SURAU.CO – Pemerintah mengambil langkah tegas. Presiden Prabowo Subianto mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan nikel. Lokasi tambang ini berada di kawasan Raja Ampat, Papua Barat. Keputusan ini menjadi jawaban atas berbagai polemik yang muncul. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengumumkan keputusan penting tersebut. Pengumuman dilakukan dalam sebuah konferensi pers pada hari Selasa (10/6).
Prasetyo Hadi menjelaskan proses pengambilan keputusan tersebut. Presiden Prabowo memimpin langsung rapat terbatas (ratas) yang membahas isu IUP ini. Dalam rapat itu, semua pertimbangan dibahas secara mendalam. Hasilnya, pemerintah setuju untuk menghentikan aktivitas tambang dari empat korporasi.
“Kemarin bapak Presiden memimpin ratas bahas IUP di Raja Ampat ini dan atas persetujuan presiden memutuskan bahwa pemerintah akan mencabut IUP untuk 4 perusahaan di Kabupaten Raja Ampat,” ujar Prasetyo Hadi.[1]
Langkah tegas ini merupakan puncak dari berbagai tekanan. Tekanan datang dari pemerintah daerah, aktivis lingkungan, hingga masyarakat. Semuanya menyuarakan kekhawatiran yang sama. Aktivitas pertambangan dianggap mengancam ekosistem unik Raja Ampat. Wilayah ini dikenal sebagai surga keanekaragaman hayati laut dunia. Oleh karena itu, perlindungannya menjadi prioritas utama. Pencabutan izin ini menunjukkan komitmen pemerintah. Pemerintah serius dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Daftar Perusahaan dan Latar Belakang Izin
Kementerian ESDM sebelumnya telah merilis data terkait izin tambang di sana. Terdapat lima perusahaan yang memegang izin untuk menambang di sekitar Raja Ampat. Dua perusahaan mendapatkan izin dari pemerintah pusat. Keduanya adalah PT Gag Nikel yang izinnya berlaku sejak 2017. Satu lagi adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dengan izin sejak 2013.
Tiga perusahaan lainnya menerima izin dari pemerintah daerah. Bupati Raja Ampat menerbitkan izin tersebut. Perusahaan-perusahaan itu adalah PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) pada tahun 2013. Lalu ada PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) pada tahun 2013. Terakhir, PT Nurham yang izinnya terbit pada tahun 2025. Kini, empat dari lima perusahaan itu harus menghentikan operasinya.
Polemik pertambangan nikel di Raja Ampat memang telah lama bergulir. Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, menjadi salah satu pihak yang paling vokal. Ia sering mengeluhkan dampak buruk aktivitas tambang. Menurutnya, penambangan telah menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius. Padahal, status Raja Ampat sangat jelas.
“Sembilan puluh tujuh persen Raja Ampat adalah daerah konservasi sehingga ketika terjadi persoalan pencemaran lingkungan oleh aktivitas tambang, kami tidak bisa berbuat apa-apa karena kewenangan kami terbatas,” kata Orideko.[1] Keluhannya menyoroti dilema kewenangan antara pusat dan daerah.
Temuan Pelanggaran dan Tekanan Publik
Sebelum keputusan pencabutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertindak. KLHK melakukan pengawasan ketat pada 26 hingga 31 Mei 2025. Hasilnya mengejutkan. Tim menemukan adanya pelanggaran serius. Pelanggaran dilakukan oleh empat perusahaan tambang yang diawasi. Mereka adalah PT Gag Nikel (GN), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP). Temuan ini menjadi dasar kuat bagi pemerintah untuk bertindak.
Tekanan publik juga memainkan peran krusial. Sejumlah aktivis dari Greenpeace Indonesia bersama pemuda Papua melakukan protes. Mereka menyuarakan penolakan saat acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025. Mereka membentangkan spanduk di tengah pidato Wakil Menteri Luar Negeri. Spanduk itu bertuliskan pesan-pesan kuat seperti, “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”.[1] Aksi ini berhasil menarik perhatian luas.
Ironisnya, beberapa hari sebelum protes, Kementerian ESDM memberikan pernyataan berbeda. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Tri Winarno, mengunjungi lokasi. Ia menyatakan tidak ada masalah berarti di area tambang.
“Kita lihat juga dari atas tadi bahwa sedimentasi di area pesisir juga tidak ada. Jadi overall ini sebetulnya tambang ini gak ada masalah,” ucap Tri dalam keterangan resmi pada Sabtu (7/6).[1] Pernyataan ini kontras dengan temuan KLHK dan keluhan bupati. Kontradiksi ini semakin memanaskan situasi. Akhirnya, keputusan Presiden Prabowo mengakhiri semua perdebatan tersebut. Pencabutan izin menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam melindungi aset lingkungan bangsa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
