SURAU.CO – Dalam setiap penyelenggaraan pemilu, yang tampak di layar publik adalah pesta demokrasi. Selalu ada kampanye meriah, debat calon yang disiarkan luas, dan penghitungan suara yang menegangkan. Namun di balik layar, terdapat mesin institusional yang bekerja tanpa henti. Ia menanggung beban berat agar roda demokrasi tetap berputar. Fenomena ini tampak nyata pada Pemilu 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga badan ad hoc seperti KPPS menghadapi apa yang dapat disebut sebagai kelelahan institusional.
Kelelahan Struktural Lembaga Penyelenggara
KPU dan Bawaslu tidak hanya menghadapi tugas administratif, tetapi juga tanggung jawab moral menjaga legitimasi demokrasi. Namun, sebagaimana ditunjukkan dalam laporan DPR RI (2024), terdapat 181 petugas badan ad hoc yang meninggal dunia dan 4.770 lainnya mengalami sakit atau kecelakaan kerja selama proses Pemilu 2024. Meskipun jumlah korban menurun dibanding 2019, pola kelelahan ini menunjukkan persoalan yang bersifat sistemik, bukan insidental.
KPU telah mengambil langkah-langkah mitigasi dengan membatasi usia petugas dan meningkatkan honorarium mereka. Namun upaya tersebut belum menyentuh akar masalah. Desain pemilu serentak dengan lima surat suara justru menciptakan tekanan ekstrem. Banyak petugas KPPS harus bekerja lebih dari 24 jam tanpa jeda untuk menyelesaikan penghitungan dan administrasi suara yang sangat kompleks. Jika kita mengibaratkan demokrasi sebagai tubuh, maka tubuh itu kini mengalami kelelahan kronis karena terus menanggung beban tanpa waktu pemulihan.
Beban Kerja Simultan dan Tekanan Kelembagaan
Kelelahan ini tidak hanya dialami petugas lapangan. KPU dan Bawaslu sebagai lembaga juga menghadapi tekanan simultan. KPU harus menavigasi tuntutan transparansi publik, tekanan politik, dan ketidakpastian regulatif. Sementara itu, Bawaslu bekerja dengan kewenangan dan sumber daya yang terbatas untuk menjalankan fungsi pengawasan. Survei ICW (2016) menunjukkan bahwa 44% publik menilai Bawaslu kurang profesional dan 73% responden menganggap mekanisme penanganan pelanggaran belum berjalan baik.
Tekanan struktural semacam ini memicu fatigue of accountability: lembaga pengawas dan penyelenggara sama-sama menanggung beban tanggung jawab yang terus bertambah tanpa dukungan kelembagaan yang memadai. Akibatnya, bukannya saling memperkuat, KPU dan Bawaslu justru terjebak dalam lingkaran kelelahan yang mengikis kapasitas institusional mereka.
Perspektif Teoretis: Institutional Resilience dan Organizational Fatigue
Dalam teori institutional resilience, lembaga publik mampu bertahan menghadapi tekanan ketika mereka memiliki tiga faktor utama: kapasitas sumber daya, adaptasi struktural, dan legitimasi sosial. Ketiga faktor itu kini menghadapi ujian berat dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Kelelahan organisasi (organizational fatigue) muncul ketika tuntutan eksternal terus meningkat dan melampaui kapasitas internal — ketika lembaga dipaksa berlari dalam maraton demokrasi tanpa kesempatan untuk bernafas.
Dari perspektif governance, kita selama ini lebih sering memposisikan KPU dan Bawaslu sebagai operator teknis daripada organisasi pembelajar. Padahal, institutional resilience menuntut kemampuan reflektif: lembaga harus mengevaluasi siklus sebelumnya, mengelola pengetahuan, dan memperkuat adaptasi antarsiklus pemilu. Demokrasi yang sehat tidak hanya terlihat dari lancarnya pemungutan suara, tetapi juga dari bagaimana lembaga penyelenggaranya mampu belajar dan terus tumbuh.
Refleksi atas Desain Pemilu Serentak
Pemilu serentak lima kotak yang diterapkan sejak 2019 mungkin efisien secara politik, tetapi sistem ini membebani penyelenggara secara administratif dan manusiawi. Desain pemilu yang memaksakan efisiensi logistik di atas kesejahteraan manusia secara langsung menciptakan beban kerja ekstrem bagi KPPS dan lembaga penyelenggara. Kondisi ini menunjukkan bahwa kita telah gagal menerapkan prinsip human-centered governance.
Rekomendasi DPR RI dan JPPR (2024) secara tegas menyerukan pembagian siklus pemilu yang lebih rasional. Pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan pemilu daerah dapat menurunkan puncak beban kerja. Selain itu, kita dapat mendukung efisiensi tanpa mengorbankan kesehatan petugas dengan mendigitalkan sebagian tahapan administrasi pemilu, seperti rekapitulasi suara berbasis audit publik.
Membangun Ketahanan Demokrasi
Menjaga demokrasi bukan hanya menuntut kerja keras, tetapi juga merancang kerja yang manusiawi. Kita harus memandang institutional fatigue yang dialami lembaga penyelenggara pemilu sebagai indikator kesehatan demokrasi, bukan sekadar persoalan operasional. Ketika penyelenggara kelelahan, legitimasi pemilu ikut melemah.
Solusi jangka panjang menuntut kita melakukan reformasi menyeluruh. Dengan memperkuat kapasitas SDM, mengalokasikan anggaran sesuai kemampuan daerah, serta membentuk unit riset dan pengembangan (R&D) di KPU dan Bawaslu. Seperti tubuh yang sehat, demokrasi membutuhkan nutrisi berkelanjutan berupa refleksi, pembelajaran, dan pemeliharaan.
Demokrasi yang Perlu Istirahat
Demokrasi tidak boleh berhenti, tetapi ia juga perlu beristirahat. Ketika institusi pemilu mengalami kelelahan, kondisi itu tidak hanya menunjukkan beban kerja yang berlebih. Kondisi ini juga mengingatkan kita untuk mendesain ulang struktur yang menempatkan manusia sebagai pusat tata kelola pemilu. Kita harus menilai kualitas demokrasi bukan hanya dari jumlah surat suara yang terhitung. Lebih dari itu, juga dari sejauh mana proses itu berjalan secara manusiawi.
Seperti tubuh yang sehat memerlukan ritme antara kerja dan istirahat. Maka kita harus memberi demokrasi Indonesia waktu untuk memulihkan tenaganya agar ia dapat tumbuh lebih kuat.
Oleh : Dewan Redaksi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
