Oleh: Masykurudin Hafidz, Direktur Akademi Pemilu dan Demokrasi (APD)
SURAU.CO – Rendahnya partisipasi pada Pilkada 2024 memunculkan gagasan serius untuk mengulang Pilkada di daerah partisipasi rendah. KPU merilis angka partisipasi yang hanya mencapai 68 persen. Angka ini jelas lebih rendah dibanding Pemilu sebelumnya saat pandemi, yang mencapai 76 persen (CNN, 04/12). Artinya, lebih dari sepertiga pemilih tidak hadir saat pemungutan suara. Akibatnya, semakin tinggi pemilih absen, semakin rendah pula legitimasi kepemimpinan daerah.
Data yang lebih rinci menunjukkan, dari 545 daerah Pilkada, hanya 221 daerah yang berhasil melampaui partisipasi sebelumnya. Lebih mengkhawatirkan lagi, terdapat 60 daerah dengan partisipasi hanya sekitar 50-an persen. Bahkan, ada 6 daerah yang partisipasinya di bawah 50 persen. Daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Deli Serdang (32%), Kota Medan (35%), Kabupaten Asahan dan Kota Pekanbaru (46%), serta Kota Batam dan Kota Padang (49%). Anggapan bahwa partisipasi rendah hanya karena pemilih jenuh perlu kita kaji lebih dalam. Sebab, penilaian tersebut tidak berlaku di 115 daerah Pilkada yang partisipasinya justru sangat tinggi, yaitu di atas 80 persen.
Koneksi antara partisipasi dan pilihan calon semakin jelas saat kita melihat data calon tunggal. Dari 37 daerah dengan calon tunggal, hanya 14 daerah yang partisipasinya di atas 70 persen. Sebaliknya, 10 daerah memiliki partisipasi di bawah 60 persen. Dalam konteks ini, kita dapat menyimpulkan bahwa semakin tinggi perolehan suara untuk kolom kosong, partisipasi pemilihnya cenderung rendah. Fakta ini memperkuat argumen bahwa ketidakhadiran pemilih tidak melulu terkait faktor teknis, tetapi juga karena tidak adanya kandidat yang representatif.
Pilkada sebagai Sumber Legitimasi
Pada dasarnya, Pilkada adalah sumber legitimasi. Kehadiran pemilih saat pemungutan suara merupakan ukuran legitimasi yang paling absah. Semakin tinggi tingkat kehadiran, semakin kuat legitimasi sebuah pemerintahan. Sebaliknya, semakin rendah kehadiran pemilih, semakin besar pula ancaman bagi pemerintahan di masa mendatang. Legitimasi bergantung pada ekspresi persetujuan masyarakat. Mereka membuktikan persetujuan itu melalui pilihan di bilik suara (Beetham, 1991).
Pemilih memberikan persetujuan langsung kepada pemerintah dengan cara memilih calon kepala daerah. Saat pemilih setuju untuk diatur, mereka secara moral juga berkewajiban untuk mematuhi pemerintah tersebut. Dengan demikian, jika ekspresi persetujuan publik berkontribusi pada legitimasi, maka pilihan untuk tidak hadir adalah bentuk penolakan yang mengurangi legitimasi. Oleh karena itu, ketidakhadiran pemilih ke TPS adalah wujud delegitimasi. Kondisi ini terjadi ketika sistem politik tidak mampu mempertahankan keyakinan bahwa organisasi politik yang ada adalah pilihan terbaik untuk masyarakat (Lipset, 1959).
Mengulang Pilkada sebagai Solusi Legitimasi
Sebenarnya, pengakuan terhadap pentingnya legitimasi yang kuat telah berlaku pada ketentuan Pilkada di daerah dengan calon tunggal. Jika kolom kosong menang, maka Pilkada akan diulang pada tahun berikutnya. Aturan ini merupakan bentuk penghormatan terhadap suara pemilih. Logika yang sama seharusnya berlaku untuk situasi serupa: daerah dengan partisipasi di bawah 50 persen, meskipun diikuti oleh lebih dari satu pasangan calon.
Dalam konteks Pilkada 2024, terdapat enam daerah yang partisipasinya di bawah 50 persen. Partisipasi yang kurang dari separuh pemilih ini adalah wujud penolakan terhadap calon yang ada. Menurut Easton (1975), keadaan ini menunjukkan bahwa pemilih menilai para kandidat tidak mampu mengidentifikasi masalah dan membangun kepercayaan. Oleh karena itu, demi membangun legitimasi yang kuat, perlu kita pikirkan untuk mengulang Pilkada di daerah partisipasi rendah.
Selain itu, pengulangan Pilkada juga memberikan peringatan kepada semua pihak—terutama partai politik, pasangan calon, dan penyelenggara pemilu—untuk serius bekerja sama mengutamakan pemilih. Dorongan untuk menciptakan Pilkada yang berintegritas dan memiliki legitimasi tinggi harus kita dukung dengan kewajiban semua pihak untuk mewujudkan kehadiran pemilih lebih dari separuhnya. Jika tidak, maka pemungutan suara ulang adalah hukuman sekaligus solusi untuk memastikan legitimasi pemerintahan. Pada akhirnya, kualitas Pilkada kita tentukan dari seberapa banyak pemilih yang ikut serta.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
