CM Corner
Beranda » Berita » Pemilu sebagai Ekosistem: Integrasi Kelembagaan untuk Demokrasi yang Berdaya Tahan

Pemilu sebagai Ekosistem: Integrasi Kelembagaan untuk Demokrasi yang Berdaya Tahan

Ilustrasi Gambar Artikel CM Corner
Pemilu Sebagai Ekosistem

SURAU.CO – Pemilu merupakan ekosistem politik yang kompleks, tempat berbagai lembaga dan elemen masyarakat berinteraksi dalam menjaga kedaulatan rakyat. Namun, jika satu komponen terganggu, keseimbangan seluruh sistem pun terancam.

Dalam konteks Indonesia, relasi antara KPU, Bawaslu, DKPP, pemerintah, dan masyarakat sipil kerap berjalan tidak selaras. Ibarat mesin besar yang komponennya bekerja dengan ritme berbeda. Hasilnya adalah demokrasi yang berfungsi, tetapi belum efisien dan belum sepenuhnya berdaya tahan.

Pemilu sebagai Tanggung Jawab Kolektif

Pemilu di Indonesia sering dipahami sebagai urusan KPU semata. Padahal, penyelenggaraan yang berintegritas adalah hasil orkestrasi antara berbagai lembaga. KPU memang menjadi nahkoda utama, tetapi tanpa Bawaslu yang tegas, DKPP yang berwibawa, pemerintah yang suportif, dan masyarakat sipil yang kritis, kapal demokrasi bisa oleng di tengah jalan.

Evaluasi terhadap Pemilu 2019–2024 menunjukkan bahwa koordinasi antarlembaga belum terjalin optimal. KPU dinilai masih terbebani secara struktural dan operasional—dari beban kerja ekstrem petugas ad hoc hingga kontroversi Sirekap—sementara

Bawaslu menghadapi krisis legitimasi akibat lemahnya penegakan hukum elektoral. DKPP, meski berperan sebagai penjaga etik, sering kali hanya memberi sanksi simbolik tanpa efek jera yang nyata. Semua ini memperlihatkan bahwa demokrasi elektoral kita belum menjadi sistem yang benar-benar terintegrasi.

Menata Ulang Arsitektur Regulasi: UU Pemilu dan Tantangan Adaptasi Teknologi

Kelemahan Sistemik: SDM, Teknologi, dan Tata Kelola

Dalam satu dekade terakhir, kelemahan sistemik KPU dapat ditelusuri melalui tiga ranah utama: sumber daya manusia (SDM), teknologi, dan tata kelola kelembagaan.

Pertama, manajemen SDM ad hoc yang menjadi tulang punggung operasional pemilu masih sangat rentan. Pemilu 2019 mencatat 894 petugas meninggal dunia, sementara Pemilu 2024 masih menyisakan 181 korban jiwa. Meskipun reformasi administratif seperti pembatasan usia dan skrining kesehatan telah dilakukan, akar persoalannya—yakni desain pemilu serentak lima surat suara yang menimbulkan beban kerja ekstrem—belum tersentuh.

Kedua, dari sisi teknologi, adopsi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang semula dimaksudkan untuk transparansi justru menciptakan krisis kepercayaan publik. Kesalahan pembacaan data dan lemahnya kesiapan infrastruktur digital di lapangan memperlihatkan bahwa inovasi tanpa tata kelola adaptif bisa berbalik menjadi bumerang.

Ketiga, dalam tata kelola, koordinasi lintas lembaga masih bersifat fragmentaris. Bawaslu sering kali beroperasi tanpa basis data yang sama dengan KPU, sementara rekomendasi DKPP tidak selalu diinternalisasi dalam mekanisme reformasi kelembagaan. Situasi ini menggambarkan betapa sistem pemilu kita masih bekerja secara sektoral, bukan sistemik.

Teori: Institutional Interoperability dan Systemic Governance

Dalam teori tata kelola demokrasi modern, dua konsep penting dapat digunakan untuk menafsirkan kelemahan ini: institutional interoperability dan systemic governance.
Konsep institutional interoperability menekankan pentingnya kemampuan lembaga-lembaga dalam suatu sistem politik untuk berkomunikasi, berbagi data, dan berkoordinasi secara dinamis tanpa tumpang tindih fungsi. Dalam konteks KPU–Bawaslu–DKPP, interoperabilitas ini idealnya terwujud dalam sistem informasi bersama, mekanisme koordinatif lintas fungsi, serta pengambilan keputusan berbasis data terintegrasi.

Mengelola Pemilu Sebagai Sistem, Bukan Acara Lima Tahunan

Sementara systemic governance menuntut cara pandang holistik terhadap tata kelola pemilu: bukan sekadar mematuhi prosedur hukum, tetapi membangun adaptasi kelembagaan yang responsif terhadap dinamika politik, sosial, dan teknologi. Dengan demikian, pemilu bukan lagi sekadar peristiwa administratif, melainkan bagian dari proses pembelajaran institusional yang berkelanjutan.

Dalam banyak negara demokrasi maju, integrated electoral management system menjadi instrumen penting untuk mewujudkan hal tersebut. Model seperti ini memungkinkan sinergi antara penyelenggara, pengawas, lembaga etik, hingga masyarakat sipil dalam satu kerangka kerja terpadu yang didukung data terbuka dan audit publik berkelanjutan.

Solusi: Membangun Sistem Pemilu yang Terpadu dan Adaptif

Untuk mewujudkan pemilu sebagai ekosistem yang sehat, Indonesia perlu melangkah menuju integrated electoral management system (IEMS). Ini menjadi kerangka kerja koordinatif lintas lembaga yang memungkinkan kolaborasi data, evaluasi, dan inovasi berkelanjutan.

Beberapa hal yang perlu dilakukan diantaranya.

Pertama, Integrasi Basis Data dan Informasi Setiap lembaga—KPU, Bawaslu, dan DKPP—harus berbagi sistem informasi yang kompatibel dan dapat diaudit publik. Sirekap seharusnya tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari ekosistem data pemilu yang memungkinkan sinkronisasi antara data pemungutan, pengawasan, dan penegakan etik.

Menjaga Demokrasi dari Kelelahan Institusional

Kedua, Reformasi Kelembagaan dan Regulasi. Undang-Undang No. 7/2017 tentang Pemilu perlu direvisi untuk memberikan dasar hukum yang jelas bagi rekapitulasi elektronik dan integrasi kelembagaan. Model koordinasi sektoral yang kaku perlu digantikan oleh sistem kolaboratif berbasis governance network, di mana setiap lembaga memiliki peran yang saling melengkapi.

Ketiga, Desentralisasi Kapasitas dan Inovasi Lokal. KPU daerah harus diberi ruang untuk menyesuaikan strategi penyelenggaraan dengan kondisi geografis dan sosialnya. Studi kasus dari Kutai Kartanegara dan Supiori menunjukkan bahwa keberhasilan dan kegagalan pemilu lokal sering kali lebih dipengaruhi oleh konteks lokal daripada regulasi nasional. Oleh karena itu, alokasi sumber daya dan pelatihan harus berbasis local adaptive capacity.

Keempat, Sinergi dengan Masyarakat Sipil dan Akademisi. Organisasi pemantau pemilu seperti JPPR dan lembaga riset seperti Perludem telah berperan penting dalam mengisi celah advokasi dan pengawasan. Kolaborasi sistemik dengan aktor nonnegara harus diinstitusionalisasi melalui mekanisme multi-stakeholder review forum pasca-pemilu yang resmi diadopsi oleh KPU dan Bawaslu.

Menuju Demokrasi yang Tangguh

Demokrasi yang berdaya tahan tidak lahir dari lembaga yang sempurna, melainkan dari sistem yang mampu belajar dari kesalahan. Pemilu 2024 mengajarkan bahwa kompleksitas bukanlah musuh, tetapi ujian bagi adaptivitas kelembagaan. KPU, Bawaslu, dan DKPP tidak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri; mereka harus menjadi satu tubuh dengan fungsi yang berbeda tetapi tujuan yang sama—menjaga kepercayaan publik.

Jika demokrasi adalah rumah besar, maka KPU adalah pondasinya, Bawaslu adalah dinding pengawasnya, DKPP adalah penjaga etik di pintu, dan masyarakat sipil adalah penghuninya. Rumah ini akan kokoh hanya jika setiap bagiannya terhubung dan saling menopang. Reformasi kelembagaan pemilu bukan hanya soal memperbaiki yang rusak, tetapi tentang membangun ekosistem demokrasi yang mampu bertahan terhadap guncangan zaman.

 

Oleh: Dewan Redaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement