SURAU.CO – Rumah sakit sejak dahulu selalu menjadi bagian penting dalam peradaban manusia. Keberadaannya tidak sekadar menjadi tempat berobat, namun mencerminkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tingkat kepedulian suatu bangsa terhadap kesejahteraan rakyatnya. Para sejarawan kerap menjadikan rumah sakit sebagai tolok ukur kemajuan sebuah peradaban.
Sebelum datangnya Islam, peradaban besar seperti Persia pernah memiliki rumah sakit sekaligus sekolah kedokteran ternama yang berpusat di Kota Gundeshapur.
Asal Usul Istilah Bimaristan
Dalam sejarah Islam, awalnya, masyarakat menyebut rumah sakit dengan istilah al-Bimaristan, bukan al-Mustasyfa seperti sekarang. Kata ini berasal dari bahasa Persia: bimar berarti sakit, sementara stan berarti tempat. Jadi, bimaristan berarti “tempat orang sakit.” Baru pada abad ke-19 istilah al-Mustasyfa populer, tepatnya setelah berdirinya rumah sakit Abu Zu’bal di Kairo, Mesir, pada tahun 1825 M yang mengusung konsep modern.
Meski meminjam istilah dari Persia, konsep bimaristan dalam Islam mengalami perkembangan signifikan. Bimaristan tidak hanya berfungsi sebagai tempat berobat, tetapi juga menjadi sekolah kedokteran, laboratorium penelitian, sekaligus pusat penyebaran ilmu pengetahuan.
Bimaristan Pertama dalam Sejarah Islam
Embrio rumah sakit dalam Islam justru lahir pada masa Rasulullah SAW. Ketika berlangsung Perang Khandak, Sa’ad bin Mu’adz—salah seorang sahabat—mengalami luka parah di urat nadinya. Rasulullah memerintahkan sahabatnya untuk mendirikan sebuah tenda pengobatan di dekat masjid agar beliau dapat dengan mudah menjenguknya.
Rufaidah, seorang perempuan Anshar yang baru masuk Islam dan terkenal memiliki kemampuan merawat orang sakit, mengelola tenda tersebut. Dari peristiwa ini lahirnya tradisi pengobatan dalam masyarakat Muslim. Dalam catatan Ibnu Ishaq, peristiwa itu menjadi cikal bakal bimaristan.
Khalifah Walid bin Abdul Malik dari Dinasti Umayyah (berkuasa tahun 705–715 M) tercatat sebagai orang pertama yang membangun bimaristan resmi di Damaskus pada tahun 707 M (88 H). Ia menggunakan kas negara untuk membiayai pembangunan rumah sakit ini dan memberikan layanan pengobatan gratis kepada rakyat.
Meskipun bimaristan yang Walid bangun masih sederhana, ia berhasil meletakkan fondasi yang kemudian menginspirasi pembangunan rumah sakit lebih maju di era berikutnya.
Puncak Keemasan: Bimaristan pada Masa Abbasiyah
Sejarah mencatat bahwa Dinasti Abbasiyah (750–1258 M) sebagai zaman keemasan peradaban Islam, termasuk dalam bidang kedokteran. Pada masa ini, Khalifah Abbasiyah membangun banyak bimaristan megah dengan konsep yang semakin modern. Khalifah al-Mansur, al-Ma’mun, dan para penerusnya membangun berbagai bimaristan di Bagdad, Kairo, dan Damaskus.
Tiga bimaristan terbesar kala itu meliputi:
- Bimaristan al-Adhudi di Bagdad – Adhud al-Daulah membangunnya dengan fasilitas lengkap serta dokter-dokter terbaik.
- Bimaristan an-Nuri di Damaskus – Nuruddin Zanki membangunnya dengan sistem manajemen yang cepat.
- Bimaristan al-Manshuri di Kairo – Sultan Qalawun mendirikannya, bahkan bimaristan ini masih berdiri hingga sekarang dengan nama Bimaristan Qalawun.
Bimaristan Abbasiyah tidak hanya fokus pada pengobatan, tetapi juga mengajarkan ilmu kedokteran. Dari tradisi inilah lahirlah dokter-dokter besar seperti ar-Razi, Ibnu Sina, dan Ibnu al-Nafis.
Desain dan Manajemen Bimaristan
Dalam bukunya Min Rawai’ Hadlaratina, Dr. Mushthafa as-Siba’i menggambarkan betapa telitinya kaum Muslim dalam membangun rumah sakit. Misalnya, ketika ar-Razi hendak membangun Bimaristan Adhudi di Bagdad, ia meletakkan potongan daging di berbagai lokasi kota. Ia memilih lokasi tempat daging paling lambat busuk sebagai tempat pembangunan rumah sakit karena dianggap paling bersih dan sehat.
Para pengelola bimaristan menerapaka beberapa prinsip manajemen sebagai berikut:
- Mereka memisahkan pasien laki-laki dan perempuan ke ruang yang berbeda. Bahkan pasien dipisahkan menurut jenis penyakit, seperti ruang mata, penyakit dalam, bedah, dan lepra.
- Mereka menjaga kebersihan dan sterilisasi. Petugas selalu membersihkan kamar, peralatan, dan pakaian pasien. Pasien baru harus mandi, mengenakan pakaian khusus, lalu menempati ruangan sesuai jenis penyakitnya.
- Mereka melengkapi setiap bimaristan dengan apotek (syarabikhanah) yang dipimpin oleh seorang apoteker bergelar syekh.
- Mereka juga memberikan terapi holistik. Di Bimaristan al-Manshuri, pasien menikmati lantunan syair, cerita, hingga pertunjukan komedi untuk mempercepat penyembuhan.
Setelah pasien sembuh, petugas memberikan pakaian baru dan uang bekal (pesangon) agar mereka bisa memulai hidup kembali. Jika pasien meninggal, petugas merawat jenazah dengan hormat: memandikan, mengafani, dan menguburkan secara layak. Model pelayanan semacam ini berlanjut di Mesir hingga tahun 1798 M dan membuat orang Prancis terkagum-kagum.
Seleksi Ketat untuk Menjadi Dokter
Menjadi dokter di bimaristan melewati seleksi ketat. Pada masa Khalifah al-Muqtadir (abad ke-10 M), seorang dokter pernah melakukan salah pengobatan hingga pasien meninggal. Sejak itu, khalifah memerintahkan Sinan bin Tsabit untuk menguji seluruh dokter di Bagdad—jumlahnya mencapai 860 orang!
Hanya mereka yang lulus ujian yang dapat mengobati pasien. Sistem ini membuktikan bahwa dunia Islam sangat serius menjaga kualitas tenaga medis. Bahkan khalifah juga menugaskan dokter khusus untuk memeriksa para tahanan di penjara agar mereka tetap memperoleh hak kesehatan.
Bimaristan yang Menginspirasi Dunia
Bimaristan tidak hanya sebagai rumah sakit, tetapi juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan penelitian. Dari sini lahirlah tokoh-tokoh besar seperti Ibnu Sina dengan karya al-Qanun fi al-Thibb dan Ibnu al-Nafis yang menemukan peredaran darah kecil (pulmonal).
Sejarah bimaristan menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengatur ibadah, tetapi juga memberikan perhatian besar pada kesehatan dan kesejahteraan. Umat Islam berhasil membangun dari tenda sederhana di masa Rasulullah hingga bimaristan megah di Bagdad, Damaskus, dan Kairo. Semua itu lahir dari semangat jihad ilmiah demi kesejahteraan umat.
Bimaristan menjadi bukti nyata bahwa peradaban Islam pernah berdiri di garis depan dalam pelayanan kesehatan. Ia mencerminkan inovasi, kemajuan ilmu pengetahuan, sekaligus inspirasi bagi dunia hingga saat ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
