SURAU.CO — Angka kepuasan publik yang mencapai 82 persen terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024—sebagaimana dirilis Indikator Politik Indonesia—tampak seperti kabar baik bagi demokrasi. Temuan ini memberi kesan bahwa KPU telah menjalankan mandatnya dengan baik dalam menyelenggarakan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Namun, di balik angka tersebut muncul pertanyaan penting: apakah tingginya kepuasan publik benar-benar mencerminkan legitimasi demokrasi, atau justru hanya mencerminkan bias politik pasca-kemenangan?
Bias Pemenang dan Ilusi Kepuasan
Hasil survei Indikator menunjukkan bahwa kepuasan terhadap KPU tidak merata. Dari total responden, 91 persen pemilih pasangan Prabowo–Gibran menyatakan puas, sementara hanya 69 persen dari pemilih Anies–Muhaimin yang memiliki pandangan serupa (Indikator Politik Indonesia, 2024). Pola ini mengindikasikan adanya winner’s bias. Fenomena ketika persepsi terhadap lembaga publik dipengaruhi oleh hasil politik yang diharapkan. Kepuasan menjadi ukuran kemenangan, bukan objektivitas terhadap kualitas penyelenggaraan.
Fenomena ini bukan hal baru dalam teori perilaku elektoral. Larry Diamond (1999) menegaskan bahwa legitimasi demokrasi tidak hanya diukur dari hasil pemilihan, tetapi dari keadilan proses yang melandasinya. Ketika kepuasan publik bergantung pada siapa yang menang, maka yang diuji bukan lagi kualitas institusi, melainkan loyalitas partisan. Dalam konteks Indonesia 2024, data tersebut memperlihatkan bagaimana polarisasi politik masih membekas kuat di ruang persepsi, bahkan setelah kotak suara ditutup.
Legitimasi Elektoral: Antara Angka dan Kepercayaan
Dalam kerangka teori electoral integrity, legitimasi pemilu bukan sekadar produk dari keteraturan administratif, tetapi dari kepercayaan publik yang bersifat lintas kubu (Norris, 2014). KPU, sebagai Election Management Body, memikul tanggung jawab besar untuk menjaga dua hal sekaligus: efisiensi teknis dan kredibilitas moral. Tantangannya, keberhasilan prosedural sering kali tidak otomatis diterjemahkan sebagai keberhasilan substantif.
Pemilu 2024 mencatat sejarah logistik yang luar biasa—ratusan juta surat suara, jutaan petugas KPPS, dan ribuan TPS di pelosok negeri—namun masih diwarnai catatan kritis. Kasus anomali data dalam Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang salah membaca angka dari formulir plano, hingga tragedi kemanusiaan di mana 181 petugas KPPS meninggal dunia akibat kelelahan kerja, menunjukkan bahwa integritas demokrasi tidak dapat diukur dari angka partisipasi semata (DPR RI, 2024). Legitimasi, dalam arti yang lebih dalam, menuntut keseimbangan antara trust dan truth—antara kepercayaan publik dan kebenaran prosedural.
Dalam bahasa filsafat politik, legitimasi bukan hanya hasil, melainkan hubungan moral antara penguasa dan yang diperintah. John Locke pernah menulis bahwa kekuasaan yang sah hanyalah yang memperoleh persetujuan dari mereka yang diperintah. Di era modern, bentuk persetujuan itu diekspresikan melalui pemilu, tetapi ia baru bermakna jika prosesnya dipercaya oleh semua pihak, bukan hanya oleh pemenang.
Kepuasan dalam Bayang Polarisasi
Tingkat kepuasan yang tinggi tidak selalu identik dengan konsolidasi demokrasi. Dalam konteks sosial-politik yang terpolarisasi, angka itu justru bisa menutupi luka laten di tubuh bangsa. Sebagian besar masyarakat merasa puas karena figur yang mereka dukung menang, sementara kelompok lain memendam kecurigaan terhadap integritas lembaga penyelenggara. Akibatnya, demokrasi kehilangan fungsi utamanya sebagai mekanisme penyatuan, berubah menjadi arena legitimasi separuh rakyat.
Teori affective polarization menjelaskan bahwa ketika sentimen emosional terhadap lawan politik lebih kuat daripada rasionalitas kebijakan, maka setiap institusi akan dinilai berdasarkan afiliasi, bukan prestasi. Hal ini menjelaskan mengapa pemilih dengan tingkat pendidikan tinggi—yang cenderung kritis terhadap sistem—menunjukkan kepuasan yang lebih rendah (74,3 persen) dibanding pemilih berpendidikan dasar (86 persen). Rasionalitas dan loyalitas sering kali berjalan di dua jalur yang tak sejajar.
Dalam kondisi seperti ini, legitimasi demokrasi menjadi rapuh. Sebab, kepercayaan publik tidak dibangun atas dasar kesadaran warga negara, melainkan perasaan menang dan kalah. Ketika yang kalah merasa ditinggalkan oleh institusi negara, maka demokrasi berubah menjadi ritual formal tanpa makna substantif.
Dimensi Teoretis: Integritas Elektoral dan Persepsi Keadilan
Dalam teori electoral management, integritas pemilu diukur melalui empat dimensi: independensi lembaga, transparansi proses, profesionalisme penyelenggara, dan akuntabilitas hasil. KPU secara kelembagaan telah menegakkan banyak aspek ini—dari sistem logistik yang efisien hingga peningkatan partisipasi pemilih mencapai 80 persen—namun tantangan utamanya justru terletak pada aspek persepsi.
Ketika publik menyaksikan kesalahan pembacaan data Sirekap atau mendengar laporan pelanggaran etik oleh penyelenggara daerah, kepercayaan yang dibangun selama bertahun-tahun bisa runtuh dalam hitungan jam. Krisis kepercayaan yang muncul di dunia digital bergerak lebih cepat dari klarifikasi kelembagaan. Dalam era post-truth, citra KPU di mata publik lebih ditentukan oleh viral narrative di media sosial daripada penjelasan prosedural di konferensi pers.
Secara teoretis, demokrasi yang sehat memerlukan keseimbangan antara procedural legitimacy (proses yang sah) dan substantive legitimacy (hasil yang diterima bersama). Ketika yang pertama terpenuhi tetapi yang kedua runtuh, maka demokrasi tetap kehilangan makna. Dengan kata lain, legitimasi elektoral tidak cukup diukur dari kepuasan mayoritas, melainkan dari penerimaan minoritas terhadap hasil.
Membangun Kepercayaan Lintas Kubu Politik
Ke depan, KPU harus menghadapi tantangan besar, bukan hanya menyelenggarakan pemilu berikutnya, tetapi juga memulihkan kepercayaan dari semua kubu politik. KPU membangun kepercayaan publik bukan dengan mengklaim keberhasilan, melainkan dengan mengakui serta memperbaiki kekurangan yang ada. KPU perlu mereformasi Sirekap, melakukan audit independen terhadap data digital, dan memastikan perlindungan bagi petugas KPPS. Ketiga langkah itu bukan sekadar urusan teknis, tetapi pertaruhan moralitas publik.
Selain itu, KPU harus mendorong pendidikan pemilih yang lebih bermakna. Pendidikan pemilih tidak boleh berhenti pada ajakan untuk datang ke TPS. Demokrasi yang matang lahir dari warga yang mengerti nilai keadilan prosedural di balik setiap surat suara. Karena itu, KPU perlu menggeser pendidikan politik publik dari kampanye elektoral menuju pembelajaran kewargaan. Dalam pandangan Alexis de Tocqueville, demokrasi bertahan karena rakyat belajar hidup dalam perbedaan, bukan hanya karena mereka mencoblos.
KPU juga memiliki momentum untuk membangun kembali kredibilitas kelembagaannya. KPU perlu memperkuat transparansi, membuka data publik secara proaktif, dan melibatkan masyarakat sipil dalam audit bersama. Langkah-langkah konkret seperti membuka laporan keuangan, mempublikasikan hasil audit teknologi secara real-time, dan membentuk forum komunikasi lintas-pendukung dapat menjadi dasar rekonsiliasi elektoral.
Pemilu seharusnya menyatukan warga, bukan memecah mereka. Ketika 82 persen publik menyatakan puas, angka itu memang menunjukkan keberhasilan administratif. Namun jika kepuasan itu hanya datang dari kelompok yang menang, berarti demokrasi kehilangan makna substansialnya. Legitimasi sejati hadir ketika pihak yang kalah pun percaya bahwa mereka kalah secara adil.
Paradoks kepuasan publik pada Pemilu 2024 mengingatkan kita bahwa demokrasi tidak berhenti di bilik suara. Demokrasi terus hidup dalam percakapan publik, dalam proses kebijakan, dan dalam kemauan kita mempercayai lembaga bersama. Amartya Sen mengingatkan bahwa kebebasan politik bukan hanya soal memilih, tetapi soal mempercayai sistem yang mengatur pilihan itu.
Oleh : Dewan Redaksi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
