Beranda » Berita » Perbaiki Diri, Jangan Sibuk dengan Aib Orang Lain

Perbaiki Diri, Jangan Sibuk dengan Aib Orang Lain

Perbaiki Diri, Jangan Sibuk dengan Aib Orang Lain

Perbaiki Diri, Jangan Sibuk dengan Aib Orang Lain

 

Di tengah kehidupan yang terus bergerak cepat dan penuh distraksi, kita sering kali tergoda untuk melihat ke luar diri—mengamati, menilai, dan bahkan mengomentari kehidupan orang lain. Media sosial menjadi ruang terbuka yang memperbesar peluang ini. Padahal, sebagaimana dinasihatkan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah, seorang Muslim yang bijak seharusnya lebih sibuk memperbaiki dirinya daripada mengurusi aib orang lain.

“Celakalah orang yang lupa aibnya sendiri dan malah sibuk mengurusi aib orang lain.”
(Miftah Dar as-Sa’adah, 1/298)

Nasihat ini bukan sekadar peringatan, tetapi juga panggilan untuk bertafakur dan bermuhasabah. Mari kita renungi beberapa pelajaran penting dari ungkapan ini, dan bagaimana kita dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Berhentilah Menjadi Orang Lain Jika Ingin Dicintai

1. Manusia Tidak Luput dari Kekurangan

Setiap manusia memiliki sisi gelap, aib, dan kesalahan. Bahkan Rasulullah ﷺ yang maksum pun tetap beristighfar kepada Allah lebih dari 70 kali sehari (HR. Bukhari). Maka bagaimana dengan kita yang penuh dosa dan kekurangan?

Ketika seseorang sibuk mencari dan mengomentari kesalahan orang lain, sebenarnya ia sedang menunjukkan ketidaksadarannya terhadap kekurangannya sendiri. Ini adalah bentuk kezaliman terhadap diri sendiri—mengabaikan kebutuhan utama: perbaikan diri.

Allah Ta’ala berfirman:

> “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. Ash-Shaff: 2-3)

Belum Punya Rumah Bukan Aib, Tapi Ujian Keimanan

Ayat ini menegaskan bahwa tindakan yang tidak sesuai dengan perbaikan diri justru membuat kita dibenci oleh Allah. Artinya, sibuk dengan aib orang lain tapi lupa diri adalah bentuk kemunafikan yang harus dihindari.

2. Refleksi Cermin: Memantulkan Diri Sendiri

Gambar yang menjadi latar kutipan ini sangat menarik: sebuah cermin besar dengan lampu-lampu terang di sekelilingnya. Cermin adalah simbol introspeksi. Cermin tidak pernah membohongi. Ia menunjukkan dengan jujur bagaimana rupa kita sesungguhnya.

Cermin mengajarkan kita untuk melihat ke dalam diri sendiri sebelum menilai orang lain. Sebagaimana cermin yang hanya berfungsi jika kita berdiri di hadapannya, demikian pula introspeksi baru efektif jika kita berani menghadapi kenyataan diri.

Maka, sebelum kita mengangkat jari menunjuk kekurangan orang lain, letakkan tangan kita di dada dan tanya, “Apa yang masih harus aku perbaiki dari diriku sendiri?”

BALASAN BAGI YANG MENYEBARKAN AIB SAUDARANYA

3. Aib Orang Lain Bukan Tanggung Jawab Kita

Dalam Islam, menutup aib orang lain adalah amal yang sangat mulia. Nabi ﷺ bersabda:

> “Barang siapa yang menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.”
(HR. Muslim)

Sebaliknya, membuka aib orang lain bukan hanya berdosa, tapi juga bisa menyebabkan hilangnya keberkahan dalam hidup. Banyak masalah dalam hubungan sosial timbul karena kebiasaan membicarakan orang lain, entah itu dalam bentuk ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), atau su’udzon (prasangka buruk).

Kita sering merasa ‘berhak’ menilai dan menasihati orang lain, padahal sejatinya yang lebih kita butuhkan adalah menasihati diri sendiri. Tanggung jawab pertama kita adalah memperbaiki akhlak dan ibadah kita, bukan menjadi hakim atas kesalahan sesama.

4. Fokus pada Perbaikan Diri Adalah Jalan Menuju Kebaikan

Sibuk memperbaiki diri akan menyibukkan kita dari membicarakan orang lain. Ketika hati dan pikiran dipenuhi keinginan untuk menjadi lebih baik, tidak akan ada ruang untuk iri, dengki, atau menggunjing.

Dalam buku Miftah Dar as-Sa’adah, Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa diraih oleh mereka yang mengenal aib dirinya, lalu bersungguh-sungguh untuk memperbaikinya.

Perjalanan memperbaiki diri adalah perjalanan seumur hidup. Ia tidak instan. Kadang kita jatuh dan tergelincir, tetapi selama kita sadar dan kembali, maka kita masih berada di jalur yang benar.

5. Menghindari Budaya Saling Menyalahkan

Budaya menyalahkan adalah racun dalam kehidupan masyarakat. Alih-alih saling menguatkan dan mendidik dengan kasih sayang, kita justru saling menjatuhkan dan menyebarkan kesalahan orang lain.

Padahal, Islam menganjurkan kita untuk menjadi penolong dalam kebaikan, bukan pemantik fitnah. Rasulullah ﷺ bersabda:

> “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya (kepada musuh atau keburukan). Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya…”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Kalimat “tidak menyerahkannya” mencakup perlindungan dari aib, dari fitnah, dan dari pembicaraan buruk. Maka, mari kita jadikan sesama Muslim sebagai saudara sejati, bukan sasaran empuk untuk dijatuhkan.

6. Media Sosial: Ladang Pahala atau Kubangan Dosa

Di era digital, kita harus ekstra hati-hati. Satu komentar atau unggahan bisa menjadi sumber dosa yang terus mengalir, apalagi jika itu berupa pembukaan aib atau penghinaan terhadap orang lain. Kadang kita merasa hanya “berbagi informasi”, tapi nyatanya bisa saja kita sedang menyebarkan fitnah.

Gunakan media sosial untuk menginspirasi, bukan untuk mencari-cari kesalahan. Perbaikan diri dimulai dari kendali atas jari-jemari dan kata-kata yang kita sebarkan.

7. Menjadi Teladan, Bukan Penghakim

Jika kita ingin orang lain menjadi baik, mulailah dengan memperbaiki diri sendiri. Kebaikan itu menular. Keteladanan lebih kuat dari seribu nasihat. Orang akan lebih mudah terinspirasi oleh akhlak dan perilaku, bukan oleh kritik dan cemoohan.

Sibuk memperbaiki diri akan menjadikan kita lebih bijak, lebih lembut, dan lebih toleran terhadap orang lain. Kita akan lebih banyak mendoakan daripada mencela.

Penutup: Jalan Hidup Seorang Mukmin

Menjadi mukmin sejati adalah tentang menundukkan ego, menahan lisan, dan menyibukkan diri dengan amal saleh. Seorang mukmin tahu bahwa setiap detik dalam hidupnya adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dan mencari rida Allah.

Maka mari kita jadikan nasihat Al-Imam Ibnul Qayyim sebagai pegangan hidup:

> “Celakalah orang yang lupa aibnya sendiri dan malah sibuk mengurusi aib orang lain.”

Lihatlah ke dalam diri, bukan hanya ke luar. Sibukkan diri dengan ibadah, bukan dengan gunjingan.

Semoga tulisan ini menjadi pengingat bagi kita semua. Mari terus memperbaiki diri dan menebarkan kebaikan. (Tengku Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement