Ekonomi Nasional Opinion
Beranda » Berita » Mimpi Thorium dan Dilema Eksekusi

Mimpi Thorium dan Dilema Eksekusi

Coba, bayangkan sebentar: Anda seorang insinyur energi yang baru saja mempresentasikan roadmap transisi energi Indonesia 2045 di hadapan para menteri. Di layar proyektor terpampang angka-angka yang memukau—potensi geothermal 24 GW, solar PV lebih dari 550 GW, hydropower hingga 100 GW. Lalu ada juga si pendatang baru, Thorium Molten Salt Reactor (TSMR), yang diklaim bisa menjadi “game changer” dengan 20 reaktor berkapasitas 500 MW. Totalnya? Cukup untuk menerangi seluruh nusantara berkali-kali lipat.

Namun ketika presentasi selesai, seorang menteri bertanya dengan wajah skeptis: “Ini semua terdengar fantastis di atas kertas, tapi mengapa kita masih bergantung pada batubara kotor untuk 60% listrik nasional?” Anda terdiam sejenak, menyadari bahwa di balik semua angka glamor itu tersembunyi paradoks paling menyakitkan dalam sejarah energi Indonesia: kaya potensi, miskin realisasi.

*Dongeng Kekayaan yang Tak Pernah Cair

Indonesia, sebagai negara yang sering disebut “laboratorium energi terbarukan alami”, memiliki segalanya. Seperti tokoh Si Kabayan dalam cerita Sunda yang bermimpi menemukan harta karun, kita pun bermimpi dengan angka-angka potensi yang menggiurkan. Geothermal? Kita nomor dua dunia. Solar? Matahari tropis bersinar 12 jam sehari sepanjang tahun. Hydro? Ribuan sungai mengalir dari Sabang sampai Merauke. Thorium? Deposit thorium kita cukup untuk memberi listrik seluruh Asia Tenggara.

Tapi seperti mimpi Si Kabayan yang selalu berakhir dengan terbangun di atas tikar pandan, realitas energi kita pun selalu berakhir dengan kenyataan pahit: dari 24 GW potensi geothermal, baru 2.100 MW yang terealisasi. Dari 550 GW potensi solar, kurang dari 1 GW yang beroperasi. Hydropower dengan potensi 100 GW? Baru 6+ GW yang jalan. Sementara TSMR yang diklaim revolusioner? Masih berupa prototipe yang akan rampung 2028—jika beruntung.

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Pepatah Jawa bilang, “Aja adigang, adigung, adiguna” —jangan sombong dengan kekuatan, kebesaran, dan kemampuan. Tapi kita justru terjebak dalam sindrom sebaliknya: “aja adigang potensi, adigung data, adiguna proyeksi.” Kita sombong dengan potensi, tapi lupa bahwa potensi tanpa eksekusi hanyalah angka-angka cantik di atas kertas.

*Thorium: Penyelamat atau Penyesatan?

Masuknya TSMR dalam narasi energi Indonesia menambah kompleksitas dilema ini. Secara teori, teknologi ini tampak seperti jawaban dari segala doa: base-load yang stabil, emisi karbon nyaris nol, limbah radioaktif lebih sedikit dari uranium konvensional, dan bisa diproduksi massal dengan biaya lebih murah dari batubara. Dengan 20 reaktor berkapasitas 500 MW, TSMR bisa menyumbang 78,8 TWh per tahun—sekitar 14% dari target energi terbarukan 2045.

Tapi tunggu dulu. Ini bukan film science fiction di mana teknologi futuristik langsung jadi kenyataan dengan sekali klik. Realitas TSMR jauh lebih rumit dari proyeksi optimistis di atas kertas. Investasi awal yang mencapai puluhan miliar dollar per reaktor, regulasi nuklir yang masih abu-abu, SDM spesialis yang bisa dihitung dengan jari, supply chain thorium yang belum ada, dan yang paling krusial: penerimaan publik yang masih trauma dengan bayangan Chernobyl dan Fukushima.

Jadi ketika kita bicara kontribusi 14% dari TSMR terhadap target energi terbarukan 2045, kita seperti menghitung telur sebelum ayam bertelur—bahkan ayamnya pun belum ada. Ini bukan pesimisme berlebihan, tapi realisme yang diperlukan untuk tidak terjebak dalam euforia teknologi tanpa dasar.

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

*Paradoks Energi yang Menyakitkan

Yang paling ironis dalam konteks energi Indonesia adalah bagaimana kita selalu jatuh cinta pada solusi yang paling rumit sambil mengabaikan yang paling sederhana. Geothermal terhambat karena risiko eksplorasi dan biaya tinggi—padahal kita punya 130 gunung berapi aktif yang siap “dikerjai.” Hydropower mandek karena isu lingkungan dan sosial—padahal nenek moyang kita sudah membangun sistem irigasi subak berabad-abad lalu. Solar PV stagnan karena intermitensi dan grid yang belum siap—padahal kita negara khatulistiwa yang mendapat “subsidi” matahari gratis setiap hari.

Sekarang kita menambah satu lagi: TSMR yang diklaim sebagai teknologi masa depan, sementara teknologi masa kini pun belum kita kuasai dengan baik. Ini seperti orang yang belum bisa mengendarai sepeda motor tapi sudah bermimpi terbang dengan jetpack.

Sementara itu, negara-negara tetangga yang tidak memiliki potensi sumber daya semelimpah kita justru lebih cepat bertransisi. Singapura dengan luas wilayah sebesar Jakarta membangun floating solar farm raksasa. Vietnam dengan potensi geothermal jauh lebih kecil dari kita justru lebih agresif mengembangkan pembangkit panas bumi. Malaysia dengan deposit thorium yang lebih sedikit malah lebih serius mengeksplorasi teknologi nuklir.

Kenapa? Karena mereka paham satu hal yang kita sering lupakan: dalam transisi energi, yang penting bukan seberapa besar potensi yang dimiliki, tapi seberapa cepat dan efektif eksekusi yang dilakukan. Mereka lebih memilih “burung di tangan” daripada “gajah di pelupuk mata.”

Points Rektor UGM dan Kisah Politik Ijazah Jokowi

*Dari Proyeksi Cantik ke Realitas Pahit

Target Net Zero Emission (NZE) 2060 yang ditetapkan pemerintah membutuhkan keajaiban—atau setidaknya revolusi dalam tata kelola energi nasional. Untuk mencapai 557 TWh energi terbarukan di 2045, kita perlu membangun kapasitas setara dengan 100 pembangkit Jawa-Bali setiap tahun selama 20 tahun ke depan. Ini bukan sekedar ambisi, tapi misi impossible yang membutuhkan sinergi sempurna antara kebijakan, investasi, teknologi, dan eksekusi.

Kontribusi TSMR sebesar 14% dari target tersebut—jika benar-benar terealisasi—memang signifikan. Tapi jangan lupa bahwa 86% sisanya harus dipenuhi oleh geothermal, hydro, solar, dan energi terbarukan lainnya yang selama ini perkembangannya stagnan. Ini seperti mengandalkan pemain cadangan untuk mencetak gol kemenangan sementara pemain utama masih duduk di bangku cadangan.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah bagaimana kita selalu terjebak dalam siklus yang sama: announcement besar-besaran, roadmap detail, target ambisius, lalu eksekusi yang tersendat-sendat. Pola ini sudah berulang dari era Sukarno dengan jargon “berdikari energi,” era Soeharto dengan program “diversifikasi energi,” era Reformasi dengan “energi untuk rakyat,” hingga sekarang dengan “transisi energi berkelanjutan.”

Mungkin sudah saatnya kita belajar dari pepatah Minang: “Alah bisa karena biasa.” Daripada terus bermimpi dengan teknologi futuristik yang belum tentu bisa diwujudkan, lebih baik fokus membiasakan diri dengan teknologi yang sudah terbukti dan siap diimplementasikan.

*Penyakit Kronis: Miskin Eksekusi karena Miskin Project Management

Sebelum berbicara tentang solusi teknis, ada satu ironi besar yang perlu kita bahas—ironi yang mungkin merupakan akar dari semua masalah transisi energi Indonesia. Di tengah riuhnya diskusi tentang teknologi TSMR, geothermal, atau solar PV, kita melupakan satu hal mendasar: Indonesia secara sistematis tidak pernah serius dalam menyiapkan SDM yang mahir mengelola proyek kompleks.

Coba tengok kurikulum pendidikan tinggi kita. Fakultas Teknik sibuk mengajarkan mahasiswa cara mendesain reaktor nuklir, tapi tidak pernah mengajarkan bagaimana mengelola proyek pembangunan reaktor dari A sampai Z. Fakultas Ekonomi asyik membahas teori investasi infrastruktur, tapi abai pada mata kuliah Project Management yang seharusnya menjadi tulang punggung eksekusi. Bahkan program MBA di universitas ternama sekalipun sering memperlakukan Project Management sebagai mata kuliah sampingan, bukan sebagai core competency yang menentukan hidup-mati sebuah inisiatif strategis.

Akibatnya? Kita punya insinyur yang bisa menghitung berapa banyak thorium yang dibutuhkan untuk menghasilkan 500 MW listrik, tapi bingung ketika harus menyusun Work Breakdown Structure untuk membangun reaktor tersebut. Kita punya ekonom yang hafal di luar kepala tentang Net Present Value dari investasi energi terbarukan, tapi tak paham bagaimana mengelola stakeholder management agar proyek tidak mandek karena konflik kepentingan.

Inilah paradoks paling menyakitkan: negara yang kaya sumber daya dan ide brilian, tapi miskin kemampuan eksekusi karena tidak pernah serius mempelajari seni mengelola proyek kompleks. Kita seperti koki yang tahu resep masakan lezat, tapi tidak tahu urutan memasak yang benar—hasilnya bisa ditebak: gosong di luar, mentah di dalam.

*Sindrom “Ahli Konsep, Buta Eksekusi”

Fenomena ini tidak hanya terjadi di sektor energi. Lihat saja track record proyek-proyek besar Indonesia: dari Hambalang yang mangkrak, LRT Jakarta yang molor bertahun-tahun, hingga ibu kota baru Nusantara yang timeline-nya berubah-ubah seperti cuaca Jakarta. Polanya selalu sama: grand launching dengan fanfare besar, lalu eksekusi yang terseok-seok karena project management yang amburadul.

Mengapa ini terjadi? Karena sistem pendidikan kita lebih fokus mencetak “ahli konsep” daripada “ahli eksekusi.” Mahasiswa diajarkan untuk membuat proposal penelitian yang sempurna secara teoritis, tapi tidak dibekali kemampuan untuk mengeksekusi penelitian tersebut dengan timeline, budget, dan resource yang terbatas. Mereka pandai membuat PowerPoint presentation yang memukau, tapi gagap ketika harus membuat Gantt Chart yang realistis.

Bandingkan dengan negara-negara yang berhasil dalam transisi energi seperti Denmark atau Jerman. Mereka tidak memiliki potensi energi terbarukan yang lebih besar dari Indonesia, tapi mereka unggul dalam satu hal: kemampuan mengelola proyek kompleks dengan disiplin tinggi. Setiap proyek wind farm atau solar park mereka dieksekusi dengan project management yang ketat—mulai dari feasibility study, stakeholder engagement, risk management, hingga commissioning dan operation.

*Jalan Keluar dari Labirin Eksekusi

Jika kita serius dengan target NZE 2060 dan kontribusi TSMR sebesar 14%, maka revolusi pertama yang harus dilakukan bukan di bidang teknologi, tapi di bidang project management education. Setiap fakultas teknik harus mewajibkan mata kuliah Project Management sebagai prerequisite untuk lulus. Setiap program pascasarjana di bidang energi harus mengintegrasikan case study tentang project management dalam konteks energi Indonesia.

Lebih dari itu, pemerintah perlu menciptakan certification program untuk Project Manager di sektor energi, dengan standar internasional tapi disesuaikan dengan konteks Indonesia. Jangan sampai kita punya project manager yang mahir mengelola proyek pembangunan gedung perkantoran, tapi bingung ketika harus mengelola proyek pembangunan geothermal plant di tengah hutan Sumatera.

Untuk TSMR khususnya, alih-alih langsung menargetkan 20 reaktor, mulailah dengan 1-2 reaktor pilot yang benar-benar fokus pada learning by doing dalam aspek project management. Gunakan proyek pilot ini sebagai “sekolah lapangan” untuk mencetak project manager kelas dunia yang paham seluk-beluk mengelola proyek nuklir di Indonesia—mulai dari dealing dengan regulasi yang kompleks, mengelola supply chain thorium, hingga melakukan community engagement dengan masyarakat yang masih trauma dengan kata “nuklir.”

Yang paling penting: hentikan kebiasaan buruk membuat proyeksi cantik tanpa roadmap eksekusi yang realistis. Setiap target harus disertai dengan project charter yang jelas, Work Breakdown Structure yang detail, risk register yang komprehensif, dan communication plan yang efektif. Jangan lagi membuat target 2045 tanpa breakdown milestone tahunan yang terukur dan accountable.

*Thorium dan Cermin Diri Bangsa

Di ujung refleksi ini, TSMR sebenarnya hanyalah cermin dari karakter bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan: kaya ide, miskin eksekusi; kuat wacana, lemah implementasi; hebat di teori, payah di praktek. Thorium menjadi metafora dari semua potensi luar biasa yang dimiliki bangsa ini—mulai dari kekayaan alam, keragaman budaya, hingga bonus demografi—yang sering kali berakhir hanya sebagai bahan perbincangan di ruang-ruang seminar.

Pertanyaan yang paling mendasar bukan apakah TSMR bisa berkontribusi 14% terhadap target energi terbarukan 2045, tapi apakah kita sebagai bangsa sudah siap mengubah paradigma dari “negara kaya potensi” menjadi “negara kaya prestasi.”

Sebagaimana pepatah Bugis mengatakan, “Resopa temmangingngi, malomo naletei pammase dewata”—hanya dengan kerja keras, kita akan mendapat ridho Tuhan. Thorium, seperti semua kekayaan alam lainnya, hanyalah alat. Yang menentukan apakah alat itu akan menjadi berkah atau kutukan adalah kualitas tangan yang menggenggamnya.

Jadi, ketika kita membicarakan TSMR dan transisi energi 2045, sebenarnya kita sedang membicarakan masa depan Indonesia: apakah kita akan terus menjadi bangsa yang kaya sumber daya namun miskin pencapaian, ataukah kita akan berevolusi menjadi bangsa yang tidak hanya berbicara tentang potensi, tapi juga mampu mewujudkannya menjadi kemajuan nyata?

Thorium menunggu jawaban kita. Indonesia menunggu pilihan kita. Sejarah akan mencatat keputusan kita. (Gilarsi W.S)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement