SURAU.CO – Pemilu sering kali diperlakukan seperti hajatan lima tahunan: penuh gegap gempita, lalu usai tanpa bekas. Begitu kotak suara disegel dan perhitungan selesai, negara seakan menarik napas lega dan kembali ke rutinitas birokrasi. Padahal, teori electoral governance menegaskan bahwa pemilu bukan sekadar peristiwa sesaat, tetapi sistem berkelanjutan yang mencakup siklus pra, saat, dan pasca pemungutan suara. Masalah muncul ketika kita menjalankan demokrasi secara periodik, bukan secara sistemik.
Ritual Demokrasi dan Lupa pada Siklusnya
Kecenderungan melihat pemilu sebagai ritual politik membuat banyak hal bersifat seremonial. Mulai dari persiapan terburu-buru, koordinasi ad hoc, dan evaluasi yang berhenti pada laporan administratif. KPU, sebagai penyelenggara utama, terjebak dalam paradigma manajerial jangka pendek. Padahal, keberlanjutan demokrasi justru bergantung pada kemampuan lembaga ini mengelola siklus elektoral secara utuh. Mulai dari desain kelembagaan, perencanaan anggaran, penguatan SDM, hingga pendidikan pemilih.
Menurut laporan Evaluasi Kinerja KPU Indonesia (2025), siklus manajemen pemilu belum sepenuhnya diintegrasikan dalam kerangka jangka panjang. Program pendidikan pemilih, misalnya, sering kali hanya digalakkan menjelang hari pemungutan suara dan berhenti setelahnya. Padahal, partisipasi yang cerdas hanya bisa lahir dari pembelajaran politik yang berkelanjutan. Seperti diingatkan dalam Electoral Integrity Theory, legitimasi demokrasi bukan hanya hasil pemilu yang damai, tetapi juga proses yang konsisten dan berintegritas di setiap tahapnya.
Kebutuhan Kesinambungan antara Pra, Saat, dan Pasca Pemilu
Electoral Cycle Management dan Governance Continuity
Dalam perspektif electoral cycle management, kita harus memandang pemilu sebagai sistem yang saling terhubung lintas waktu. Konsep ini menekankan pentingnya menjaga kesinambungan antara setiap fase. Mulai dari perencanaan, implementasi, dan evaluasi agar hasil satu siklus dapat menjadi dasar perbaikan di siklus berikutnya.
Negara-negara dengan demokrasi yang mapan seperti Kanada dan Korea Selatan telah membangun lembaga pemilu yang bukan hanya menyelenggarakan pemilu. Lembaga-lembaga tersebut juga terus meningkatkan kapasitas kelembagaan dan mengembangkan inovasi setiap tahun.
Namun Indonesia masih mengelola pemilu seperti proyek jangka pendek, bukan sebagai institusi yang berkelanjutan. Banyak laporan evaluasi menunjukkan bahwa KPU kerap memulai dari nol setiap kali siklus baru dimulai. Padahal prinsip governance continuity dalam administrasi publik menegaskan bahwa keberlanjutan kebijakan menjadi kunci efisiensi dan akuntabilitas. Tanpa kesinambungan, pengetahuan kelembagaan akan terus hilang setiap kali terjadi pergantian komisioner. Dan kesalahan administratif akan berulang dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.
Menyusun Demokrasi yang Berkesinambungan
India dan Meksiko menunjukkan bahwa pemilu yang efektif lahir dari tata kelola yang menempatkan pemilu sebagai siklus pembelajaran berkelanjutan. Di India, Election Commission menerapkan sistem audit dan knowledge management. Hal ini penting untuk memastikan setiap pelajaran dari pemilu sebelumnya terdokumentasi dan ditindaklanjuti. Di Meksiko, komite lintas sektor mengawasi setiap tahap pemilu untuk menjamin kesinambungan kebijakan dan pembaruan regulasi pasca-pemilu.
Indonesia memiliki peluang besar untuk mengadopsi prinsip serupa. KPU dapat mengarahkan reformasi digitalisasi bukan hanya untuk meningkatkan efisiensi administratif. Lebih dari itu, tetapi juga untuk membangun platform pembelajaran terbuka.
KPU dapat mempublikasikan data pemilu, rekapitulasi, dan laporan pelanggaran secara interaktif. Dengan demikian masyarakat dapat mengawasi, memberi masukan, dan ikut memperbaiki sistem. Dengan cara ini, kita menjadikan transparansi sebagai undangan bagi warga untuk berpartisipasi dalam memperkuat demokrasi.
Dari Acara ke Sistem, dari Siklus ke Budaya
Pemilu yang baik bukan hanya terselenggara, tetapi juga terus kita perbaiki. Seperti roda yang berputar, setiap siklus demokrasi harus meninggalkan kemajuan, bukan sekadar mengulang pola lama dengan wajah baru. Kita perlu menggeser paradigma dari pemilu sebagai acara menuju pemilu sebagai sistem yang terus berevolusi. KPU bersama para pemangku kepentingan harus menanamkan budaya pembelajaran institusional. Dengan mencatat setiap kegagalan, mengkaji ulang setiap keberhasilan, dan menjalankan setiap rekomendasi dengan komitmen lintas periode.
Kita tidak boleh memperlakukan demokrasi sebagai hasil akhir, karena demokrasi adalah proses tanpa titik henti. Pemilu memang menjadi sebuah ritus, tetapi juga berfungsi sebagai cermin kualitas pemerintahan sehari-hari. Dengan mengelola pemilu sebagai sistem, kita membangun demokrasi yang tidak berhenti di bilik suara. Lebih dari itu, tetapi berlanjut di meja kebijakan, ruang evaluasi, dan dalam kesadaran kolektif bahwa keadilan politik tidak bisa kita capai hanya setiap lima tahun sekali. Kita harus memperjuangkannya setiap hari, di setiap siklus, dan oleh setiap generasi.
Oleh : Dewan Redaksi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
