Surau.co – Malam telah larut, angin berembus deras. Hamparan gurun pasir yang siang harinya bagaikan lautan bara api, menyeruak lahar panas berubah bak hamparan salju yang membeku. Dingin menusuk tulang. Di bawah cahaya rembulan yang kian meredup, dua bayangan manusia berjalan menuju sebuah rumah batu yang berdiri di bawah rongga bukit bebatuan cadas. Dua orang yang selalu berdua di kala susah dan senang. Dua orang termulia yang pernah diabadikan di dalam Al-Qur’an.
Pria pertama yang lebih tua bernama Abu Quhafah. Ia lebih dikenal dengan sebutan Abu Bakar ash Shiddiq. Nama Shiddiq ia peroleh saat membenarkan peristiwa Isra Mi’raj di saat semua orang musyrikin Makkah mengingkarinya. Sedangkan seorang lagi, tentulah manusia teragung di muka bumi ini. Ia adalah Rasulullah SAW, yang namanya dikenal oleh semua penduduk langit dan bumi. Makhluk yang paling dikasihi Sang Maha Pencipta.
Dua orang mulia itu, berjalan di bawah bayang-bayang cahaya rembulan menuju sebuah rumah seorang anak remaja yang cintanya sungguh sangat bergelora terhadap Rasulullah SAW.
Meski usianya sangat muda, namun soal cinta ia mengalahkan dahsyatnya cinta para sahabat lainnya. Namanya pun selalu mendapatkan tempat khusus di hati Rasulullah SAW. Orang mengenalnya dengan nama Tsauban. Sudah beberapa hari belakangan, Tsauban tak menampakkan kehadirannya di hadapan Rasulullah SAW. Hingga, Rasulullah SAW pun mencarinya.
“Di mana Tsauban?” Mengapa dia tak nampak?” tanya Rasulullah SAW kepada para sahabat.
Ternyata, tak ada seorang sahabat pun yang tahu keberadaan anak remaja yang begitu bersemangat mengikuti pengajaran tentang keimanan dan keislaman yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW .
Setelah mencari informasi tentang keberadaan Tsauban, diketahuilah bahwa anak muda itu sedang sakit demam yang sangat keras. Oleh karena itulah, di malam itu Rasulullah SAW dan sahabatnya, Abu Bakar ash Shidiq berniat menjenguk Tsauban di rumahnya.
Di sebuah rumah batu yang tidak terlalu besar dan sederhana itu, diterangi lampu minyak redup, seorang anak remaja bertubuh kurus ceking terbujur di atas kasur yang terbuat dari anyaman daun pelepah kurma.
Sesekali ia terbangun. Memicingkan matanya berpendar ke sekelilingnya. Kedua orang tuanya yang mengamati anak semata wayangnya tengah merasa khawatir akibat panas demam yang menerpa putranya. Wajah Tsauban tampak pucat. Bibirnya pecah-pecah dan kering. Dahinya berkeringat dingin. Sesekali ia gemetaran sembari menyebut nama Rasulullah SAW. Dapat dirasakan anak muda itu sangat merindukan orang yang sedari tadi ia sebut-sebut.
Setiap kali ia terbangun, Tsauban selalu bertanya, “Apakah Rasulullah sudah datang?”
Orang tuanya menggelengkan kepala. Pertanda mereka tidak tahu kapan Rasulullah SAW akan mendatangi putranya, sebab mereka paham pastilah Rasulullah SAW sibuk dan memiliki urusan yang lebih penting ketimbang menjenguk putra mereka.
Namun, apa mau dikata, putranya begitu sangat merindukan kekasih hatinya itu. Nampak begitu besar kerinduan anak muda itu berjumpa dengan orang yang selalu memenuhi relung hatinya. Nama ‘Muhammad’ selalu menghiasi bibir putra mereka.
Sebelum Tsauban kembali tertidur, ia berpesan sekiranya ada Rasulullah SAW menjenguknya, agar orang tuanya bersedia untuk membangunkannya. Begitulah pesan singkatnya. Ayah dan ibunya hanya mengangguk-anggukkan kepala.
Dari luar terdengar seseorang mengetuk pintu dan mengucapkan salam. “Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh!”
Bergegas penghuni rumah itu membukakan pintu. Rasulullah SAW dan Abu Bakar memasuki rumah Tsauban. Keduanya disambut bahagia oleh kedua orang tua remaja pecinta Rasulullah itu.
“Bagaimana keadaan sahabat mudaku, Tsauban?” tanya Rasulullah SAW tersenyum.
“Keadaannya masih demam tinggi, duhai Rasulullah !” jawab ayah Tsauban.
“Semoga Allah memberinya kesembuhan atau memberinya pilihan terbaik!” demikian doa Rasulullah SAW.
“Biar kami bangunkan putra kami terlebih dahulu untuk mengabarkan kedatangan Anda, ya Rasulullah,” ujar ibu Tsauban.
“Biarkan dia istirahat dulu!” sergah Rasulullah SAW.
“Tapi, tadi dia berpesan kepada kami jika engkau datang, dia meminta agar dibangunkan duhai Rasulullah!” ujar ayah Tsauban.
“Tidak! Biarkan sahabatku itu tertidur nyenyak. Besok saja lagi insyaallah aku akan kembali datang mengunjunginya,” ujar Rasulullah SAW.
Nampak Tsauban tertidur nyenyak. Rasulullah SAW dan Abu Bakar meminta izin pamit. “Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.”
Malam kian larut. Hawa dingin kian menyeruak menyelimuti malam yang hening, senyap, tanpa suara. Angin menyelinap membawa kesejukan hawa surgawi. Malam begitu tenang. Tsauban masih tertidur lelap.
Sepulang Rasulullah SAW, Tsauban terbangun dari tidur pulasnya. Setelah terbuka matanya, maka nama yang pertama ia ingat adalah nama kekasihnya, Muhammad Rasulullah.
“Apakah Rasulullah sudah datang?” tanya anak muda itu.
Kedua orang tuanya yang sedari tadi berjaga di kasur putranya itu saling berpandangan dalam diam. “Apakah Rasulullah sudah menjengukku?” tanya Tsauban lagi.
“Iya benar, Nak! Barusan tadi Rasulullah telah berkunjung!” jawab ibunya.
“Rasulullaah!” lirih Tsauban berbinar.
“Tapi, mengapa aku tidak kalian bangunkan?!” tanya Tsauban lagi.
Ibunya menatap wajah ayahnya. Sang ayah berkata: “Ya, tadi ibumu ingin membangunkanmu, Nak! Tapi, kata Rasulullah biarlah Tsauban beristirahat dahulu!” terang ayahnya.
Tsauban terdiam. Ayahnya mendekati putranya sembari menyeka keringat putranya. Keringat dingin membanjiri dahi anak muda tersebut. Namun, hawa panas makin semakin tinggi. Wajah anak muda itu makin pucat.
Dengan lirih, Tsauban berkata, “Ayah! Mungkin usiaku tidak akan panjang lagi. Sudah saatnya aku pulang menghadap Allah ‘Azz wa jalla!”
Kata-kata Tsauban mulai tercekat saat ia ingin menyebut nama kekasihnya, Rasulullah SAW. Air mata hangat perlahan mengalir di ekor matanya.
“Wahai ayah! Jika malam ini aku berpulang ke rahmatullah, tolong jangan kabari Nabi malam ini. Aku kasihan bila beliau harus kembali datang kedua kali ke sini!”
Sang ayah mengangguk-angguk berkaca-kaca. Tak berapa lama. Takdir Sang Maha Pencipta pun berlaku atas anak muda itu. Di malam itu, pencinta Rasulullah SAW itu pun mengembuskan nafas terakhirnya. Tsauban pun wafat di malam itu juga.
Keesokan harinya, tersiarlah kabar bahwa sahabat muda itu telah wafat. Rasulullah SAW yang mendengar kabar itu segera mendatangi rumah Tsauban.
Rasulullah SAW menemui kedua orang tuanya. Beliau mempertanyakan mengapa tidak segera mengabari Rasulullah SAW di malam itu juga. Orang tua Tsauban mengatakan, “Duhai Rasulullah maafkan kami! Tsauban sangat mencintai dan merindukan Anda. Setiap saat bibirnya senantiasa bersalawat padamu.”
“Tadi malam, sebelum ajal menjemput dia berwasiat agar tidak mengabarkan kematiannya, sebab dia tidak ingin menyusahkanmu. Saking cintanya pada Anda dia khawatir jika Anda kembali mendatangi rumah kami di tengah malam. Anda akan dicelakai oleh musuh yang senantiasa ingin mencelakai Anda, duhai Rasulullah. Begitulah wasiat putra kami duhai Rasulullah!”
Demi mendengar hal itu, Rasulullah SAW pun mengangkat kedua tangannya mendoakan bagi sahabat mudanya itu yang rasa cinta dan kerinduannya sungguh sangat luar biasa pada Rasulullah SAW.
Hingga, rasa penjagaannya atas keselamatan Rasulullah SAW mengalahkan dahsyatnya kerinduan untuk berjumpa dengan kekasih hatinya itu. Begitulah cinta Tsauban terhadap Rasulullah SAW.
Baca juga: Tsabit bin Qais, Syahid & Berbicara Sebelum Dikebumikan