Sejarah
Beranda » Berita » Mengenal Sebastia: Desa Bersejarah di Palestina

Mengenal Sebastia: Desa Bersejarah di Palestina

Reruntuhan sejarah di Sebastia

SURAU.CO – Pernahkah Anda mendengar tentang Desa Sebastia di Palestina? Desa kecil ini terletak di jantung Tepi Barat, namun namanya menyimpan riwayat panjang. Di balik bangunan-bangunan kuno yang berdiri di atas tanah para leluhur, Sebastia memendam kisah pergulatan hidup rakyat Palestina dalam mempertahankan identitas mereka.

Mengenal Desa Sebastia: Permata di Nablus yang Sarat Makna

Sebastia adalah sebuah desa Palestina yang terletak di wilayah administratif Nablus, hanya sekitar 12 kilometer di barat laut kota Nablus. Secara geografis, desa ini berdiri kokoh di atas bukit setinggi sekitar 450 meter dari permukaan laut. Letaknya sangat strategis, berada di persimpangan jalur kuno yang menghubungkan utara (Nablus ke Jenin) dan barat (dari Lembah Yordan ke wilayah pesisir). Kondisi ini sejak ribuan tahun lalu menjadikan Sebastia sebagai titik penting perdagangan, pertanian, sekaligus pusat pemerintahan.

Kini Sebastia memiliki jumlah penduduk sekitar 3.500 jiwa, mayoritas Muslim dengan sebagian kecil komunitas Kristen Ortodoks. Kehidupan masyarakatnya sangat lekat dengan pertanian, terutama zaitun, aprikot, dan buah ara yang menjadi identitas lanskap kawasan ini. Hamparan terasering hijau yang ditumbuhi pepohonan itu tak hanya menyuguhkan pemandangan menawan, tetapi juga menyiratkan kesinambungan peradaban yang telah berlangsung ribuan tahun.

Sebastia merupakan salah satu situs arkeologi terpenting di Palestina dengan sebutan lain “ibu kota orang Romawi di Palestina”. Hal itu karena di wilayah ini, ada peninggalan Romawi dalam bentuk bangunan teater, forum, kuil, serta jalan kolom yang masih terlacak hingga sekarang. Tak heran, desa ini menjadi magnet bagi peziarah yang ingin menyaksikan jejak sejarah lintas zaman. Baik dari era bangsa Israel kuno, Asyur, Persia, Yunani, Romawi, Bizantium, hingga masa Islam dan Ottoman.

Sebastia dalam Perspektif Islam: Jejak Nabi Yahya dan Kehormatan Tanah Para Nabi

Dalam sejarah panjangnya, Sebastia telah menjadi saksi persilangan banyak peradaban. Wilayah dengan nama lain Samaria ini, muncul dalam Kitab-kitab Yahudi (Tanakh) yang menyebut raja Omri membeli bukit ini dari seseorang bernama Shemer, lalu mendirikan ibu kota baru menggantikan Tirzah. Sejak itu, Samaria berkembang menjadi pusat pemerintahan penting hingga akhirnya kalah oleh Kekaisaran Asyur pada tahun 720 SM. Setelah era Asyur, Samaria terus menjadi pusat administratif di bawah Babilonia dan Persia.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Pada abad ke-1 SM, Herodes Agung membangun kembali kota ini, memberi nama baru Sebaste (berasal dari kata Yunani Sebastos, padanan Latin dari Augustus) untuk menghormati Kaisar Romawi. Ia mendirikan forum, basilika, teater, stadion, dan dua kuil penting, menjadikannya salah satu kota utama di Palestina pada masa itu. Menurut catatan sejarawan Romawi, Herodes bahkan menghukum mati kedua putranya di Sebastia karena dugaan makar.

Bagi umat Islam, tempat ini memiliki kedudukan istimewa karena diyakini sebagai lokasi makam Nabi Yahya AS (John the Baptist). Setelah pasukan Muslim menaklukkan wilayah ini pada abad ke-7, gereja Bizantium yang berdiri di atas reruntuhan katedral Salibis yang direkonstruksi menjadi Masjid Nabi Yahya atau Masjid Nabi Yahya bin Zakariya. Di samping itu, sumber klasik juga mengaitkan Sebastia (atau disebut “Sabastiya”) dengan keberadaan makam nabi lain, seperti Nabi Ilyasa’ (Elisha) dan Obadiah. Meski begitu, konsensus ulama lebih dominan pada Nabi Yahya.

Sebastia dalam Pusaran Konflik: Antara Pendudukan dan Perlawanan

Kondisi Sebastia hari ini menjadi titik kritis konflik Israel-Palestina. Sejak perang 1967, Sebastia secara de facto berada di bawah pendudukan militer Israel. Desa ini masuk dalam kategori Area B dan Area C. Area tersebut menunjukkan di mana otoritas sipil Palestina hanya memiliki kewenangan terbatas, sementara kendali penuh keamanan berada di tangan Israel. Hal ini menjadi masalah besar bagi warga. Sebab setiap aktivitas konstruksi warga harus memerlukan izin keamanan dari Israel, seperti ketika warga ingin membangun rumah, memperluas usaha, atau melestarikan situs warisan.

Di seberang desa, berdiri permukiman ilegal bernama Shavei Shomron yang dibangun sejak 1977 di atas tanah rampasan milik Sebastia, Naqoura, dan Deir Sharaf. Permukiman ini terus berkembang, hingga kini mencaplok lebih dari 400 dunam (sekitar 40 hektar) tanah Sebastia. Dampaknya, puluhan keluarga terpaksa pindah ke desa-desa tetangga karena tidak lagi memiliki ruang untuk membangun di tanah leluhur mereka sendiri.

Dalam keseharian, warga Sebastia juga berhadapan dengan intimidasi langsung. Sepanjang tahun 2022 saja, tercatat sedikitnya 15 kali penggerebekan militer Israel ke desa ini. Sebagian besar terhubung dengan “pengamanan” kunjungan rutin pemukim Israel ke situs arkeologi, yang memaksa toko-toko Palestina menutup usaha, serta melarang petani mendekati ladang mereka.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Selain kekerasan langsung, Sebastia juga menjadi sasaran aneksasi budaya. Pemerintah Israel, melalui proyek “National Heritage Sites,” memasukkan situs Sebastia ke dalam daftar warisan nasional Israel. Praktik ini memutarbalikkan narasi sejarah untuk memperkuat klaim politik dan menyingkirkan identitas Palestina. Bahkan, Ariel University (yang berdiri di area pendudukan) berupaya mengklaim sejarah dengan melakukan ekskavasi di Sebastia.

Namun di balik semua tekanan itu, Sebastia tetap melawan. Warga terus merawat kebun zaitun mereka, menunaikan salat di Masjid Nabi Yahya, serta menyambut peziarah dengan keramahan. Pemerintah Palestina, bekerja sama dengan UNESCO, sejak 2019 juga berupaya memugar kawasan kota tua. Meski begitu, aktivitas pemugaran acap kali terhambat penutupan jalan oleh tentara dan provokasi pemukim.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement