CM Corner
Beranda » Berita » Menata Ulang Arsitektur Regulasi: UU Pemilu dan Tantangan Adaptasi Teknologi

Menata Ulang Arsitektur Regulasi: UU Pemilu dan Tantangan Adaptasi Teknologi

Ilustrasi Gambar
Menata Ulang Arsitektur Regulasi

SURAU.CO — Di tengah kemajuan teknologi dan tuntutan transparansi publik, sistem hukum pemilu Indonesia menghadapi ujian berat. Pemilu 2024 menunjukkan betapa cepatnya inovasi digital berlari meninggalkan kerangka hukum yang kaku. Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap), yang diharapkan menjadi simbol keterbukaan digital, justru memunculkan krisis kepercayaan akibat landasan hukum yang rapuh dan kegagalan teknis. Inilah saatnya kita bertanya ulang: apakah arsitektur regulasi pemilu masih relevan di era disrupsi digital?

Ketertinggalan Regulasi di Era Digitalisasi Pemilu

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disusun dalam konteks politik pasca-reformasi, ketika digitalisasi baru sebatas wacana. UU ini tidak mengenal konsep rekapitulasi elektronik atau validasi data berbasis machine learning. Akibatnya, ketika KPU memperkenalkan Sirekap pada Pemilu 2024 sebagai alat bantu transparansi, sistem ini berjalan di ruang abu-abu hukum. Ia bukan hasil rekapitulasi resmi, namun menampilkan angka ke publik secara masif.

Menurut laporan DPR RI (2024), ketidaktepatan pembacaan data oleh sistem OCR dan OMR menyebabkan anomali ekstrem, seperti suara calon yang seharusnya lima terbaca menjadi 555. Ketidaksiapan infrastruktur, keterbatasan kamera ponsel petugas, dan lemahnya literasi digital di tingkat KPPS memperburuk keadaan. Kegagalan teknis ini menimbulkan pertanyaan hukum: jika data digital menimbulkan persepsi publik tentang hasil pemilu, siapa yang bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan itu? UU Pemilu tidak memberi jawaban yang tegas.

Ketika Regulasi Tak Lagi Responsif terhadap Teknologi

Dalam teori regulatory responsiveness, hukum idealnya bersifat adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Namun dalam konteks pemilu, regulasi Indonesia bersifat statis, menunggu peristiwa baru untuk kemudian diatur secara reaktif. Sementara itu, inovasi digital bergerak lebih cepat daripada legislasi. Ketimpangan ini membuat teknologi seperti Sirekap beroperasi tanpa legal safety net yang jelas.

Kasus ini memperlihatkan apa yang disebut regulatory lag — jeda antara inovasi dan penyesuaian hukum. Ketika hukum lambat menyesuaikan diri, kepercayaan publik pada institusi penyelenggara pemilu terancam. Dalam konteks teori adaptive legal framework, hukum seharusnya tidak hanya mengatur, tetapi juga belajar dari kegagalan. Sayangnya, kerangka hukum pemilu kita masih sibuk menjaga bentuk, bukan menyesuaikan fungsi.

Pluralisme Agama Antara Cita Ideal dan Tantangan Realitas

Implikasi Hukum dan Demokrasi dari Ketidakjelasan Regulasi

Ketiadaan dasar hukum yang eksplisit untuk sistem digital menyebabkan ambiguitas di banyak level. Dalam UU Pemilu, hasil penghitungan suara sah adalah yang dilakukan secara manual di TPS, disertai formulir fisik (C.Hasil Plano). Namun, publik kini hidup di ruang digital, di mana persepsi dibentuk oleh data yang muncul pertama di layar gawai, bukan di dokumen resmi. Akibatnya, ketika terjadi selisih antara hasil manual dan tampilan Sirekap, muncul krisis legitimasi.

Selain itu, judicial review terhadap sengketa pemilu pun menghadapi tantangan. Mahkamah Konstitusi belum memiliki standar probatif yang jelas untuk menilai bukti digital. Sementara hukum acara masih berpijak pada logika dokumen fisik. Ini mengindikasikan bahwa hukum pemilu kita belum mengenali realitas baru. Bahwa informasi digital kini menjadi bagian integral dari infrastruktur demokrasi.

Dari Audit Publik hingga Teknological Accountability

Banyak negara telah mengantisipasi transformasi digital ini dengan mengintegrasikan prinsip technological accountability ke dalam hukum pemilunya. Estonia, misalnya, tidak hanya mengatur e-voting dalam undang-undang, tetapi juga menetapkan mekanisme audit independen dan keterbukaan kode sumber. Begitu pula dengan Korea Selatan yang mensyaratkan public test phase sebelum setiap penerapan sistem digital baru.

Indonesia bisa belajar dari model tersebut. Audit teknologi publik, seperti yang direkomendasikan DPR dalam laporan Info Singkat (2024), perlu dilembagakan, bukan bersifat ad hoc. Setiap inovasi digital pemilu harus melalui uji kelayakan publik, diikuti dengan pelibatan pakar keamanan siber dan masyarakat sipil. Hanya dengan cara ini, teknologi dapat memperkuat, bukan menggoyahkan, kepercayaan terhadap demokrasi.

Arah Reformasi: Revisi UU Pemilu yang Visioner

Perbaikan mendesak tidak hanya menambal pasal, tetapi merancang ulang arsitektur regulasi. Pembuat undang-undang harus memasukkan tiga prinsip utama dalam revisi UU Pemilu.

Didiklah Anak Mengutamakan Shalat Subuh

Prinsip Akuntabilitas Teknologi – KPU harus menerapkan mekanisme audit publik dan dokumentasi yang transparan pada setiap sistem digital yang mereka gunakan. Pihak independen harus dapat memverifikasi seluruh hasil teknologi tersebut.

Prinsip Interoperabilitas Hukum – Pembuat regulasi pemilu harus menyinkronkan aturan pemilu dengan undang-undang lain yang mengatur perlindungan data pribadi, keamanan siber, dan administrasi digital negara.

Prinsip Pembelajaran Adaptif – Penyelenggara pemilu harus menjadikan setiap pemilu sebagai learning cycle untuk memperbaiki kelemahan sistem. Mereka juga harus menyampaikan laporan evaluasi teknologi kepada publik sebagai dasar penyusunan kebijakan berikutnya.

Revisi seperti ini menempatkan hukum bukan sekadar sebagai pagar, tetapi sebagai ekosistem yang belajar. Demokrasi yang sehat bukan yang hanya cepat menghitung suara, tetapi yang siap memperbaiki diri setiap kali gagal.

Hukum yang Belajar, Demokrasi yang Bertumbuh

Kita sering lupa bahwa manusia yang menciptakan hukum, bukan hukum yang hadir sebagai artefak abadi. Dalam konteks pemilu, hukum harus hidup dan mampu menampung inovasi tanpa mengorbankan integritas. Ketika regulasi tertinggal dari perkembangan teknologi, kita membuat demokrasi kehilangan pegangan moral dan administratifnya.

Mengelola Pemilu Sebagai Sistem, Bukan Acara Lima Tahunan

Karena itu, kita harus menata ulang arsitektur regulasi pemilu sebagai pekerjaan moral seluruh bangsa, bukan hanya tugas legislatif. Kita perlu memastikan setiap kemajuan digital tetap berpihak pada kedaulatan rakyat. Pada akhirnya, legitimasi demokrasi tidak hanya tergantung pada siapa yang menang, tetapi pada bagaimana sistem itu layak dipercaya. Dan kita hanya bisa menumbuhkan kepercayaan jika hukum berani beradaptasi bersama perubahan.

 

Oleh : Dewan Redaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement