SURAU.CO-Piala Dunia dan doa kita menjadi refleksi menarik bagi umat Islam dalam melihat keterkaitan antara ambisi duniawi dan restu Ilahi. Di tengah gegap gempita ajang olahraga terbesar ini, umat Muslim pun tak ketinggalan menaruh harap dan doa kepada Allah agar tim jagoannya menang, bahkan kadang lebih khusyuk daripada doa harian. Tapi muncul satu pertanyaan penting: apakah Allah ridha dengan ambisi kita dalam ajang seperti Piala Dunia? Apakah doa dan semangat itu mencerminkan nilai Islam atau sekadar euforia sesaat?
Sebagai umat yang menjunjung tinggi tauhid, kita diajarkan untuk senantiasa menimbang antara tujuan hidup yang hakiki dan kesenangan duniawi. Olahraga bukanlah hal yang haram, bahkan dianjurkan dalam Islam untuk menjaga kesehatan. Namun, ketika Piala Dunia dijadikan pusat ambisi dan kebanggaan, kita perlu merenung: apakah itu semua sejalan dengan ridha Allah?
Ambisi Duniawi dan Ukuran Keridhaan Ilahi
Ketika bicara soal ambisi dan doa, kita seringkali terjebak dalam kerangka kemenangan dan kekalahan semata. Dalam Piala Dunia, umat Islam di berbagai negara berdoa agar tim mereka menang, namun apakah doa itu menyertakan niat yang lurus?
Islam tidak melarang berlomba-lomba dalam kebaikan, termasuk dalam kompetisi olahraga. Namun, standar keridhaan Allah bukan terletak pada kemenangan itu sendiri, melainkan pada niat, adab, dan etika yang mengiringi perjuangan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika niatnya adalah untuk meninggikan kalimat Allah, menjaga kesehatan, atau mempererat ukhuwah, maka ambisi itu bisa bernilai ibadah. Sebaliknya, jika hanya demi prestise dan kesombongan nasionalisme, itu bisa menjadi bentuk kesia-siaan.
Olahraga, Identitas, dan Budaya Muslim
Piala Dunia dan doa kita juga bisa mencerminkan bagaimana kita sebagai Muslim memosisikan diri dalam budaya global. Banyak yang secara tidak sadar mengidolakan pemain sampai melupakan kewajiban-kewajiban ibadah, seperti shalat atau puasa.
Ada ironi saat pertandingan sepak bola membuat stadion penuh, tetapi masjid justru sepi. Budaya sportivitas Islam mengajarkan kita untuk menyeimbangkan antara hiburan dan ibadah. Kita harus cerdas memilah mana yang sekadar tontonan, dan mana yang memberi manfaat spiritual dan sosial.

Gambar Seremoni Piala Dunia
Doa dan Etika Muslim dalam Bertanding
Dalam Piala Dunia, kita menyaksikan berbagai tim Muslim bertanding dengan membawa nama negara sekaligus identitas Islam. Banyak pemain Muslim tetap menjaga salatnya, membaca Al-Fatihah sebelum pertandingan, bahkan sujud syukur saat mencetak gol. Ini bentuk bahwa doa dan etika Islam tetap bisa hidup dalam dunia olahraga modern.
Namun, lebih dari itu, kita perlu merenungkan: apakah sebagai penonton kita juga meniru semangat tersebut? Ataukah kita justru larut dalam kegilaan yang mengabaikan etika Islam, seperti berjudi atas skor pertandingan atau mencaci tim lawan?
Membingkai Ambisi Piala Dunia dalam Kaca Mata Akhirat
Ambisi bukan hal yang tercela dalam Islam, selama itu diarahkan dengan benar. Piala Dunia dan doa kita bisa menjadi momen edukatif bagi umat agar mengarahkan energi, semangat, dan perhatian kepada hal-hal yang mendekatkan diri pada Allah.
Kita bisa menjadikan momen ini sebagai sarana dakwah: menunjukkan bahwa Islam tidak kaku terhadap olahraga, tapi memberi rambu-rambu agar tak terseret dalam kemewahan dan kelalaian dunia.
Meraih Ridha Allah, Bukan Sekadar Trofi
Piala Dunia memang hanya berlangsung empat tahun sekali, namun ridha Allah adalah tujuan hidup setiap hari. Menang atau kalah bukan tolok ukur nilai seorang Muslim, tetapi bagaimana ia menjaga akhlak, niat, dan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Jadikan doa kita dalam Piala Dunia sebagai sarana introspeksi, bukan sekadar harapan kosong. Jangan sampai ambisi mengalahkan keikhlasan, dan semangat nasionalisme membutakan ukhuwah Islamiyah yang lebih besar. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
