Sosok
Beranda » Berita » KH Sholeh Darat: Sang Maha Guru Ulama Nusantara

KH Sholeh Darat: Sang Maha Guru Ulama Nusantara

KH Sholeh Darat merupakan simpul penyambung sanad keilmuan para ulama besar di Jawa termasuk KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Ahmad Dahlan

SURAU.CO. Masyarakat Indonesia tentu mengenal dua organisasi Islam terbesar di tanah air. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah telah memberi warna kuat pada wajah Islam Nusantara. Kita juga sangat akrab dengan nama besar pendirinya, yakni KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan. Namun, publik jarang menelusuri sosok di balik kejernihan ilmu kedua tokoh bangsa tersebut. Sejarah mencatat satu nama besar yang berdiri gagah dalam kesunyian. Sosok tersebut adalah KH. Sholeh Darat al-Samarani.

Beliau bukan sekadar guru biasa. Kiai Sholeh merupakan simpul penyambung sanad keilmuan para ulama besar di Jawa. Melalui ketekunan dan strategi dakwahnya, beliau membangun fondasi intelektual bagi para pejuang kemerdekaan.

Tumbuh dalam Gejolak Perang Jawa

Nama lengkap ulama besar ini adalah Muhammad Sholeh bin Umar. Ia lahir sekitar tahun 1820 di Desa Kedung Jumbleng, Jepara, pada masa Perang Jawa. Situasi genting itu membentuk ketangguhannya sejak kecil. Ia tumbuh dalam keluarga pejuang—ayahnya, Kiai Umar, adalah ulama sekaligus pengikut setia Pangeran Diponegoro. Dari sang ayah, Sholeh kecil menerima dasar al-Qur’an, fikih, akidah, serta adab yang kelak menjadi fondasi dakwahnya.

Sejak muda, semangat menuntut ilmunya sangat kuat. Ia berkelana dari Pati, Kudus, Semarang, hingga Purworejo. Di Pati ia belajar fikih kepada Kiai Syahid; dari Kiai Shaleh Asnawi, ia mendalami tafsir; dan kepada Kiai Ishak Damaran, ia menekuni nahwu–sharaf.

Di Semarang, cakrawala keilmuannya makin terbuka. Ia berguru kepada nama-nama besar seperti KH. Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, KH. Ahmad Bafaqih, dan Syekh Abdul Ghani Bima, yang menanamkan kedisiplinan syariat sekaligus kepekaan spiritual. Persinggahan terpentingnya berada di Purworejo, ketika ia belajar tasawuf dan tafsir kepada Mbah Ahmad Alim Bulus—seorang ulama yang membentuk kedalaman batinnya.

Imam Ghazali

Dari perjalanan intelektual panjang itu, terbentuklah karakter keilmuan KH. Sholeh Darat: mendalam, berlapis, dan berpijar oleh banyak guru. Jepara, Pati, Kudus, Semarang, dan Purworejo menjadi jejak-jejak yang menyiapkannya untuk tampil sebagai salah satu ulama paling berpengaruh di Nusantara.

Menjadi Pengajar di Masjidil Haram

Dahaga keilmuan yang sejak kecil berkobar akhirnya membawa Sholeh Darat melangkah jauh ke Tanah Suci. Ia berangkat bersama ayahnya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi perjalanan spiritual itu berubah menjadi titik balik hidupnya. Setelah rangkaian haji selesai, Sholeh memilih tinggal di Mekah, seolah menemukan samudra ilmu yang tak ingin ia tinggalkan. Keputusan itu bukan sebentar—ia menetap di kota suci selama empat puluh lima tahun, sebuah masa yang cukup panjang untuk membentuk kembali seluruh pandangan hidupnya.

Di Mekah, pintu-pintu ilmu terbuka selebar-lebarnya. Kota itu mempertemukannya dengan para ulama besar yang mewarnai dunia Islam. Ia berguru kepada Syekh Ahmad Zaini Dahlan, mufti Syafi’iyah yang terkenal luas wibawanya, serta kepada Syekh Muhammad Sulaiman Hasballah, yang membentuk ketajaman analisis fikihnya. Dari Syekh Jamal al-Hanafi dan Syekh Yusuf al-Sanbalawi, ia menyerap kedalaman tasawuf dan keluwesan metodologi. Kitab-kitab rujukan utama seperti Ihya’ Ulumiddin, al-Hikam, dan Fath al-Wahhab bukan sekadar ia baca—tetapi ia dalami hingga ke akar maknanya.

Kecerdasannya perlahan menarik perhatian para ulama Mekah. Pengakuan itu mencapai puncaknya ketika pihak Masjidil Haram mengangkatnya sebagai salah satu pengajar, suatu kehormatan besar bagi seorang ulama dari Nusantara. Dalam lingkaran halaqah itu, Sholeh Darat tidak hanya mengajar, tetapi juga membangun jejaring intelektual yang kelak menjadi penopang dakwahnya. Ia bersahabat erat dengan Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan Kiai Mahfudz at-Tarmasi. Persahabatan para raksasa ilmu ini kemudian ikut membentuk corak keislaman Indonesia yang moderat, mendalam, dan bersambung dengan tradisi keilmuan dunia Islam.

KH. Abdullah Umar Al-Hafidz: Sosok Ulama Penjaga Al-Qur’an dari Semarang

Pesantren Darat dan Lahirnya Tokoh Bangsa

Setelah puluhan tahun mengembara di Tanah Suci, kerinduan pada bumi kelahiran akhirnya menggugah hati Sholeh Darat untuk kembali. Ia pulang ke Jawa dan memilih menetap di Semarang, di sebuah kawasan pesisir yang dikenal sebagai Darat. Nama wilayah kecil inilah yang kemudian melekat kuat sebagai identitasnya. Di sana, ia memulai kembali langkah pengabdiannya dengan mendirikan sebuah pesantren sederhana—bangunannya tidak megah, tetapi ruh ilmunya menjulang tinggi.

Justru dari kesederhanaan itulah pengaruh besar pesantren Darat lahir. Serambi kecil itu berubah menjadi ruang pembentukan para ulama masa depan. Dari tempat itulah muncul tokoh-tokoh besar seperti KH. Idris Jamsaren dan Kiai Munawwir Krapyak, dua figur yang kelak mengokohkan tradisi keilmuan di Jawa. Nama-nama lain seperti Kiai Abdul Hamid Kendal juga pernah mengaji langsung dari Sholeh Darat, menyerap ilmu dan adab yang menjadi ciri khas pesantren tersebut.

Namun, di antara sekian banyak murid, dua sosok tampil paling menonjol dalam sejarah: KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari. Keduanya datang sebagai penuntut ilmu muda, dan dari KH Sholeh Darat mereka bukan hanya mendapatkan pemahaman agama, tetapi juga semangat pembaruan serta keberanian berpikir. Pertemuan gagasan di Pesantren Darat inilah yang kemudian menjadi titik awal bagi lahirnya dua organisasi Islam terbesar di Indonesia—Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Mereka berdua adalah bukti bahwa cahaya ilmu dari langgar sederhana di pesisir Semarang mampu menerangi perjalanan besar umat hingga jauh ke masa depan.

Revolusi Arab Pegon: Dakwah untuk Rakyat Jelata

Salah satu warisan terbesar KH Sholeh Darat adalah karya tulisnya. Ia melakukan terobosan penting dengan menulis kitab-kitab menggunakan Arab Pegon, sebuah pilihan budaya yang sangat berani untuk zamannya. Saat itu, mayoritas masyarakat Jawa tidak memahami bahasa Arab, sehingga ilmu agama berisiko hanya berputar di kalangan ulama. Dengan Pegon, Kiai Sholeh menghadirkan Islam dalam bahasa yang akrab bagi rakyat, menjadikan agama lebih dekat dan mudah dipahami.

Pandangan ini ia tegaskan dalam Al-Mursyid al-Wajiz, bahwa kedekatan kepada Allah Swt tidak ditentukan oleh bahasa, tetapi oleh ketulusan hati. Karena itu, ajaran agama harus disampaikan melalui bahasa yang menjangkau hati masyarakat.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Langkahnya juga menjadi bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang membatasi pendidikan pribumi. Lewat karya seperti Majmu’at asy-Syari’ah, Kiai Sholeh menyisipkan pesan-pesan tentang harga diri dan kecintaan pada tanah air. Dengan pena, ia melawan kebodohan sekaligus membangkitkan kesadaran kebangsaan.

Warisan Abadi Sang Maha Guru

KH Sholeh Darat tidak memilih jalan pedang dalam perjuangannya. Ia memilih jalan pena dan pendidikan, membebaskan bangsanya dengan mencerahkan pikiran dan mengembalikan martabat umat melalui ilmu yang mudah dipahami. Dengan membuka akses keagamaan bagi rakyat kecil, ia menjadikan pengetahuan sebagai alat kemerdekaan.

Warisan intelektualnya terhampar dalam banyak karya yang hingga kini masih dipelajari. Di antaranya:

  • Lathaif al-Thaharah, yang mengulas rahasia ibadah seperti salat, puasa, serta keutamaan bulan Muharram, Rajab, dan Sya’ban.

  • Manasik al-Haj, panduan praktis pelaksanaan ibadah haji.

  • Pasolatan, pembahasan lengkap tentang persoalan salat.

  • Minhaj al-Atkiya’, tuntunan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

  • Al-Mursyid al-Wajiz, penjelasan padat tentang ilmu al-Qur’an dan tajwid.

  • Sabilu al-‘Abid, terjemahan Jauharatu al-Tauhid karya Syekh Ibrahim al-Laqani, serta terjemahan Matan al-Hikam karya Syekh Ibn ‘Athaillah.

  • Tafsir Faidlul Rahman, yang memperlihatkan kedalaman ilmu sekaligus keakrabannya dengan bahasa rakyat.

KH Sholeh Darat wafat pada 28 Ramadhan 1321 H, bertepatan dengan 18 Desember 1903. Jasadnya telah kembali ke bumi, tetapi namanya terus hidup dalam ingatan umat. Kitab-kitabnya tetap dibaca, sanad ilmunya terus bersambung, dan murid-muridnya terus membawa manfaat bagi zaman. Ia bukan sekadar guru bagi para pendiri organisasi Islam besar, tetapi arsitek peradaban Islam Nusantara yang meninggalkan jejak tak tergantikan. (kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement