SURAU.CO – Di sebuah warung kopi pinggir jalan di bilangan Bandung, saya bertemu tiga pria berjaket almamater biru. Warnanya agak pudar, tapi logonya masih tampak gagah : ITB. Mereka duduk melingkar sambil tertawa lebar. Di meja: kopi hitam, pisang goreng, dan… tumpukan kertas.
Saya ikut nimbrung. Obrolan mereka serius, tapi juga lucu.
“Masa kita disuruh bikin laporan pakai ChatGPT? Gila kali ya,” kata yang berkumis tebal. “Saya mah masih percaya pada Excel dan spreadsheet!”
Yang satu lagi, pakai kacamata besar, mengangguk mantap. “AI itu cuma alat. Otak kita kan masih jalan!”
Saya tertawa kecil. Bukan karena mereka salah. Tapi karena mereka terjebak nostalgia masa kejayaan.
Kisah ini sering saya dengar. Bahkan makin sering.
Alumni-alumni perguruan tinggi teknik yang dulunya memecahkan integral di kertas buram, sekarang kelabakan pakai prompt. Dulu jago CAD, sekarang bingung disuruh eksplor MidJourney. Dulu tiap pagi buka AutoCAD, sekarang bahkan belum tahu apa itu GitHub Copilot.
Padahal mereka ini elite.
Di kampus, merekalah raja — raja LKM (Lomba Karya Mahasiswa), raja OS (ospek), raja lomba robot. Tapi saat AI datang sebagai revolusi senyap, mereka seperti tentara veteran yang masuk ke medan perang digital… tanpa senjata.
Saya jadi ingat kisah Pak Surya.
(sekedar nama rekaan)
Lulusan teknik mesin tahun 90-an. Gelarnya lengkap: Ir. MT. Dulu dia bangun pabrik tekstil. Sekarang jadi konsultan pabrik yang nyaris tak paham digitalisasi. Ia baru sadar bahwa “transformasi digital” bukan sekadar beli ERP mahal. Tapi soal bagaimana mesin-mesin dan manusia belajar dari data—tanpa menunggu lembur lembaga pelatihan.
Ia baru tahu bahwa sekarang anak magang dari SMK bisa bikin sistem prediksi maintenance dengan Python dan sensor murah. Sementara ia … masih andalkan sopir gudang dengan clipboard.
Saya tidak menyalahkan mereka.
Sistem pendidikan kita terlalu sibuk mengajar cara menyolder, tapi lupa bahwa dunia sekarang butuh yang bisa mengintegrasikan sensor ke AI model. Terlalu bangga dengan laboratorium PLC, tapi alergi dengan istilah “MLOps” atau “LLM”.
Ini bukan cuma soal gagap teknologi. Tapi gagap cara berpikir.
Gagap karena terlalu lama bangga pada masa lalu. Karena merasa gelar teknik dari kampus ternama adalah tiket seumur hidup untuk relevansi.
Padahal … AI tidak peduli gelar.
Ia hanya peduli data dan cara berpikir. Anak SMA di pelosok bisa kalahkan insinyur tua asal mau belajar cepat. AI memberi keadilan yang… menyakitkan bagi yang lambat.
Lalu, apa solusinya?
Bukan seminar. Bukan diklat setengah hati. Tapi keberanian para alumni itu untuk kembali jadi mahasiswa. Belajar dari nol*. Mencoba prompt yang jelek. Salah paham dulu, paham belakangan.
Dan—ini yang paling sulit— membuang gengsi.
Karena di era ini, yang mengaku “sudah tahu segalanya” adalah yang paling rentan digantikan. Tapi yang berkata “saya ingin belajar” adalah yang akan bertahan.
Saya akhiri obrolan di warung itu dengan satu kalimat :
“Di era AI, Anda bukan lulusan ITB. Anda hanya lulusan masa lalu, kalau tidak mau belajar ulang.”
Mereka terdiam. Lalu tertawa.
Untungnya, masih bisa tertawa. Artinya, masih ada harapan. Gununganyar, Surabaya (oky Arema)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
