Di tengah zaman yang materialistis dan derasnya arus pemikiran bebas, umat Islam menghadapi tantangan berat dalam menjaga kemurnian iman dan orientasi spiritual. Tidak sedikit yang bingung menentukan rujukan, karena banyaknya tokoh agama yang tampil denganberbagai corak dan pendekatan.
Dalam situasi ini, penting untuk kembali nbnn jejak para ulama besar yang lurus akidahnya, dalam, dan mumpuni keilmuannya. Salah satu sosok yang sangat layak jadi rujukan dalam bidang akidah adalah Syekh Abdul Qadir al-Jailani—seorang wali agung, sufi besar, dan ulama Hanbali yang kokoh memegang ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sejarah Singkat dan Metode Ngaji Akidah
Syekh Abdul Qadir al-Jailani (470–561 H) lahir di Jilan, Persia, dan menempuh pengembaraan spiritual serta keilmuan yang luas sebelum akhirnya bermukim di Baghdad. Ia bukan hanya sebagai guru besar dalam bidang fikih dan tasawuf, tetapi juga sebagai pengajar akidah salaf yang tegas dan konsisten.
Dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haqq, beliau menegaskan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, dan penetapan sifat-sifat Allah harus tanpa takwil dan tanpa menyerupai makhluk. Ini merupakan ciri khas pendekatan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagaimana diwariskan para sahabat dan tabi’in.
Syekh Abdul Qadir secara terbuka menolak ilmu kalam, yaitu pendekatan rasionalistik dalam memahami akidah, karena lebih banyak menjerumuskan orang ke dalam keraguan daripada membimbing pada keyakinan.
Beliau lebih menekankan manhaj bayani, yakni menjelaskan akidah dengan dalil langsung dari Al-Qur’an dan Hadis, dan menyampaikan secara lugas dan membumi. Dalam Futuh al-Ghaib, beliau sering mengulang pentingnya mengenal Allah melalui ilmu dan amal, bukan sekadar wacana.
baca juga: 50 Nama-Nama Hizib yang Diwirdkan oleh Beberapa Thariqah di Seluruh Dunia
Realitas Umat dan Tantangan Ulama
Salah satu ajaran penting dalam ngaji akidah kepada Syekh Abdul Qadir adalah tentang adab memilih guru. Beliau mengingatkan umat agar tidak berguru kepada orang yang hanya alim secara teori tetapi tidak takut kepada Allah. Dalam salah satu nasihatnya, beliau berkata:
“Celaka tujuh kali bagi orang yang tahu tapi tidak mengamalkan ilmunya. Ilmunya tidak membawa manfaat, justru menjadi beban dan bahan kehancuran.”
Beliau bahkan melarang hadir dalam majelis ilmu dari orang-orang yang menyembunyikan kemaksiatan di balik ceramahnya, dan menampilkan diri sebagai pewaris nabi padahal hatinya jauh dari Allah. Kritik ini sangat relevan di zaman sekarang, di mana tidak sedikit tokoh agama justru memperdagangkan agama untuk kepentingan duniawi dan popularitas.
Beliau juga sangat keras menolak bid’ah dalam perkara akidah dan ibadah. Menurutnya, keberuntungan sejati hanya diraih dengan mengikuti Al-Kitab dan Sunnah, serta menjauhi semua bentuk penambahan dalam agama. Tauhid bukan sekadar ucapan “Laa ilaaha illallah”, tetapi juga menyertakan bukti amal, sikap, dan kesabaran menerima takdir Allah.
Menghidupkan Kembali Warisan Ngaji Akidah
Ajaran-ajaran Syekh Abdul Qadir al-Jailani memberikan harapan baru bagi upaya reformasi pemahaman akidah di tengah umat Islam. Ia menekankan bahwa tauhid harus menjadi poros utama kehidupan seorang mukmin, baik dalam ibadah maupun dalam interaksi sosial. Oleh karena itu, ngaji akidah harus memulai dari pembacaan kitab-kitab beliau.
Pendidikan akidah tidak boleh berhenti pada hafalan definisi atau perdebatan wacana, melainkan harus menyentuh ruh amal dan transformasi diri. Syekh Abdul Qadir mengajak murid-muridnya untuk hidup dengan penuh kejujuran, ketundukan, dan semangat memperbaiki hati. Inilah intisari dari akidah yang hidup, bukan sekadar dogma.
Mengembangkan ngaji di era digital
Dengan ngaji akidah bisa melalui komunitas daring, kajian rutin kitab klasik, hingga konten edukatif berbasis hikmah sufistik yang mendalam namun tetap berakar . Perpaduan antara dalil yang kuat, spiritualitas yang dalam, dan praktik yang nyata menjadi kunci kebangkitan kembali tradisi ilmu akidah, wariskan para ulama salaf.
baca juga: Alasan Ibnu Umar Menolak Jabatan Hakim Abdullah bin Umar wafat pada tahun 73 Hijriyah.
Akidah yang Terintegrasi dengan Iman dan Amanah
Mengaji akidah kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani adalah bentuk ikhtiar untuk menata iman secara menyeluruh, tidak hanya dalam logika, tetapi dalam sikap hidup sehari-hari.
Dalam ajarannya, akidah bukan hanya teori, tetapi jalan menuju ketakwaan, keikhlasan, dan pengabdian kepada Allah secara total.
Di tengah kerusakan moral dan kebingungan spiritual, kita membutuhkan akidah yang membimbing, bukan memecah belah; akidah yang menenangkan, bukan menakut-nakuti.
Dan itulah warisan Syekh Abdul Qadir: tauhid yang mencerahkan hati, adab yang mendalam, dan keikhlasan yang membawa keselamatan dunia akhirat.
“Jika engkau ingin keselamatan, ikutilah Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, dan para pewaris ilmu yang takut kepada Allah.”
— Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
