Khazanah
Beranda » Berita » Haruskah Muslim Menjadi Kaya? Menakar Harta Dunia dan Akhirat

Haruskah Muslim Menjadi Kaya? Menakar Harta Dunia dan Akhirat

Ilustrasi Muslim yang Dermawan
Ilustrasi Muslim yang Dermawan

Al-Qur’an memberikan sebuah panduan hidup yang luar biasa. Salah satunya adalah   melalui Surah Al-Qashash 77 tentang Keseimbangan Hidup. Ayat tersbeut memberikan panduan dan menjawab pertanyaan haruskah muslim menjadi kaya dengan menakar dan menyeimbangkan antara urusan duniawi dan tujuan ukhrawi. Allah SWT berfirman:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia.”
(QS. Al-Qashash: 77)

Ayat ini terasa sangat relevan di zaman sekarang. Kita hidup di tengah hustle culture dan semangat wirausaha syariah. Banyak platform digital mendorong kita untuk meraih kesuksesan finansial. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan mendasar. Apakah seorang Muslim wajib menjadi kaya? Apakah Islam mendorong umatnya menjadi konglomerat? Ataukah hidup sederhana lebih utama?

Surah Al-Qashash ayat 77 menawarkan sebuah kompas yang jelas. Ia menjadi petunjuk untuk menavigasi dilema antara spiritualitas dan materialisme.

Konteks Ayat: Nasihat di Tengah Kisah Kehancuran Qarun

Ayat ini tidak turun dalam ruang hampa. Ia merupakan bagian dari kisah Qarun. Qarun adalah seorang dari kaum Nabi Musa yang sangat kaya raya. Namun, kekayaannya membuatnya sombong dan melupakan Allah. Akibat kesombongannya, Allah menenggelamkan Qarun beserta seluruh hartanya ke dalam perut bumi.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Di tengah kisah kehancuran itu, Allah menyelipkan nasihat penyeimbang. “Carilah akhirat, tapi jangan lupakan duniamu.” Pesan ini sangat kuat. Ia menegaskan bahwa kekayaan itu sendiri bukanlah masalah. Yang menjadi ujian sesungguhnya adalah sikap kita terhadap kekayaan tersebut.

Islam tidak melarang umatnya menjadi kaya. Sejarah mencatat banyak sahabat Nabi yang memiliki harta melimpah. Ada Abdurrahman bin ‘Auf, Utsman bin Affan, dan Khadijah RA. Mereka adalah para pebisnis sukses. Namun, kekayaan tidak membuat mereka lalai. Mereka tetap rendah hati, dermawan, dan menjadikan harta sebagai jembatan menuju akhirat.

Prinsip Jalan Tengah: Tidak Duniawi, Tidak Pula Anti-Dunia

Para ulama tafsir menggarisbawahi prinsip keseimbangan ini. Mereka menjelaskan bahwa ayat ini adalah panduan emas bagi setiap Muslim. Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menjelaskan:

“Allah memerintahkan agar menjadikan dunia sebagai jalan menuju akhirat, bukan tujuan utama.”

Penjelasan serupa datang dari Imam Ibn Katsir. Beliau menyebut ayat ini sebagai “panduan hidup tengah-tengah.” Artinya, seorang Muslim tidak boleh ekstrem mengejar dunia. Namun, ia juga tidak boleh menolak dunia sepenuhnya seperti para penganut zuhud yang berlebihan.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Islam mendorong umatnya untuk mandiri secara finansial. Kita diperintahkan bekerja dan mencari nafkah yang halal. Tujuannya agar kita tidak bergantung atau menjadi beban bagi orang lain. Harta yang didapat kemudian digunakan untuk menolong sesama. Namun, Islam melarang keras menjadikan harta sebagai poros kehidupan.

Jadi, Apakah Muslim Harus Kaya?

Jawaban singkatnya adalah tidak. Seorang Muslim tidak diwajibkan untuk kaya raya. Namun, Islam sangat menganjurkan kemandirian dan kemampuan finansial. Rasulullah SAW memberikan sebuah perumpamaan yang indah. Beliau bersabda:

“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan keutamaan orang yang memberi (tangan di atas). Memberi tentu lebih baik daripada meminta-minta (tangan di bawah). Akan tetapi, yang ditekankan bukanlah jumlah nominal harta. Fokus utamanya terletak pada tiga hal:

  1. Cara Memperolehnya: Apakah harta didapat dari jalan yang halal atau haram?

    Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

  2. Sikap Hati Terhadapnya: Apakah kita bersyukur atau justru menjadi tamak dan sombong?

  3. Tujuan Penggunaannya: Apakah hanya untuk diri sendiri atau untuk kemaslahatan umat?

Dengan demikian, menjadi kaya adalah sebuah kemuliaan. Namun, kemuliaan itu terwujud jika diniatkan untuk kebermanfaatan yang lebih luas.

Waspada Jebakan Hustle Culture

Saat ini, banyak Muslim muda terjun ke dunia bisnis. Mereka aktif dalam investasi syariah atau menjadi kreator konten. Fenomena ini menunjukkan kesadaran yang positif akan kemandirian finansial. Namun, kita perlu waspada. Hustle culture yang tidak terkendali dapat merusak orientasi hidup.

Tidak semua aktivitas “berlari” adalah bentuk produktivitas. Bisa jadi, kesibukan itu hanya menutupi kekosongan makna. Islam lebih menekankan keberkahan (barakah), bukan sekadar pertumbuhan angka. Islam mengajarkan kecukupan, bukan keserakahan.

Kesimpulan: Harta adalah Kendaraan, Bukan Tujuan

Surah Al-Qashash ayat 77 bukanlah larangan menikmati dunia. Ayat ini adalah pengingat agung. Dunia adalah sebuah perjalanan singkat menuju rumah yang abadi. Harta adalah kendaraan untuk perjalanan itu, bukan tujuan akhir. Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA pernah memberikan nasihat yang sangat mendalam:

“Bekerjalah seolah kamu hidup selamanya, dan beribadahlah seolah kamu mati besok.”

Pada akhirnya, menjadi kaya secara materi tidaklah wajib bagi seorang Muslim. Namun, memiliki hidup yang bermakna adalah sebuah kewajiban. Salah satu cara meraih makna itu adalah dengan menggunakan dunia untuk mendekatkan diri kepada Allah.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement