Ibadah
Beranda » Berita » Adab Bersahabat Menurut Bidayatul Hidayah

Adab Bersahabat Menurut Bidayatul Hidayah

persahabatan

Sunyi yang Membuka Jalan Merenung

Pada malam yang sunyi, ketika listrik padam, seseorang membuka kitab Bidayatul Hidayah. Suasana hening mempertemukannya dengan halaman-halaman penuh nasihat dari Imam Al-Ghazali. Ia tidak membaca sebagai tugas, tetapi sebagai perenungan. Dari sana, ia mulai menyelami kembali makna persahabatan sejati.
Imam Al-Ghazali tidak memberi definisi yang rumit. Beliau menulis dengan nada yang tenang dan penuh makna. Bagi Al-Ghazali, memilih sahabat adalah keputusan moral. Ia berkata, “Jangan bersahabat dengan orang bodoh.” Kutipan ini bukan sekadar larangan, melainkan peringatan mendalam.
Adab Bersahabat Menjadi Kompas Moral

Adab Bersahabat bukan sekadar tata krama. Ia menjadi kompas yang menuntun pada relasi sehat dan mendekatkan kepada kebaikan. Al-Ghazali mengingatkan untuk tidak bersahabat dengan orang yang mencintai dunia secara berlebihan, pendusta, dan penyebar aib. Teman semacam itu akan menarik kita jauh dari jalan yang lurus.
Sahabat sejati seharusnya membantu memperbaiki diri. Ia menjadi penjaga ruhani, bukan sekadar teman berbagi tawa. Dalam ajaran Islam, sahabat yang baik adalah pengingat ketika lalai, penyemangat ketika jatuh, dan penuntun saat ragu.

baca: https://www.surau.co/2025/06/16992/kisah-penyakit-hati-dari-sebutir-delima-pahit/

Kesadaran Diri Lewat Perilaku Santun dalam Persahabatan

Sahabat Nabi, Abu Darda, menyampaikan bahwa tanda orang berakal ialah tawadhu, tidak berlebihan dalam bicara, dan tidak memamerkan amal. Kutipan ini menyentil banyak dari kita. Apakah kita memilih sahabat berdasarkan nilai atau hanya karena nyaman diajak nongkrong?
Kenyamanan seringkali menipu. Ia menutupi racun dengan tawa. Adab dalam bersahabat menuntut kita berpikir panjang sebelum memeluk orang sebagai bagian dari hidup. Maka, Adab Bersahabat menjadi cermin yang memantulkan siapa kita sesungguhnya.
Menjadi Sahabat yang Meningkatkan Akhlak
Bidayatul Hidayah juga mengajarkan bahwa kita harus memperlakukan sahabat sebagaimana ingin diperlakukan. Ini bukan tentang timbal balik, tapi tentang keikhlasan. Mengingatkan dengan lembut, bukan mencela. Menasihati dengan kasih, bukan mengumumkan aib.
Dunia hari ini memudahkan orang menjadi penghakim. Media sosial mempercepat tuduhan. Tapi adab mengajarkan jeda. Ia mengajarkan mendekati, bukan menjatuhkan. Ini bukan sikap lemah, tapi tanda kedewasaan.

baca: https://kalam.sindonews.com/berita/1456356/69/20-adab-pergaulan-dan-persahabatan-menurut-imam-al-ghazali#:~:text=Orang%20yang%20bahagia%20adalah%20yang%20bisa%20mengambil%20pelajaran,Hijriyah-1111%2F505%20Hijriyah%29%20mengulas%20adab%20pergaulan%20dan%20hak-hak%20persaudaraan

Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

Adab bersahabat, Ilmu, dan Jalan Menuju Cahaya

Imam Al-Ghazali juga menekankan bahwa siapa yang ingin menempuh jalan ilmu harus terlebih dahulu membersihkan hatinya. Beliau menulis, “Ilmu tidak akan menetap di hati yang dipenuhi sifat tercela.”
Maka, mempelajari adab bukan sekadar pelengkap keilmuan. Ia adalah fondasi. Seorang pencari ilmu yang tidak beradab akan mudah tergelincir. Sebaliknya, mereka yang menjadikan adab sebagai dasar akan tumbuh utuh—baik secara intelektual maupun spiritual.
Menyaring Persahabatan, Menyaring Diri

Adab bukan alat untuk menilai orang lain. Ia adalah sarana untuk mengevaluasi diri. Sahabat sejati tidak hanya menghibur, tetapi juga menegur. Ia tidak hanya menemani tawa, tapi juga mendoakan dalam diam.
Di zaman yang penuh kebisingan, adab menjadi jalan tenang menuju kejernihan. Memilih sahabat dengan adab bukanlah tindakan kaku, tetapi bentuk kasih sayang pada diri sendiri. Karena hidup terlalu singkat untuk diisi dengan hubungan palsu, dan terlalu berharga untuk dibiarkan tanpa penjagaan hati


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement