SURAU.CO – Di zaman serba digital, ponsel telah menjadi perpanjangan tangan manusia. Tiap bangun tidur, benda pertama yang dicari bukan lagi segelas air, melainkan layar yang menyala. Kita membuka media sosial, berita, video pendek, atau hanya melihat-lihat tanpa arah. Guliran demi guliran terasa seperti kegiatan ringan. Padahal, waktu yang terpakai bisa berjam-jam.
Fenomena ini bukan lagi sekadar kebiasaan. Ini menjadi pola hidup yang mengakar. Generasi hari ini tumbuh dengan layar. Sementara sebelumnya kita membaca koran atau berbincang, kini kita lebih sering menunduk menatap layar dan mengabaikan sekitar. Pertanyaannya: dari semua waktu yang dihabiskan untuk scroll, apa yang sebenarnya kita cari? Apa yang kita harapkan muncul di layar selanjutnya?
Scroll Tanpa Akhir: Desain atau Kebutuhan?
Scroll tanpa akhir atau infinite scroll pertama kali diciptakan oleh Aza Raskin. Ia tidak pernah menyangka fitur ini akan mengubah cara manusia berinteraksi dengan teknologi. Dalam wawancaranya dengan BBC, Aza berkata, “Saya menciptakannya untuk membuat hidup lebih mudah. Tapi ternyata, fitur ini mencuri waktu miliaran orang setiap hari.”
Fitur ini bekerja seperti buffet konten. Setiap kali kita scroll selalu ada yang baru yang “mungkin” menarik. Sistem ini secara psikologis membuat kita ingin tetap tinggal berharap akan menemukan konten yang lebih baik di guliran berikutnya. Bahkan saat tidak ada hal penting, kita tetap melanjutkan.
Masalahnya, sistem ini bukan dikembangkan demi kebutuhan pengguna melainkan demi durasi keterlibatan. Semakin lama pengguna bertahan semakin besar peluang iklan dilihat dan semakin besar pula keuntungan perusahaan teknologi.
Dopamin Digital: Mengapa Kita Tidak Bisa Berhenti?
Setiap kali kita menemukan sesuatu yang lucu, menarik, atau mengejutkan, otak kita melepaskan dopamin. Ini adalah senyawa kimia yang menimbulkan rasa senang. Scroll tanpa akhir memicu pelepasan dopamin secara konstan, tapi dalam dosis kecil.
Berbeda dengan aktivitas yang memberi kepuasan jangka panjang seperti membaca buku atau berbicara dengan teman, scroll hanya memberikan kesenangan sesaat. Namun, kesenangan itu cukup kuat untuk membuat kita ingin lebih. Inilah mengapa kita sulit berhenti.
Aplikasi-aplikasi modern tahu persis cara memainkan ini. Mereka menggunakan algoritma yang mempelajari kebiasaan kita dan memberikan konten yang memicu reaksi emosional. Algoritma itu tidak tahu batas. Selama kita scroll mereka terus memberi.
Ilusi Koneksi: Mencari Apa yang Hilang
Media sosial seolah memberikan koneksi. Kita bisa melihat kehidupan teman, keluarga, atau bahkan selebritas. Namun koneksi ini bersifat semu. Banyak pengguna merasa kesepian bahkan saat aktif di media sosial. Kita merasa terkoneksi secara digital tapi terisolasi secara emosional.
Dalam sebuah survei oleh American Journal of Preventive Medicine, ditemukan bahwa mereka yang lebih sering menggunakan media sosial justru memiliki tingkat kesepian yang lebih tinggi. Artinya, semakin sering kita online, semakin kita merasa sendiri. Yang kita cari bisa jadi adalah perhatian, validasi, atau bahkan sekadar pengalihan dari tekanan hidup. Tapi sayangnya konten digital jarang memberikan kepuasan yang nyata. Kita mencari tapi tidak menemukan.
Generasi Scroll: Tantangan Psikologis di Era Digital
Generasi muda tumbuh dalam dunia di mana perhatian adalah mata uang. Mereka dibesarkan dengan kecepatan informasi, visual yang menggoda, dan suara yang menarik. Akibatnya, kemampuan fokus berkurang. Banyak yang sulit membaca artikel panjang menyimak pembicaraan serius, atau bahkan menikmati keheningan.
Kecanduan scroll berdampak langsung pada produktivitas, kualitas tidur, dan kesehatan mental. Anak-anak usia remaja bahkan mengalami peningkatan tingkat kecemasan karena ekspektasi sosial dari dunia maya. Mereka takut tertinggal atau tidak terlihat sehingga terus menerus aktif online.
Menurut survei We Are Social 2024, orang Indonesia menghabiskan rata-rata 3 jam 11 menit per hari di media sosial. Itu belum termasuk YouTube, Netflix, atau aplikasi lainnya. Dalam seminggu, itu sama dengan satu hari penuh hanya untuk scroll.
Bagaimana Menghentikan Guliran yang Tak Pernah Usai?
Menghentikan kebiasaan scroll bukan hal mudah tapi bukan pula mustahil. Berikut beberapa strategi sederhana:
-
Tentukan batas waktu penggunaan aplikasi. Gunakan fitur pengingat waktu layar.
-
Hapus aplikasi yang paling membuat terdistraksi. Jika perlu, gunakan ponsel model jadul sesekali.
-
Isi waktu dengan kegiatan alternatif seperti membaca, menulis, berkebun, atau berolahraga.
-
Latih diri untuk scroll secara sadar. Sebelum membuka aplikasi, tanyakan: “Untuk apa saya membuka ini?”
Kita tidak harus menolak teknologi. Tapi kita bisa mengambil kendali kembali.
Penutup
Barangkali bukan hiburan atau informasi yang benar-benar kita cari. Mungkin yang kita kejar adalah rasa tenang, pengakuan, atau sekadar pelarian dari dunia yang terasa terlalu cepat. Tapi layar tidak selalu menyediakan jawabannya. Scroll tanpa akhir tidak akan pernah selesai kecuali kita sendiri yang memilih berhenti. Di balik setiap guliran hidup nyata menunggu untuk diperhatikan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
