SURAU.CO-Fenomena flexing di media sosial terus mencuri perhatian. Fenomena flexing di media sosial menunjukkan bagaimana banyak pengguna dengan sengaja memamerkan kekayaan, barang mewah, atau gaya hidup glamor untuk menarik perhatian. Mereka membentuk citra diri yang tampak sempurna di hadapan publik. Namun, masyarakat mulai mempertanyakan apakah konten tersebut mencerminkan realitas atau sekadar manipulasi demi validasi sosial?
Flexing Menyebabkan Gangguan Psikologis
Banyak pengguna mengalami dampak negatif setelah melihat unggahan bergaya flexing. Mereka mulai merasa minder, iri, bahkan tertekan karena membandingkan hidupnya dengan orang lain. Fenomena ini merusak kepercayaan diri dan menurunkan rasa syukur. Beberapa penelitian juga mengaitkan flexing dengan meningkatnya kasus gangguan kecemasan di kalangan remaja dan dewasa muda. Sayangnya, banyak pengguna tidak menyadari bahwa efek ini mengganggu kesehatan mental mereka secara perlahan.
Media Sosial Menyajikan Ilusi Kehidupan
Pengguna sering menampilkan bagian hidup yang paling indah dan menghapus sisi-sisi rapuhnya. Mereka menyusun narasi bahwa hidup mereka penuh kemewahan dan keberhasilan. Padahal, kenyataannya bisa sangat berbeda. Beberapa selebgram yang terlihat sukses ternyata menyimpan banyak masalah keuangan dan tekanan pribadi di balik layar. Fakta ini menunjukkan bahwa apa yang kita lihat di media sosial tidak selalu mencerminkan kebenaran.
Flexing dan Kebutuhan Akan Pengakuan Sosial
Banyak orang melakukan flexing karena ingin diakui dan dihargai. Mereka percaya bahwa memamerkan harta atau prestasi bisa meningkatkan status sosial. Beberapa bahkan sengaja menciptakan konten palsu demi terlihat sukses. Motivasi ini menunjukkan bahwa flexing lebih sering berakar pada keinginan mendapatkan pengakuan daripada kejujuran. Dalam banyak kasus, dorongan untuk eksis di dunia maya mengalahkan kebutuhan untuk hidup otentik.
Budaya Populer Mendorong Flexing dan Gaya Hidup Konsumtif
Influencer dan selebritas mempopulerkan gaya hidup flexing melalui berbagai platform digital. Mereka mempromosikan barang mahal sebagai simbol keberhasilan. Brand pun memanfaatkan tren ini untuk menjual produk mereka. Akibatnya, masyarakat terjebak dalam budaya konsumtif dan merasa harus membeli sesuatu demi terlihat berkelas. Banyak orang akhirnya berbelanja bukan karena kebutuhan, tetapi karena tekanan sosial yang dibentuk algoritma media.

Seorang Ibu Memamerkan Perhiasannya
Generasi Muda Menjadi Korban Flexing
Anak muda merasa tertekan untuk ikut tampil “sempurna” di media sosial. Mereka mulai berutang atau memaksakan diri membeli barang mahal demi mengikuti tren. Banyak remaja merasa gagal hanya karena tak mampu menunjukkan gaya hidup seperti yang mereka lihat di dunia maya. Hal ini menandakan bahwa flexing mempengaruhi perilaku dan cara pandang mereka terhadap kehidupan nyata. Maka dari itu, pendampingan digital menjadi sangat penting.
Literasi Digital Menjadi Kunci Menghadapi Flexing
Masyarakat perlu membangun kesadaran bahwa tidak semua konten mencerminkan kebenaran. Pengguna harus belajar menyaring informasi dan mengembangkan sikap kritis terhadap apa yang mereka lihat. Dengan memperkuat literasi digital, orang bisa memahami bahwa media sosial bukan tolok ukur keberhasilan hidup. Edukasi mengenai realitas digital harus menjadi bagian dari pembelajaran sejak dini.
Kesimpulan: Kita Harus Bijak Menyikapi Flexing
Fenomena flexing di media sosial menyimpan sisi gelap yang perlu diwaspadai. Sebagian besar pengguna hanya menampilkan pencitraan, bukan kenyataan. Kita harus bijak dalam menyikapinya. Alih-alih terbawa arus flexing, lebih baik kita fokus membangun hidup nyata yang berkualitas. Kesuksesan sejati tak perlu dipamerkan, cukup dirasakan dan dimaknai. Media sosial seharusnya menjadi alat ekspresi, bukan ajang kompetisi semu.
Penutup
Pada akhirnya, kita perlu menyadari bahwa fenomena flexing bukan sekadar tren visual di media sosial, tetapi juga cerminan dari kegelisahan sosial yang lebih dalam. Ketika media digital mendikte nilai seseorang berdasarkan apa yang tampak, saat itulah kita perlu kembali menegaskan bahwa harga diri tidak tergantung pada tampilan luar. Menghargai proses, bukan sekadar hasil, adalah langkah penting untuk menjaga kesehatan mental dan integritas diri di tengah gempuran ilusi digital.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
