperkuat umat. Keyakinan bahwa setiap anak membawa rezekinya sendiri menjadi argumen utama. Namun, realitas di lapangan seringkali menunjukkan gambaran yang berbeda.
Tidak sedikit keluarga besar justru menghadapi tantangan berat. Mereka kesulitan menyediakan akses pendidikan yang layak bagi semua anaknya. Pemenuhan gizi seimbang juga menjadi persoalan. Pada akhirnya, cita-cita memiliki generasi yang kuat justru terhambat oleh keterbatasan kapasitas.
Pandangan Ulama: Jalan Tengah Perencanaan Keluarga
Bagaimana fikih Islam memandang perencanaan keluarga? Mayoritas ulama kontemporer sepakat bahwa pengaturan kelahiran (KB) diperbolehkan. Syaratnya, metode tersebut tidak bersifat permanen (seperti sterilisasi tanpa darurat medis). Tujuannya pun harus untuk kemaslahatan keluarga.
Ulama besar, Syekh Yusuf al-Qaradawi, dalam kitabnya Fatawa Mu’ashirah menjelaskan:
“Mengatur jarak kelahiran dengan alasan kesehatan atau ekonomi dibolehkan, selama tidak dimaksudkan untuk menolak keturunan secara total.”
Pandangan ini sangat realistis. Islam tidak melarang memiliki banyak anak. Namun, Islam menuntut kesadaran dan tanggung jawab yang sangat besar. Setiap orang tua adalah pemimpin bagi keluarganya. Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Tanggung jawab ini mencakup nafkah, pendidikan, kesehatan, dan pembinaan akhlak anak.
Jadi, Benarkah Banyak Anak Banyak Rezeki?
Jawabannya menjadi sangat kondisional. Ungkapan banyak anak banyak rezeki bisa menjadi benar, jika diiringi dengan beberapa syarat. Syarat tersebut adalah kesiapan finansial, mental, dan visi pendidikan yang jelas. Rezeki akan datang melalui anak yang terdidik, sehat, dan berakhlak mulia.
Sebaliknya, ungkapan itu bisa menjadi bumerang. Ia menjadi tidak relevan jika hanya dijadikan slogan tanpa persiapan. Memiliki banyak anak tanpa kapasitas yang memadai justru bisa menimbulkan kesulitan. Penting juga untuk memahami bahwa rezeki tidak selalu berarti uang. Rezeki bisa berupa kesehatan, ketenangan jiwa, anak yang berbakti, atau lingkungan sosial yang suportif.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
