Mode & Gaya
Beranda » Berita » Kafe dan Identitas Anak Muda : Antara Tren, Kelas Sosial, dan Budaya Lokal

Kafe dan Identitas Anak Muda : Antara Tren, Kelas Sosial, dan Budaya Lokal

Ilustrasi gambar sekelompok anak muda sedang berbincang sambil menikmati kopi di kafe

Saat ini, kafe tak lagi hanya ruang untuk menyeruput kopi. Cafe telah menjelma menjadi panggung sosial di mana anak muda menampilkan identitas, bersosialisasi, dan menegosiasikan posisi mereka dalam masyarakat.

Kafe Bukan Sekadar Tempat Minum Kopi

Berdasarkan survei dari GoodStats, sebanyak 40% responden menyatakan bahwa mereka mengonsumsi dua gelas kopi setiap hari. Sementara itu, 29% lainnya hanya meminum satu gelas per hari, dan 23% mengaku mengonsumsi tiga gelas kopi setiap hari. Menariknya, ada 9% responden yang mengatakan bahwa mereka biasa minum lebih dari tiga gelas kopi dalam sehari.

Lebih lanjut, kafe sering kali menjadi pilihan utama generasi muda untuk menikmati secangkir kopi setiap harinya. Tren ini dipicu bukan hanya oleh cita rasa kopi, tetapi juga oleh daya tarik visual, kenyamanan ruang, serta potensi pencitraan diri yang dapat ditampilkan melalui media sosial seperti Instagram dan TikTok.

Identitas, Estetika, dan Akses Kelas Sosial

Namun, tidak semua anak muda dapat menikmati budaya ngopi secara setara. Istilah menu anxiety muncul ketika harga kopi di luar jangkauan, memicu rasa cemas hingga malu. Berdasarkan kajian Windarsari (225), Fenomena ini setidaknya dialami oleh 43% responden dari kelompok berpenghasilan rendah. Sebaliknya, anak muda dari kelas menengah dan atas lebih bebas memilih kafe estetik sebagai bagian dari citra mereka di media sosial.

Namun menariknya, dalam kajian yang ia lakukan, anak muda Makassar yang memiliki keterbatasan finansial justru menunjukkan resistensi simbolik. Mereka memilih kafe lokal yang terjangkau dan kaya akan nilai budaya, seperti menyeduh kopi robusta dalam cangkir tanah liat di tengah atmosfer kearifan lokal.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Kafe Sebagai Laboratorium Identitas Budaya

Banyak kita jumpai di cafe-cafe yang ada, anak muda meramu identitas hibrida. Mereka menggabungkan estetika global seperti latte art dan kopi single origin dengan nilai-nilai lokal seperti *Siri’ Na Pacce* dan *Pappaseng*. Bagi mereka, ngopi bukan sekadar konsumsi, tapi ritual sosial, bahkan spiritual.

Misalnya, ada yang sengaja memilih waktu pagi ke kafe untuk menunjukkan semangat kerja, atau malam hari untuk menampilkan sisi estetik dan personal. Waktu menjadi strategi identitas, menunjukkan bahwa konsumsi bersifat dinamis dan kontekstual.

Dari Ruang Sosial ke Arena Digital

Peran media sosial sangat besar dalam membentuk makna kunjungan ke kafe. Banyak yang lebih dulu mengambil foto sebelum menyeruput minuman. Seolah tanpa unggahan, kunjungan itu “tidak pernah terjadi.” Di sini, kafe menjadi ruang digital kedua di mana anak muda menegaskan eksistensi, estetika, dan bahkan solidaritas budaya.

Tak jarang, unggahan di Instagram justru memberikan kesan “berkelas” meski hanya mampir sebulan sekali. Ini menjadi bentuk perlawanan atas keterbatasan, dan cara kreatif menciptakan rasa “ikut serta” dalam budaya kafe.

Gender, Emosi, dan Tekanan Performa Sosial

Dalam studinya juga mengungkap tekanan emosional dalam budaya kafe. Perempuan, misalnya, merasakan tekanan untuk tampil sesuai ekspektasi visual. Mereka memilih minuman dan busana bukan karena selera, tetapi karena “feed Instagram.” Tak sedikit yang merasa lelah secara emosional akibat harus terus tampil “ideal.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kafe juga memunculkan hierarki emosional: siapa yang nyaman di ruang tertentu, dan siapa yang merasa tidak cukup pantas hadir. Ini mempertegas bahwa meski kafe terlihat netral, kenyataannya penuh regulasi tak terlihat.

Kafe Sebagai Arena Perlawanan Budaya

Banyak anak muda Makassar menjadikan kafe sebagai arena dekolonial. Mereka tidak menolak budaya global, tapi menyesuaikannya dengan nilai lokal. Kopi espresso disajikan dalam batok kelapa, ritual ngopi diwariskan dalam kemasan modern, dan konten lokal dimodifikasi menjadi tren digital.

Kafe tradisional menjadi simbol perlawanan terhadap homogenisasi budaya. Di sinilah warisan seperti Siri’ Na Pacce bukan sekadar nilai turun-temurun, tapi alat menolak dominasi budaya luar yang tak relevan.

Ngopi sebagai Aksi Budaya

Dalam studinya ini, kita bisa menarik pembelajaran dari studi kasus di Makassar yang menunjukkan bahwa budaya ngopi tidak seragam. Di kota ini, kafe menjadi ruang negosiasi antara modernitas dan tradisi, antara gaya hidup dan keterbatasan ekonomi. Anak muda Makassar membuktikan bahwa ngopi bisa menjadi bentuk ekspresi diri, pencarian identitas, hingga perjuangan kultural.

Dalam secangkir kopi, mereka menyusun narasi baru tentang siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan ke mana mereka ingin menuju.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement