Bagi banyak anak muda Indonesia, terutama dari kelas menengah urban, kuliah bukan lagi pilihan sadar, melainkan kewajiban tak tertulis. Ungkapan seperti “ya jelas kuliah lah”, telah menjadi bagian dari narasi umum yang merepresentasikan habitus pendidikan. Ini sudah menjadi semacam kerangka berpikir dan cara hidup yang dibentuk oleh nilai-nilai keluarga dan masyarakat sejak kecil.
Dalam kajian Kimberly Griffin dkk., (2012) mereka menyebut fenomena serupa di kalangan Black immigrants di Amerika Serikat. Mereka menemukan bahwa habitus, atau cara pandang hidup, yang terbentuk dari pengalaman keluarga dan budaya, menjadikan kuliah sebagai keharusan, bukan aspirasi semata. Salah satu partisipan mereka berkata, “Oh, I always knew” ketika ditanya sejak kapan tahu akan kuliah.
Habitus dalam Konteks Indonesia
Dalam konteks Indonesia, banyak anak muda tumbuh dalam keluarga kelas menengah terdidik. Orang tua mereka bekerja di sektor formal atau lulusan perguruan tinggi. Sejak kecil, orang tua sering menyampaikan pesan seperti “kalau mau sukses, kuliah yang tinggi”.
Mereka juga menanamkan anggapan bahwa “kuliah di universitas negeri itu membanggakan”. Orang tua membentuk habitus bahwa pendidikan tinggi menjadi kunci mobilitas sosial. Griffin dkk. (2012) mencatat, prestasi akademik menjadi tanggung jawab kolektif keluarga dan komunitas.
Dorongan Budaya dan Status Sosial
Habitus ini juga mendorong banyak orang untuk mengejar peningkatan prestise sosial. Di Indonesia, masyarakat sering memandang gelar sarjana bukan hanya sebagai bukti keahlian, tetapi sebagai simbol status. Orang tua bangga ketika anak mereka lulus dari kampus ternama seperti UI, UGM, atau ITB.
Mereka menganggap keberhasilan tersebut sebagai pencapaian keluarga, bukan hanya individu. Griffin dkk. (2012) menulis, banyak orang menilai kuliah di kampus elite sebagai kehormatan keluarga, bukan sekadar prestasi pribadi.
Dilema antara Prestise dan Realitas Ekonomi
Namun, dorongan habitus sering kali berbenturan dengan realitas ekonomi. Seperti temuan dalam studi Griffin dkk., (2012) banyak responden mereka yang akhirnya memilih universitas yang memberi beasiswa penuh, bukan yang paling bergengsi. Di Indonesia pun, banyak siswa dari SMA unggulan akhirnya memilih kampus swasta dengan beasiswa ketimbang memaksakan diri masuk PTN favorit.
Habitus dan Aspirasi Tanpa Informasi
Masalahnya, dorongan untuk kuliah sering kali tidak disertai dengan pengetahuan memadai tentang pilihan jurusan, dunia kerja, atau realitas kampus. Menurut Griffin dkk. (2012), banyak anak imigran didorong untuk kuliah tanpa diberikan pemahaman tentang proses pemilihan kampus di AS. Di Indonesia, situasi serupa juga dapat ditemukan: anak-anak diminta memilih jurusan “yang bagus” tanpa dijelaskan apa arti “bagus” tersebut.
Habitus sebagai Pendorong dan Penekan
Habitus mendorong banyak anak muda untuk menetapkan cita-cita tinggi sejak dini. Namun, di Indonesia, habitus ini juga menekan mereka secara sosial. Selain itu, banyak keluarga dan lingkungan sekitar mendorong anak muda untuk kuliah demi gengsi sosial. Oleh karena itu, mereka sering kali mengabaikan minat dan potensi pribadi anak dalam proses tersebut.
Akibatnya, banyak anak muda memilih kuliah bukan karena keinginan, tetapi karena tekanan sosial. Dalam tulisan Griffin dkk. (2012) menekankan pentingnya peran pendidikan dan keluarga dalam hal ini. Pendidikan dan keluarga harus menyediakan informasi, ruang refleksi, dan dukungan pilihan anak. Mereka perlu membantu anak muda memahami apa yang benar-benar mereka inginkan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
