Penulis Artikel : Hendri Hasyim
SURAU.CO-Konflik dan diplomasi internasional menjadi dua aspek yang selalu hadir dalam dinamika global, terutama di kawasan rawan seperti Timur Tengah. Dalam berbagai kesempatan, konflik dan diplomasi internasional saling bertabrakan dan bersaing untuk mempengaruhi arah kebijakan global. Kawasan Timur Tengah, yang dikenal dengan kekayaan energi dan keberagaman etnis serta agama, menjadi titik panas yang sulit didamaikan. Banyak negara adidaya turut campur, menjadikan konflik di sana tak hanya bersifat regional, tetapi juga global.
Akar Masalah: Kombinasi Sejarah, Agama, dan Politik
Sumber utama konflik di Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang kolonialisme dan pembagian wilayah yang tidak adil pasca-Perang Dunia. Perebutan tanah, identitas, dan klaim keagamaan antara Israel dan Palestina misalnya, telah berlangsung lebih dari tujuh dekade. Di sisi lain, ketegangan sektarian antara Sunni dan Syiah, terutama antara Arab Saudi dan Iran, memperuncing konflik di Suriah, Yaman, dan Irak.
Selain itu, campur tangan kekuatan luar memperburuk situasi. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Rusia mendukung pihak-pihak yang bertentangan. AS, misalnya, mendukung Israel secara politik dan militer, sedangkan Rusia mendukung rezim Assad di Suriah. Keberpihakan ini menambah dimensi konflik dan membuat proses diplomasi menjadi lebih rumit.

Pejabat Negara Arab sedang berbicang di Markas PBB
Upaya Diplomasi dan Mediasi Internasional
Meskipun konflik bersenjata kerap mendominasi pemberitaan, upaya diplomasi tetap berlangsung. Negara-negara seperti Turki, Mesir, dan Qatar sering mengambil peran sebagai mediator. Misalnya, gencatan senjata antara Hamas dan Israel beberapa kali berhasil dilakukan berkat mediasi dari Mesir.
Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berusaha menetralisir konflik melalui resolusi, perundingan damai, serta pengiriman bantuan kemanusiaan. Namun, kendala veto oleh negara anggota tetap Dewan Keamanan seringkali menghambat pengambilan keputusan yang efektif. Resolusi tentang Suriah, misalnya, beberapa kali gagal karena veto dari Rusia atau Tiongkok.
Studi Kasus: Perang Gaza 2023
Salah satu contoh terbaru adalah konflik antara Hamas dan Israel pada tahun 2023. Serangan udara Israel ke Gaza, sebagai respons atas peluncuran roket oleh Hamas, mengakibatkan ratusan korban jiwa dan kerusakan besar. Tekanan internasional mendorong terwujudnya gencatan senjata, namun hanya bersifat sementara.
Dalam krisis ini, konflik dan diplomasi internasional berjalan berdampingan. Di satu sisi, terjadi pertempuran sengit. Di sisi lain, perwakilan dari PBB, Mesir, dan Qatar terus melakukan negosiasi. Sayangnya, tidak ada solusi jangka panjang yang tercapai karena akar masalah—yakni status Yerusalem dan hak kembali pengungsi Palestina—belum terselesaikan. Baca lebih lanjut di Surau.co.
Peran Negara Adidaya: Solusi atau Bagian dari Masalah?
Negara-negara besar kerap mengklaim bahwa mereka membawa perdamaian. Namun, kenyataannya mereka juga menjadi bagian dari masalah. AS, misalnya, secara konsisten mendukung Israel dalam forum internasional, termasuk di PBB. Sementara itu, Rusia mengamankan kepentingannya di Suriah melalui kekuatan militer.
Kepentingan ekonomi dan strategi geopolitik mendominasi kebijakan luar negeri mereka. Perdagangan senjata, akses ke ladang minyak, serta pengaruh politik di kawasan menjadi prioritas utama. Diplomasi yang mereka lakukan lebih sering menjadi alat legitimasi, bukan solusi perdamaian sejati.
Diplomasi Akar Rumput: Harapan Baru di Tengah Kekacauan
Namun, di balik hiruk-pikuk politik tingkat tinggi, terdapat gerakan dari bawah yang layak diapresiasi. Aktivis kemanusiaan, tokoh lintas agama, dan lembaga swadaya masyarakat bekerja keras membangun jembatan perdamaian. Inisiatif seperti dialog antaragama, pendidikan toleransi, dan bantuan untuk pengungsi telah menunjukkan hasil positif meskipun skalanya kecil.
Gerakan diplomasi akar rumput ini penting karena membangun kepercayaan sosial yang selama ini runtuh akibat perang dan propaganda. Tanpa dukungan dari masyarakat sipil, perdamaian sejati hanya akan menjadi angan-angan.
Tantangan dan Jalan ke Depan
Perjalanan menuju perdamaian di Timur Tengah masih panjang. Hambatan terbesar adalah minimnya kepercayaan antar pihak yang bertikai dan tidak konsistennya aktor global dalam mendorong penyelesaian damai. Diplomasi harus dibarengi dengan komitmen terhadap hak asasi manusia, keadilan sosial, dan penegakan hukum internasional.
Meningkatkan transparansi, memberdayakan perempuan dalam proses perdamaian, dan mendukung pembangunan ekonomi yang inklusif bisa menjadi langkah strategis. Dunia harus belajar dari masa lalu dan mengambil pendekatan yang lebih holistik.
Konflik dan diplomasi internasional di kawasan Timur Tengah mencerminkan realitas dunia yang kompleks dan sering kontradiktif. Studi kasus seperti krisis Gaza membuktikan bahwa senjata dan kekerasan bukanlah solusi jangka panjang. Hanya melalui diplomasi yang adil, partisipatif, dan jujur, harapan akan perdamaian dapat diwujudkan. Dunia tidak bisa tinggal diam, karena perdamaian di Timur Tengah berarti stabilitas global secara keseluruhan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
