SURAU.CO. Hari Pahlawan, yang kita peringati setiap 10 November, berakar dari perjuangan rakyat dan ulama yang tak kenal menyerah. Puncaknya terjadi dalam pertempuran dahsyat di Surabaya tahun 1945—bukan sekadar perlawanan fisik, melainkan ledakan semangat keagamaan, kebangsaan, dan keberanian. Semua bermula dari Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, yang menyalakan bara perjuangan hingga akhirnya menjelma menjadi sejarah besar yang mengukir identitas bangsa.
22 Oktober 1945: Kobaran Resolusi Jihad
Semangat perlawanan rakyat Surabaya mulai menyala pada 22 Oktober 1945, saat KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad. Para ulama menegaskan bahwa membela kemerdekaan adalah fardhu ‘ain, kewajiban bagi setiap muslim yang mampu berjuang. Seruan ini muncul sebagai respons terhadap ancaman Sekutu dan NICA yang ingin mengembalikan kekuasaan Belanda.
Resolusi itu disampaikan kepada Presiden Soekarno, lalu disebarkan oleh para ulama dan santri ke seluruh Jawa Timur. Pesantren seperti Tebuireng, Lirboyo, dan Sidogiri menjadi pusat penggerak rakyat. Dari mimbar dan surau, seruan jihad berkumandang, membakar semangat umat untuk mempertahankan kemerdekaan. Dari sinilah api perjuangan menuju 10 November 1945 mulai berkobar.
25–27 Oktober 1945: Pertempuran Awal Surabaya
Setelah Resolusi Jihad, situasi di Surabaya memanas. Pasukan Inggris dari AFNEI mendarat 25 Oktober 1945. Dalih mereka melucuti senjata Jepang dan memulangkan tawanan. Namun, tentara NICA (Belanda) membarengi kedatangan mereka dan hendak merebut kembali kekuasaan.
Rakyat Surabaya, yang telah tersulut semangat jihad, menolak keras. Pada 26 Oktober, bentrokan bersenjata terjadi. Rakyat dan pasukan Sekutu terlibat pertempuran. Banyak senjata Jepang berhasil direbut pemuda dan laskar santri. Puncaknya, 27 Oktober 1945, pertempuran besar pertama meletus. Pejuang Surabaya melawan pasukan Inggris di bawah Brigadir Jenderal Mallaby.
30 Oktober 1945: Kematian Mallaby yang Mengguncang
Pertempuran sengit berkobar beberapa hari. Surabaya menjadi medan perang mencekam. Pada 30 Oktober 1945, Brigjen A.W.S. Mallaby tewas. Insiden baku tembak terjadi dekat Gedung Internatio (sekarang Jembatan Merah). Mobilnya meledak dan terbakar. Kematian Mallaby menjadi titik balik penting.
Pihak Inggris menuduh Indonesia melanggar gencatan senjata. Mereka menuntut balasan. Padahal, situasi kala itu kacau, sulit dikendalikan. Peristiwa ini membuat Inggris murka. Mereka segera menyiapkan serangan besar-besaran ke Surabaya.
9 November 1945: Ultimatum Sekutu yang Ditolak
Reaksi atas kematian Mallaby, pasukan Inggris mengeluarkan ultimatum 9 November 1945. Rakyat Surabaya harus menyerahkan semua senjata. Mereka harus tunduk pada Sekutu sebelum pukul 06.00 pagi, 10 November. Ultimatum itu ditolak mentah-mentah karena menyerah berarti kembali dijajah. Seruan Bung Tomo menggema di seluruh kota:
“Lebih baik hancur lebur daripada dijajah kembali!”
Tak ada jalan mundur lagi. Seluruh rakyat Surabaya, dari pemuda, santri, hingga kiai, bersiap. Mereka akan menghadapi pertempuran penentu harga diri bangsa.
10 November 1945: Pertempuran Surabaya
Pagi hari 10 November 1945, setelah batas ultimatum habis, pasukan Inggris menyerang. Mereka menyerang dari darat, laut, dan udara. Pesawat-pesawat mereka mengebom kota. Rumah-rumah rata dengan tanah. Pejuang ditembaki. Namun, rakyat Surabaya tak gentar. Dengan persenjataan seadanya—bambu runcing, granat rakitan, dan semangat jihad—mereka melawan. Pasukan Inggris jauh lebih modern.
Pertempuran berlangsung sengit tiga minggu, hingga akhir November 1945. Ribuan pejuang gugur sebagai syuhada. Banyak dari mereka adalah santri dan kiai muda. Mereka menjawab seruan Resolusi Jihad. Darah mereka menyatu dengan tanah Surabaya menjadi saksi betapa mahal harga kemerdekaan.
Akhir November 1945: Kemenangan Moral Bangsa
Secara militer, Surabaya memang akhirnya dalam penguasaan Inggris, namun pertempuran itu menjelma menjadi simbol perlawanan rakyat Indonesia. Dunia internasional mulai menaruh perhatian. Mereka melihat bahwa bangsa ini sungguh siap mempertahankan kemerdekaannya, meski dengan senjata seadanya. Dari kobaran api Surabaya, lahir tekad nasional yang lebih kuat—tekad untuk bersatu dan menolak penjajahan di seluruh penjuru tanah air.
Sejak Resolusi Jihad 22 Oktober hingga Pertempuran 10 November 1945, sejarah itu bukan sekadar deretan peristiwa perang. Ia adalah kisah tentang iman, keberanian, dan cinta tanah air. Hari Pahlawan bukan hanya waktu untuk mengenang yang gugur, tetapi juga untuk menghidupkan kembali semangat jihad dan nasionalisme yang dulu membakar Surabaya.
Di setiap detak sejarah itu tersimpan pesan abadi: kemerdekaan bukan hadiah, tetapi amanah perjuangan yang penuh dengan darah, doa, dan pengorbanan tanpa henti. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
