Surau.co. Bab an-nahy dalam ushul fiqih – Dalam kehidupan, larangan sering dipahami sebagai pembatasan. Kita mendengarnya sejak kecil: jangan berlari di jalan, jangan bicara kasar, jangan menyontek. Tetapi di balik setiap “jangan” sebenarnya tersembunyi pelajaran yang melindungi dan membentuk kepribadian.
Hal yang sama berlaku dalam Islam. Larangan bukan bentuk pengekangan, melainkan bimbingan menuju keselamatan. Di sinilah pentingnya memahami konsep “an-nahy” (larangan) dalam ilmu ushul fikih. Dalam karya klasik Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt, Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī memberikan panduan tajam tentang bagaimana larangan dalam teks suci harus dipahami — bukan secara emosional, tetapi dengan kerangka metodologis yang rasional dan lembut.
Dalam bab tentang larangan (an-nahy), beliau menulis:
“النهي استدعاء الترك بالقول ممن هو دونه على سبيل التحريم.”
“Larangan adalah permintaan untuk meninggalkan suatu perbuatan melalui ucapan dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah dengan maksud pengharaman.”
Kalimat ini mungkin tampak sederhana, tetapi di baliknya terdapat fondasi hukum yang sangat penting. Ia membedakan antara larangan yang mengikat (haram) dan larangan yang bersifat bimbingan (makruh). Imam al-Juwaynī mengajarkan bahwa memahami larangan tidak cukup dengan membaca teks — kita harus menyelami niat, konteks, dan tujuan di baliknya.
Dari Ucapan Tuhan ke Prinsip Hukum
Larangan dalam hukum Islam sering kali dinyatakan melalui bentuk ucapan (kalām) tertentu. Imam al-Juwaynī sebelumnya telah menjelaskan bahwa semua hukum Islam berakar dari bahasa. Ia menulis:
“الكلام هو اللفظ المركب المفيد بالوضع.”
“Ucapan (kalām) adalah lafaz yang tersusun dan memberi makna sesuai dengan kebiasaan bahasa.”
Dari sini, kita memahami bahwa bentuk larangan tidak bisa dilepaskan dari struktur kalimat. Dalam bahasa Arab, bentuk kata kerja negatif seperti “لَا تَفْعَلْ” (jangan lakukan) memiliki bobot hukum yang spesifik.
Misalnya, ketika Allah berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isrā’ [17]: 32)
Ayat ini bukan sekadar larangan melakukan zina, tetapi juga melarang mendekati segala hal yang dapat menjerumuskan ke dalamnya. Imam al-Juwaynī mengajarkan bahwa larangan tidak selalu berhenti pada teks literal, tetapi juga mencakup segala sesuatu yang mengarah pada perbuatan yang dilarang.
Makna Larangan Tidak Selalu Sama
Salah satu keindahan pemikiran Imam al-Juwaynī adalah pandangannya yang kontekstual. Dalam Al-Waraqāt, beliau menegaskan bahwa larangan bisa memiliki makna yang berbeda tergantung situasi:
“والنهي يقتضي الفساد إذا ورد على العبادات والمعاملات.”
“Larangan menunjukkan rusaknya (batalnya) suatu perbuatan jika berkaitan dengan ibadah dan muamalat.”
Artinya, jika Allah melarang sesuatu, maka perbuatan itu dianggap rusak atau tidak sah. Misalnya, shalat pada waktu yang dilarang atau akad jual beli yang mengandung riba — keduanya batal karena dilakukan di bawah larangan.
Namun, Imam al-Juwaynī juga mengingatkan bahwa tidak semua larangan berarti dosa berat. Ada larangan yang bersifat tanzīh, yakni anjuran untuk meninggalkan sesuatu demi kesempurnaan ibadah. Dengan demikian, ia mengajarkan keseimbangan: tidak semua yang dilarang berarti berdosa besar, tetapi setiap larangan adalah peluang untuk memperbaiki diri.
Fenomena Larangan dalam Kehidupan Modern
Dalam dunia modern, konsep larangan sering kali dianggap mengekang kebebasan. Namun, jika dilihat dari perspektif ushul fikih, larangan justru adalah bentuk kasih sayang. Ia hadir untuk melindungi manusia dari bahaya yang belum tentu disadarinya.
Ketika agama melarang riba, itu bukan untuk menahan kemajuan ekonomi, tetapi untuk menjaga keadilan sosial. Ketika melarang ghibah (menggunjing), itu bukan untuk membatasi bicara, tetapi untuk menjaga kehormatan.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ فِي الْإِسْلَامِ.”
“Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Ibn Mājah)
Hadis ini sejalan dengan prinsip larangan dalam Al-Waraqāt — bahwa setiap “jangan” dari Allah bukan bentuk tekanan, melainkan perlindungan.
Ketika Larangan Menjadi Jalan Kesadaran
Imam al-Juwaynī bukan hanya seorang ahli hukum, tetapi juga pendidik ruhani. Dalam setiap pembahasannya, ia menyiratkan bahwa larangan sejati bukan hanya tentang apa yang tidak boleh dilakukan, tetapi tentang bagaimana seseorang belajar mengendalikan diri.
Bab an-nahy dalam ushul fiqih, manusia sering kali belajar melalui batasan. Tanpa larangan, kebebasan bisa berubah menjadi kekacauan. Dalam hal ini, larangan menjadi pelajaran spiritual: ia menumbuhkan kesabaran, disiplin, dan kesadaran moral.
Kita bisa melihatnya dalam kehidupan sederhana. Seorang guru melarang murid berbicara di kelas bukan untuk membungkam, melainkan agar ia belajar mendengar. Orang tua melarang anak bermain terlalu lama bukan untuk melarang kebahagiaan, tetapi untuk menanamkan tanggung jawab. Begitu pula Allah, yang melarang bukan karena murka, tapi karena cinta.
Mengubah Perspektif terhadap “Jangan”
Memahami bab an-nahy dalam Al-Waraqāt berarti belajar membaca makna di balik larangan. Imam al-Juwaynī mengajak umat Islam untuk tidak berhenti pada sisi tekstual, tetapi menggali hikmah di baliknya.
Larangan menjadi jendela untuk mengenal kebijaksanaan Ilahi. Ia mengajarkan bahwa setiap batasan adalah perlindungan, dan setiap “tidak boleh” adalah pintu menuju kebebasan sejati — kebebasan dari nafsu, kesalahan, dan penyesalan.
Kesimpulan Bab an-Nahy dalam Ushul Fiqih
Bab an-nahy dalam Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt mengajarkan bahwa larangan dalam Islam tidak lahir dari kekuasaan semata, tetapi dari kasih sayang dan hikmah. Imam al-Juwaynī menuntun pembacanya untuk memahami bahwa setiap larangan adalah bentuk pendidikan moral yang membentuk akhlak dan kesadaran hukum.
Dengan memahami larangan, manusia belajar tentang batas, disiplin, dan tanggung jawab — tiga hal yang menjadikannya makhluk beradab. Maka benar adanya: larangan bukan beban, melainkan pelajaran yang menuntun manusia menuju keselamatan dan kedewasaan iman.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
