Universitas sejak lama memegang citra sebagai menara gading. Ia menjadi tempat lahirnya para pemikir. Kampus adalah ruang untuk mengasah nalar kritis dan melahirkan gagasan besar. Namun, citra idealis itu kini menghadapi tantangan berat. Tuntutan zaman modern mulai menggeser fungsi luhur tersebut. Pertanyaan fundamental pun mengemuka. Apakah kampus masih mencetak intelektual? Atau perannya telah berubah menjadi agen pemasok buruh untuk industri?
Kenyataan ini menjadi diskursus yang semakin relevan. Banyak pihak melihat adanya pergeseran paradigma dalam dunia pendidikan tinggi. Orientasi kampus tidak lagi murni pada pengembangan ilmu pengetahuan. Fokusnya kini lebih pragmatis, yaitu memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Tekanan dari Dunia Industri
Perubahan ini bukan tanpa sebab. Peran kampus di Globalisasi dan era Industri dengan persaingan ekonomi yang ketat menuntut efisiensi. Perusahaan membutuhkan tenaga kerja yang siap pakai. Mereka enggan menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk pelatihan dari nol. Kebutuhan ini kemudian menjadi tekanan besar bagi institusi pendidikan. Universitas didorong untuk menyelaraskan kurikulumnya dengan permintaan industri.
Kebijakan “link and match” menjadi mantra yang terus didengungkan. Program magang, sertifikasi keahlian, dan kelas industri semakin menjamur. Semua ini bertujuan agar lulusan memiliki keterampilan praktis. Tentu, tujuan ini terdengar sangat positif. Mahasiswa menjadi lebih mudah mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Namun, ada harga mahal yang harus dibayar.
Seorang pengamat pendidikan, Budi Santoso, memberikan pandangan kritisnya. Ia menyoroti dampak dari pergeseran ini.
“Pendidikan tinggi kini berada di persimpangan jalan. Ia harus memilih antara melayani pasar atau menjaga marwahnya sebagai benteng pemikiran kritis. Jika terlalu condong ke pasar, kita akan kehilangan generasi yang mampu berpikir mendalam,” ujarnya. Kutipan ini menyoroti dilema utama yang dihadapi oleh peran kampus di era industri saat ini. Keseimbangan menjadi kata kunci yang sulit dicapai.
Hilangnya Nalar Kritis dan Ruang Intelektual
Ketika keterampilan teknis mendominasi kurikulum, ruang untuk mata kuliah humaniora dan ilmu sosial secara tak terhindarkan akan menyempit. Akibat langsung dari fenomena ini, banyak pihak kemudian menganggap disiplin ilmu seperti filsafat, sosiologi, sejarah, dan sastra menjadi kurang relevan.
Padahal, pandangan tersebut mengabaikan sebuah fakta fundamental. Justru, disiplin ilmu inilah yang sejatinya mengasah kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan empati, serta membangun pemahaman akan kompleksitas sosial. Oleh karena itu, tanpa fondasi esensial ini, seorang sarjana sangat berisiko berubah menjadi “robot” yang hanya pintar secara teknis.
Dengan kata lain, ia mungkin memiliki keahlian yang mumpuni, tetapi pada saat yang sama menjadi kurang peka terhadap konteks sosial dan dilema etika di sekitarnya.
Kampus pun mengarahkan mahasiswa untuk menjadi spesialis yang andal di satu bidang. Mereka belajar “bagaimana” melakukan sesuatu dengan sangat baik. Akan tetapi, mereka sering kali lupa bertanya “mengapa”. Pertanyaan “mengapa” adalah jantung dari pemikiran intelektual. Pertanyaan ini mendorong inovasi, mempertanyakan status quo, dan mencari solusi yang lebih adil serta berkelanjutan.
Jika kampus hanya fokus mencetak tenaga kerja, ia berisiko menghasilkan lulusan yang pasif. Mereka hanya akan menjadi pelaksana yang patuh, bukan pencipta atau inovator yang berani mendobrak kebiasaan lama.
Mencari Jalan Tengah yang Ideal
Menolak sepenuhnya kebutuhan industri tentu bukan solusi bijak. Kampus tidak bisa hidup terisolasi dari realitas ekonomi. Tugas beratnya adalah mengintegrasikan keduanya. Universitas harus mampu merancang kurikulum yang holistik. Kurikulum yang mengajarkan keterampilan teknis tanpa harus mengorbankan nalar kritis.
Pembelajaran berbasis proyek bisa menjadi salah satu solusi. Mahasiswa tidak hanya belajar teori. Mereka juga mengerjakan proyek nyata yang relevan dengan industri.Namun, dosen harus mendesain proyek tersebut untuk memecahkan masalah kompleks. Proyek ini akan memaksa mahasiswa berpikir analitis dan kreatif
Pada akhirnya, kampus harus memainkan peran ganda. Ia wajib menyiapkan mahasiswanya untuk memasuki pasar kerja. Namun, kampus juga mengemban tanggung jawab yang lebih besar, yakni melahirkan warga negara yang kritis, inovatif, dan sadar sosial. Kampus tidak boleh hanya mencetak sarjana yang menjadi roda penggerak industri. Sebaliknya, mereka harus menjadi nahkoda yang mampu mengarahkan masa depan bangsa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
