Beranda » Berita » Belajar dari Luka: Membangun Empati dari Hati yang Pernah Terluka

Belajar dari Luka: Membangun Empati dari Hati yang Pernah Terluka

Belajar dari Luka: Membangun Empati dari Hati yang Pernah Terluka.

 

“Jika hatimu banyak merasakan sakit, maka belajarlah dari sakit itu, untuk tidak memberikan rasa sakit kepada orang lain.” — Sayyidina Ali bin Abi Thalib

Kata-kata bijak ini menggambarkan kedalaman akhlak dan kearifan seorang pemimpin besar Islam, Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ungkapan ini bukan sekadar pesan moral, melainkan prinsip hidup yang mampu mengubah dunia: belajar dari luka, agar tidak melukai.

Setiap manusia, cepat atau lambat, pasti pernah merasakan sakit hati. Sakit karena dikhianati, diremehkan, disakiti oleh ucapan, dikhianati kepercayaannya, atau ditinggalkan tanpa alasan. Luka-luka itu, meskipun tak terlihat, bisa mengendap dalam jiwa dan membentuk karakter. Dan di titik inilah pilihan kita diuji: apakah kita akan mewariskan luka, atau justru menjadikannya pelajaran yang menyembuhkan?

Peduli Sumatera: Saat Saudara Kita Menjerit, Hati Kita Harus Bangkit

1. Luka sebagai Guru Kehidupan

Sakit hati, jika dipahami dengan bijak, adalah guru terbaik. Ia mengajarkan banyak hal yang tidak kita pelajari dari buku atau nasihat orang. Saat hati hancur, kita belajar tentang pentingnya kesabaran. Ketika dikhianati, kita memahami betapa berharganya kepercayaan. Ketika ditinggalkan, kita sadar bahwa tidak semua orang akan tinggal selamanya. Dan dari situ, kita bisa belajar bagaimana seharusnya kita bersikap kepada orang lain.

Sayangnya, banyak orang justru membalas luka dengan luka. Mereka yang dulu disakiti, tanpa sadar atau sengaja, menjadi orang yang menyakiti. Mereka yang dulu ditolak, menjadi penolak. Mereka yang dulu dihina, kini menjadi penghina. Inilah siklus luka yang diwariskan dari generasi ke generasi, jika tidak diputus dengan kesadaran dan empati.

2. Empati: Buah dari Luka yang Diolah

Empati bukan lahir dari hidup yang nyaman, tapi dari mereka yang pernah merasa tak nyaman. Seseorang yang pernah menangis karena diabaikan akan lebih peka untuk tidak mengabaikan. Mereka yang pernah dibohongi, jika hatinya bersih, akan berusaha jujur dalam setiap kata. Mereka tahu rasanya sakit, dan karena itu, tidak ingin orang lain merasakannya.

Hati yang Gelisah, Jiwa yang Kehilangan Arah

Sayyidina Ali menasihatkan kita untuk menjadi manusia yang memetik hikmah dari penderitaan. Jangan menjadi seperti orang yang menyakiti kita. Justru jadilah lawan dari luka yang pernah kita alami. Jika dulu kita pernah diremehkan, mari jadi orang yang mengangkat orang lain. Jika pernah dicaci, jadilah orang yang menenangkan.

3. Memaafkan Bukan Berarti Melupakan, Tapi Melepaskan

Kadang, luka tidak hanya terasa sekali, tapi bertahan lama. Namun, menyimpan luka dalam hati tidak akan menyembuhkan. Justru ia bisa menjadi racun yang merusak diri sendiri dan orang lain.

Belajar dari sakit hati adalah dengan memaafkan. Memaafkan bukan berarti membenarkan perbuatan mereka, tetapi membebaskan diri kita dari belenggu dendam. Saat kita melepaskan sakit itu, kita memberi ruang bagi hati untuk tumbuh dan menjadi tempat berteduh bagi sesama.

4. Dunia Sudah Terlalu Banyak Luka, Jangan Tambah Lagi

Pemuda, Belajarlah!

Kita hidup di dunia yang penuh dengan kesedihan, ketidakadilan, dan kekerasan emosional. Setiap orang sedang membawa beban yang tidak terlihat. Ada yang terlihat tertawa, tapi menyimpan air mata. Ada yang terlihat tegar, tapi sedang berjuang mengobati luka batin.

Di tengah dunia yang rapuh ini, jadilah sosok yang menenangkan, bukan menyakiti. Ucapan kita bisa menjadi pelipur lara, atau justru duri yang menusuk. Pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan menjadi penyembuh atau penambah luka?

5. Kebaikan Adalah Rantai yang Bisa Menyelamatkan Dunia

Bayangkan jika semua orang mempraktikkan prinsip ini: “Aku tahu sakitnya ditinggalkan, jadi aku akan setia. Aku tahu rasanya dihina, jadi aku akan memuliakan. Aku tahu pedihnya diremehkan, jadi aku akan menghargai.”

Maka dunia akan berubah. Rantai luka akan terputus, dan rantai kebaikan akan bersambung. Kebaikan yang kita berikan kepada orang lain, pada akhirnya akan kembali kepada kita. Bahkan jika tidak di dunia, insya Allah akan menunggu di akhirat dalam bentuk pahala dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah.

6. Menjadi Hamba yang Lembut dalam Ketegasan

Sayyidina Ali bukan hanya dikenal karena kecerdasannya, tapi juga kelembutannya. Meski ia seorang pejuang, ia adalah pribadi yang pemaaf dan penuh kasih. Inilah cermin bagi kita: lembut bukan berarti lemah, dan sabar bukan berarti kalah.

Ketika kita memilih untuk tidak membalas sakit dengan sakit, bukan karena kita tidak mampu. Tapi karena kita tahu: membalas kejahatan dengan kebaikan adalah tanda kekuatan spiritual yang sejati.

Penutup: Pilihan Ada di Tanganmu

Setiap kita punya pilihan: apakah ingin menjadi bagian dari luka orang lain, atau menjadi bagian dari penyembuhannya?

Jika hatimu pernah disakiti, ingatlah pesan Sayyidina Ali: “Belajarlah dari sakit itu, untuk tidak memberikan rasa sakit kepada orang lain.”

Dari luka, lahirlah empati. Dari empati, lahirlah akhlak mulia. Dan dari akhlak itulah, dunia bisa berubah—pelan-pelan, tapi pasti. (Tengku Iskandar)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement