SURAU.CO–Akhir-akhir ini, pemberitaan mengenai kasus bunuh diri semakin sering muncul di media sosial. Terjadi peningkatan yang signifikan dalam angka bunuh diri di Indonesia. Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri mencatat bahwa jumlah kasus bunuh diri di Indonesia meningkat hingga 60 persen dalam lima tahun terakhir.
Pada tahun 2020, terdapat lebih dari 640 kasus. Menurun sedikit di 2021 menjadi 629 kasus. Namun kembali melonjak menjadi 887 kasus pada 2022, dan 1.288 kasus di 2023. Hingga Oktober 2024, angka kasus bunuh diri telah mencapai 1.023 kasus.
Kementerian Kesehatan RI menyoroti bahwa penyebab bunuh diri sangat kompleks, melibatkan faktor biologis, genetik, psikologis, budaya, dan lingkungan. Upaya pencegahan pun digalakkan melalui kampanye untuk membangun dukungan sosial, percakapan terbuka, dan empati terhadap individu yang mengalami tekanan mental.
Bunuh Diri dalam Kajian Sosiologis
Dalam perspektif sosiologis, bunuh diri dapat dipahami melalui teori Suicide yang dikembangkan oleh Émile Durkheim. Menurut Durkheim, bunuh diri adalah tindakan disengaja untuk mengakhiri hidup yang bukan semata-mata hasil keputusan individual. Melainkan merupakan fenomena sosial yang tak terelakkan dalam suatu masyarakat. Gejala-gejala sosial, seperti lemahnya integrasi atau regulasi dalam kehidupan sosial, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecenderungan seseorang untuk melakukan bunuh diri.
Menurut Durkheim, ada empat jenis bunuh diri:
- Bunuh diri egoistik (egoistic suicide):
Terjadi karena integrasi sosial yang terlalu lemah. Individu merasa terasing, kurangnya ikatan sosial, dan lebih mementingkan diri sendiri. Contohnya adalah budaya di Swiss yang mengharuskan anak muda mandiri pada usia 17 tahun, menyebabkan tingginya angka bunuh diri karena kurangnya dukungan sosial. Agama Protestan juga dikaitkan dengan bunuh diri egoistik karena penekanannya pada individualisme yang lebih besar dan ikatan komunal yang lebih lemah dibandingkan Katolik. - Bunuh diri altruistik (altruism suicide):
Terjadi karena integrasi sosial yang terlalu kuat. Individu memiliki solidaritas yang sangat tinggi terhadap kelompoknya dan rela berkorban demi kepentingan kelompok. Contohnya termasuk tradisi masyarakat India kuno di mana istri turut mati bersama suaminya, atau seorang prajurit yang mengorbankan diri di medan perang. Fenomena bom bunuh diri juga dikategorikan sebagai bunuh diri altruistik, di mana pelaku memiliki paham radikal dan rela meninggal demi kelompoknya. - Bunuh diri anomik (anomie suicide):
Terjadi karena kaburnya nilai dan norma dalam masyarakat. Individu kehilangan cita-cita, tujuan, dan pedoman hidup, seringkali diakibatkan oleh perubahan sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang mendadak atau ekstrem. - Bunuh diri fatalistik (fatalistic suicide):
Terjadi karena nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat terlalu berlebihan atau menindas. Individu merasa terkekang dan tidak berdaya karena aturan yang terlalu ketat. Hal ini menyebabkan mereka pasrah pada nasib dan merasa tidak memiliki masa depan. Contohnya adalah orang yang mendekam di penjara dan merasa tertekan oleh hukuman yang lama, sehingga memilih bunuh diri.
Bunuh Diri Sebagai Fenomena Sosial
Dalam kerangka ini, kita dapat memahami bunuh diri bukan sekadar sebagai tindakan individual, tetapi sebagai fenomena sosial. Kita bisa mengkategorikannya berdasarkan tingkat integrasi sosial serta kekuatan nilai dan norma dalam masyarakat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, terdapat empat tipe bunuh diri yang mencerminkan kondisi sosial tertentu.
Dalam banyak kasus, lemahnya integrasi sosial membuat individu terputus dari masyarakat dan mendorongnya melakukan bunuh diri. Ia merasa terasing, tidak memiliki ikatan emosional atau rasa memiliki terhadap komunitas di sekitarnya, sehingga kehilangan makna hidup. Durkheim menyebut bunuh diri semacam ini sebagai bunuh diri egoistik.
Sebaliknya, integrasi sosial yang terlalu kuat juga dapat mendorong individu melakukan bunuh diri. Dalam kondisi ini, individu melebur sepenuhnya dalam kelompok atau komunitasnya hingga rela mengorbankan diri demi kepentingan kolektif. Kita bisa melihatnya, misalnya, dalam praktik ritual atau tindakan heroik atas nama kehormatan. Durkheim menyebut fenomena ini sebagai bunuh diri altruistik.
Sementara itu, bunuh diri anomik muncul ketika masyarakat gagal mengatur kehidupan individu karena lemahnya regulasi sosial. Situasi ini sering terjadi dalam masa transisi sosial atau krisis ekonomi yang mengguncang tatanan nilai. Akibatnya, individu kehilangan arah dan pegangan hidup yang stabil.
Adapun bunuh diri fatalistik terjadi dalam kondisi sebaliknya, ketika norma dan kontrol sosial terlalu kuat. Tekanan yang berlebihan membuat individu merasa hidupnya sempit, tertekan, dan tanpa harapan. Dalam situasi seperti ini, aturan yang terlalu kaku justru memicu keputusasaan mendalam.
Keempat tipe ini menunjukkan bahwa tindakan bunuh diri selalu berkaitan dengan kondisi sosial yang membentuk dan menekan kehidupan individu. Bunuh diri mencerminkan relasi sosial yang retak, mengekang, atau bahkan terlalu menuntut dalam kehidupan bersama.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
