Beranda » Berita » “Sok Alim” dan Luka Tak Terlihat: Menguatkan Hati dalam Menyeru Kebaikan

“Sok Alim” dan Luka Tak Terlihat: Menguatkan Hati dalam Menyeru Kebaikan

“Sok Alim” dan Luka Tak Terlihat: Menguatkan Hati dalam Menyeru Kebaikan.

 

Dalam hidup ini, kita tidak bisa menghindar dari tanggung jawab saling menasihati dalam kebaikan. Menyampaikan nasihat yang baik, menyadarkan teman dari kesalahan, atau mengingatkan tentang ketaatan kepada Allah, merupakan salah satu bentuk cinta sejati terhadap sesama. Namun, perjalanan menuju kebaikan sering kali bukan jalan mulus yang penuh bunga. Ia bisa jadi jalan berduri, sunyi, bahkan menyakitkan.

Salah satu realita pahit yang dihadapi oleh orang-orang yang mencoba menyeru kepada kebaikan adalah penolakan. Tidak sedikit yang merespons dengan sinis, bahkan ada yang menjauhkan diri. Label seperti “sok alim”, “ustaz dadakan”, atau “munafik” bisa dengan mudah dilontarkan. Dan ketika hal itu datang dari orang-orang terdekat—teman, sahabat, bahkan keluarga—rasa sakitnya pun bisa menggores dalam.

1. Menasihati Bukan Berarti Menghakimi

Peduli Sumatera: Saat Saudara Kita Menjerit, Hati Kita Harus Bangkit

Perlu disadari bahwa niat untuk menasihati bukanlah bentuk arogansi spiritual. Menyampaikan kebaikan bukan berarti kita merasa lebih suci atau lebih tinggi. Justru, itu adalah bentuk kepedulian yang lahir dari hati yang tidak rela melihat orang yang kita sayangi terus berjalan ke arah yang salah.

Namun, tidak semua orang bisa menerimanya dengan lapang dada. Dalam Al-Qur’an, Allah telah menyampaikan bahwa hati manusia itu bisa terkunci:

> “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi…”
(QS. Al-Baqarah: 74)

Hati yang telah keras, apalagi jika tertutup oleh kesombongan, akan sulit menerima kebenaran, meskipun disampaikan dengan kelembutan.

2. Risiko Dibenci: Harga dari Ketulusan

Hati yang Gelisah, Jiwa yang Kehilangan Arah

Seseorang yang memberanikan diri untuk menasihati temannya harus siap menanggung risiko. Ia bisa jadi kehilangan hubungan, dijauhi dari pergaulan, bahkan difitnah. Ini adalah ujian dari keikhlasan.

Namun ingatlah bahwa para nabi pun mengalami hal yang jauh lebih berat. Nabi Nuh ‘alaihis salam berdakwah selama 950 tahun, namun hanya sedikit yang menerima dakwahnya. Nabi Muhammad ﷺ, meski beliau manusia paling mulia, tetap dituduh pendusta, penyihir, bahkan gila.

Maka, jika kita hanya dicibir “sok alim”, itu adalah konsekuensi ringan dibandingkan pengorbanan para utusan Allah. Hadapi semua dengan sabar dan jadikan hinaan itu sebagai bahan bakar untuk terus melangkah.

3. Ketika Dituduh “Sok Alim”

Kalimat “sok alim” adalah bentuk sindiran yang menyesakkan. Seolah-olah berbuat baik dianggap sebagai kesalahan. Padahal, tidak ada yang salah dari mengajak kepada kebaikan. Justru yang salah adalah ketika kita membiarkan kemungkaran merajalela tanpa upaya memperbaikinya.

Hikmah Dibalik Musibah: Bekal hati Untuk Tetap Tegar dan Dekat dengan Allah

Sikap terbaik saat mendengar hinaan seperti itu adalah memaafkan. Seperti yang disebutkan dalam gambar:

> “Jika ada yang meledek ‘sok alim’, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah memaafkan mereka. Bisa jadi ucapan tersebut mereka lontarkan karena ketidaktahuan mereka.”

Kata-kata itu mungkin muncul karena mereka merasa terusik. Kadang, nasihat tidak hanya menyentuh telinga, tapi juga menusuk ego. Dan ego yang terluka bisa bereaksi defensif, bahkan menyerang balik. Maka, maafkan. Bisa jadi mereka belum mengerti, atau memang sedang dalam masa kelam dalam hidupnya.

4. Jangan Berhenti Menjadi Lilin

Dalam dunia yang gelap, cahaya sekecil apapun tetap berarti. Jangan berhenti menjadi penerang hanya karena tidak semua orang menyukai cahayamu. Tetaplah menjadi “lilin” yang menerangi, meski harus membakar diri sendiri.

Orang yang menasihati orang lain sesungguhnya sedang menasihati dirinya sendiri. Ia menjaga agar dirinya tidak hanyut dalam arus keburukan. Ia tidak hanya peduli terhadap akhlaknya, tapi juga terhadap lingkungan di sekitarnya.

5. Luruskan Niat, Perhalus Ucapan

Nasihat yang disampaikan dengan niat baik dan cara yang lembut akan lebih mudah diterima. Jangan menyampaikan kebaikan dengan nada tinggi, menyindir, atau merasa paling benar. Rasulullah ﷺ adalah contoh terbaik dalam hal ini. Bahkan kepada orang kafir dan munafik sekalipun, beliau menyampaikan kebenaran dengan kasih sayang dan tutur kata yang indah.

Gunakan pendekatan personal. Sampaikan secara privat, jangan di depan umum. Gunakan kata-kata yang tidak menyudutkan. Ingatlah bahwa tugas kita hanya menyampaikan, bukan mengubah hati mereka. Hanya Allah yang mampu membolak-balikkan hati manusia.

6. Bersabarlah, Allah Menilai Semua

Setiap luka, air mata, dan kekecewaan yang kita rasakan karena mengajak kepada kebaikan tidak akan pernah sia-sia. Allah mencatat semuanya. Bahkan ketika tidak ada satu pun yang menerima nasihat kita, perjuangan itu tetap bernilai di sisi-Nya.

> “Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(QS. Hud: 115)

Maka, jangan lelah untuk terus menjadi pengingat. Teruslah menebar nilai, meski dunia mencibir. Kelak, mungkin bukan sekarang, orang-orang yang kita nasihati akan mengenang nasihat itu dan berubah karenanya.

Penutup: Menjadi Cermin, Bukan Palu

Dalam menasihati, jadilah cermin, bukan palu. Cermin menunjukkan kekurangan dengan lembut, tanpa menyakiti. Palu menghancurkan, bahkan ketika tujuannya baik. Pilih untuk menjadi cermin yang membuat orang lain ingin memperbaiki diri karena merasa dihargai, bukan dijatuhkan.

Maka, jika engkau merasa sendiri karena menyeru pada kebaikan, ketahuilah, engkau tidak benar-benar sendiri. Allah bersamamu. Para malaikat mendoakanmu. Dan kelak, di akhirat, engkau akan bersyukur karena tidak menyerah hanya karena dicemooh sebagai “sok alim”. (Tengku)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement