Sosok
Beranda » Berita » Al Farabi, Sang Guru Kedua

Al Farabi, Sang Guru Kedua

Ilustrasi Al Farabi, pemikir besar Islam yang merumuskan teori emanasi dan negara utama

SURAU.CO – Al Farabi, seorang filsuf yang hidup sederhana, berpindah dari Baghdad ke Damaskus, lalu meninggalkan warisan pemikiran yang abadi. Ia dijuluki al-Mu’allim al-Tsani, guru kedua setelah Aristoteles. Ia tidak hanya menguasai logika, tetapi juga meramu filsafat Yunani dengan nilai-nilai Islam.

Sejak muda, Al Farabi tekun belajar logika dari para sarjana besar, termasuk dari kalangan Kristen Nestorian. Ia menyusun Ihshā’ul ‘Ulūm, karya yang membagi ilmu secara sistematis agar mudah dipahami. Ia membuktikan bahwa filsafat bisa terhubung dengan akal, iman, dan tatanan ilmu pengetahuan.

Banyak tokoh besar memuji kemampuannya. Ibn Khalkan menyebut Al Farabi sebagai filsuf muslim paling unggul. Ia berhasil menyatukan pemikiran Plato dan Aristoteles dalam satu kerangka yang utuh dan rasional.

Dari Tuhan ke Dunia: Cerita Penciptaan Versi Al Farabi

Al Farabi tidak puas dengan jawaban sederhana tentang penciptaan alam. Ia menggali lebih dalam dan mengembangkan teori emanasi. Menurutnya, Tuhan menciptakan alam bukan dengan keputusan tiba-tiba, tetapi melalui pancaran akal secara bertingkat.

Dalam penjelasannya:

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

  • Tuhan memancarkan akal pertama sebagai wujud kedua.
  • Akal pertama memikirkan Tuhan dan dirinya, lalu melahirkan langit pertama.
  • Proses ini terus berlangsung hingga akal kesepuluh yang mengatur dunia materi.

Akal kesepuluh, atau aql fa’al, menghubungkan manusia dengan Tuhan. Dari sini muncul unsur-unsur dasar seperti air, tanah, udara, dan api. Oleh karena itu, Al Farabi memandang alam sebagai hasil dari proses intelektual yang teratur dan logis.

Ia menolak gagasan bahwa Tuhan mengalami perubahan. Sebaliknya, ia menggambarkan Tuhan sebagai wujud sempurna. Alam tercipta bukan karena kehendak tiba-tiba, melainkan karena pancaran kesempurnaan Tuhan yang terus mengalir.

Nabi, Akal, dan Wahyu: Jembatan Langit dan Bumi

Al Farabi menempatkan akal sebagai pusat dalam memahami kebenaran. Ia membedakan antara Nabi dan filosof bukan dari sumber kebenaran, tetapi dari cara mencapainya. Nabi menerima wahyu, sementara filosof mencapainya lewat akal yang tajam.

Ia membagi akal menjadi:

  • Akal Praktis untuk menyelesaikan urusan teknis,
  • Akal Teoritis untuk merenung dan memahami abstraksi,
  • Akal Mustafadh untuk menyerap pengetahuan paling tinggi.

Nabi menggunakan akal mustafadh untuk menangkap isyarat dari akal kesepuluh. Proses ini menghasilkan wahyu, bukan dari imajinasi, melainkan dari hubungan langsung dengan kebenaran. Di sisi lain, filosof mencapainya lewat perenungan dan kontemplasi mendalam.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Al-Farabi membantah pemikiran Ar-Razi yang meragukan kenabian. Ia menegaskan bahwa Nabi bukan hanya komunikator wahyu, tetapi juga pemimpin spiritual yang membimbing umat. Oleh karena itu, kenabian menjadi bagian penting dari tatanan kebenaran.

Negara Utama: Sebuah Tubuh yang Ingin Bahagia

Al Farabi tidak hanya menguraikan metafisika. Ia juga membayangkan negara sebagai tubuh yang hidup. Pemimpin berfungsi seperti jantung, sedangkan rakyat menjalankan tugas seperti anggota tubuh lainnya.

Dalam Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, ia menyebut negara ideal sebagai tempat untuk meraih kebahagiaan bersama. Warga bekerja sama, saling melengkapi, dan dipimpin oleh seseorang yang bijak dan berilmu.

Pemimpin ideal menurut Al Farabi harus:

  • Cerdas dan adil,
  • Cinta ilmu dan kebenaran,
  • Rendah hati dan tidak rakus,
  • Memiliki kekuatan akal dan jiwa luhur.

Ia meyakini bahwa seorang Nabi, filosof, atau raja bijaksana dapat memimpin negara utama. Negara ini bukan hanya alat kekuasaan, tetapi tempat untuk membentuk masyarakat yang baik dan berbahagia secara lahir dan batin.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Penutup: Warisan Peikiran Al Farabi

Al Farabi menunjukkan bahwa akal, iman, dan masyarakat bisa saling melengkapi. Ia menjelaskan penciptaan dengan logika, menyatukan wahyu dan filsafat, serta menawarkan model negara yang etis dan harmonis.

Melalui gagasannya, Al-Farabi mengajak siapa pun untuk berpikir jernih, bertindak bijak, dan mencari kebenaran. Ia membuktikan bahwa filsafat bukan milik masa lalu, tetapi terus relevan bagi siapa saja yang ingin memahami dunia dengan lebih utuh.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement